Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2009

Kekuatan Kata-Kata dalam Puisi

Oleh: Matroni el-Moezany* Salah satu masalah praktis yang diharapi oleh penyair dalam membaca puisi di atas pentas publik adalah bagaimana penyair dapat mengadakan pembacaan di hadapan umum apalagi yang cukup panjang dengan tidak membosankan. Dalam persiapan pembacaan puisi mungkin perlu dicobakan mengadakan gladi resik sebelumnya untuk mencobakan suatu pembacaan yang menarik. Dari sana sudah terlihat bahwa membaca puisi patut dikusai oleh para pembaca atau bahkan oleh setiap penyair yang baik pada umumnya. Biasanya dengan menguasai logika, seorang pembaca sudah dapat mengurutkan pikiran-pikirannya dengan jelas dan runtut, namun hanya dengan mencoba yang akan membuat pikirannya dianggap berharga dan patut didengar atau diresapi. Adapun puisi bertujuan memancing dan menggerakkan reaksi tertentu dalam diri pendengar, jenis bahasa yang digunakan di sini adalah jenis bahasa yang kuat. Dalam puisi mengandaikan penghayatan dan penguasaan suatu masalah atau pengalaman secara intens dana meres

Degradasi Idealisme Kultural

Oleh: Matroni el-Moezany* Sebuah persoalan dalam bidang budaya yang masih mendesak pemahaman kita ialah mengapa kebudayaan Indonesia sejak 1980-an berada dalam keadaan kurang mengembirakan, budaya kita makin tergeser, tergusur, dan tersingkir dari pusat dan puncak perhatian dan kesibukan kita sehari-hari. Ini memang bukan persoalan baru, tapi memang sudah ramai diperbincangkan pada awal 1980-an, tapi setiap ada yang mempertanyakan apa yang kini harus diperhatikan dalam sebuah kebudayaan Indonesia, saya cendrung menunjuk pada tidak lagi mementingkan kebudayaan sebagai problematika terpenting. Banyak diadakan acara musim temu budaya daerah sebagai penyangga budaya nasional bermunculan diberbagai kota seakan-akan budaya kita pada masa ini menghadapi kemunduran biarpun seorang pakar budaya masih penting, ia tak lagi penting pada 1970-an seorang pakar budaya pada masa pra-Orde Baru mungkin seperti seorang Iwan Fals, Abdurrahman Wahid atau Laksamana Soedomo. Pada 1970-an orang sudah mengeluh

Mungkinkah

Mungkinkah? Oleh: Lestari Dewi* Pada hari yang lelah, warnet adalah tempat istirahat. Di dunia maya, aku bisa menyapa teman-teman. Cerita nostalgia, kabar bahagia, peristiwa menyedihkan, dan gambaran dunia terpampang bergantian seperti pajangan. Mataku menelan lembar-demi lembar layar, menyusuri kota demi kota bahkan kadang-kadang kutergerak untuk melihat dunia. Teknologi memang gila. Ruang dan waktu dirangkumnya dalam satu sentuhan jemari saja. Ah, tak heran orang menyebutnya dunia maya. Jejaring ini meleburkan peristiwa dan masa. Detik-detik jam terus berjalan. Tak sadar 4 jam sudah berlalu. Aku agak kesal. Kenapa waktu berjalan sedemikian cepat. Ternyata, aku hanya memandangi computer ini. Ketika aku sadar aku sudah 4 jam, aku kesal. Hah, berapa uang yang harus kukeluarkan untuk membayar internet ini. Sambil menggerutu kecil, kumaki-maki diriku, “dasar tolol, ngapain saja kamu tadi, sudah lama gak dapat apa-apa lagi”. Aku jadi tambah capek. Biasanya habis ngenet aku refres dan pa

Huruf Malam

Pucuk dari huruf adalah kata Kala suara menyisip dalam telinga Suara serupa rasa Menyentil di tenggorokan Terasa serupa makan rasa Seorang dara Darah yang kemudian Tak menemukan suara keterasingan Kita harus berdarah-darah Orang berdarah-darah 22,09

Hujan, Tak Boleh Pulang

Engkau bilang, karena sepi menyergapmu Takut, selalu menyeramkan Aku pun memaksa mengurai kata lembutmu Untuk diperkenankan pulang, tidur Di sini engkau bisa tidur, ucapmu merayu Setetes hujan di luar jendela Padahal malam belum lengkap Tinggal separuh untuk kita 182009

Summa Summarum

Aku tidak peduli sama sekali Pada pecahan angin merombak pagar Atau/atau kami Baik/maupun kami Yk, 12 Mei 2009

Sedetik Untuk Puisi

Setiap kata dan berlapis-lapis makna Mengantar mimpi gelisah Terkirim lewat angin mengalir huruf malam Seperti darah tak lagi terus bertamu Setiap jatuh menyanyikan hari Dengan detik bertutur Kukaryakan sekalung rindu yang rentan Serumpun waktu hancur Kukaryakan pada waktu, biru lengkungan setapak kata Bergegas mencari arah nama Tak setiap kapal sedang berlabu itu adamu Pengok, 8 Mei 2009

Kita

Kita lahir untuk bertanya Entah karena kata belum mati Atau tak mau Hingga waktu merana di mata UIN, 8 April

Filsafat Sadar

Oleh: Matroni el-Moezany Menjadi diri sadar berarti menjadi sadar akan eksistensi dirinya, sadar akan kebebasan dirinya, dan menggunakan kebebasannya untuk menentukan pandangan dan pilihan hidup, tidak dari luar dirinya apakah itu orang lain atau komunitas lain, tetapi dari dirinya sendiri. Menjadi manusia Sadar berarti memiliki kemampuan mempertahankan individualitas dan mengembangkannya terus-menerus, dan karena sadar ruang individualitas adalah milik yang paling berharga bagi setiap orang, maka dalam mengembangkan diri dalam dan melalui kebebasannya, dia harus menjamin dan memberikan ruang individualitas pada orang lain baik secara individual maupun kelompok. Signifikansi manusia Sadar menurut Matroni el-Moezany bagi kehidupan manusia sekarang ini yang terpenting adalah menyadari bahwa kebebasan dan ruang individualitas merupakan “keatifan” atau hak milik orang untuk dilaksanakan bagi setiap individu manusia, kemunitas, masyarakat dan organisasi bahkan Negara tidak akan menjadi maju

Politik SBY dan Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany* Banyak masyarakat Indonesia yang mengatakan peta dan perjalanan politik SBY itu bagus mudah dimengerti. Mulai dari akhlak politik, pidato politik dan dalam kepemimpinannya. Bagi saya itu biasa saja. Kenapa biasa karena politik yang dijalankan SBY, ya, biasa seperti para politikus-politikus yang lain, bedanya hanya politik yang dijalankan SBY belum ada masyarakat Indonesia yang menemukan politik yang dijalankan SBY. Artinya itu pengalaman indah yang belum kita ketahui sebelumnya. Tidak tidak aneh lagi bagi saya, sebab hal itu sudah biasa. Selama ini, Indonesia hanya melanjutkan para politik sebelumnya. Kalau sejarah politik begitu, kita harus begitu, tapi bagi SBY tidak. Kita harus memiliki pemikiran politik sendiri dan berdiri sendiri dalam melahirkan peta politik yang SBY jalankan saat ini. Buktinya masyarakat Indonesia sampai saat ini masih terkagum-kagum terhadap politik yang SBY miliki. Misalnya ketika mendaftara ke KPU, Boediono tidak berpidato, itu merup

Rindu Pemimpin Bijak dan Cinta Rakyat

Oleh: Dwi Lestari ST n Matroni el-Moezany* Dalam situasi dan kondisi deraan krisis dunia, dan juga arus globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang benar-benar bijak dan mengerti tentang kewajiban serta tujuan dari Indonesia merdeka. Sangatlah jelas disebutkan dalam pembukaan Udang-Undang Dasar (UUD 1945) terutama pada alinea ke-4, bahwa tujuan dari kemerdekaan dan pembentukan Negara Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dari pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, maka tugas utama dari seorang pemimpin adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Memang secara kasat mata, Indonesia telah merdeka. Tetapi jika dikoreksi dan direfleksikan, dari berbagai segi, baik politik, ekonomi, dan budaya, bangsa kita masih terkeka

Memilih Pemimpin Bijak Dan Pro Rakyat

Oleh: Dwi Lestari ST n Matroni el-Moezany* Pemilu (pilpres dan cawapres) 2009 yang akan datang harus benar-benar dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dari tujuan Indonesia merdeka dan mendirikan Negara Kesatuan Indonesia. Sangatlah jelas dalam pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea ke-4, bahwa tujuan dari kemerdekaan dan pembentukan Negara Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Siapakah kiranya orang yang menyadari tentang kewajibannya sebagai pemimpin dimana ia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ini. Kita harus memilih seorang pemimpin yang ideal seperti dalam konsep Hastabrata (ajaran kepemimpinan dalam dunia pewayangan), tetapi yang tidak kalah penting adalah pemimpin yang benar-benar cinta terhadap

Zapin, Representasi Marwah, Jati Diri, dan Perekat Masyarakat Melayu

Oleh: Matroni el-Moezany dan Dwi Lestari ST Masuknya ajaran Islam ke daerah Nusantara, khususnya ke daerah Riau pada abad ke XII-XIV yang dibawa oleh bangsa Arab dan Persi, telah meninggalkan pengaruhnya dalam bidang budaya dan kesenian. Kesenian yang berkembang sebagai hasil pengaruh kedua budaya di atas di antaranya adalah tari Zapin dan Gambus Riau. Kesenian ini banyak berkembang di pulau Bengkalis, pulau Penyengat, dan Siak Sri Indrapura. Selain memperkaya kazanah tarian di Nusantara, zapin merupakan salah satu kesenian yang menjadi identitas masyarakat Melayu (khususnya Bengkalis) dan mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Menurut akar katanya, zapin berasal dari bahasa Arab, zafn, zafan yang bermakna gerak atau langkah (kaki), melangkah, zaf (alat petik berdawai 12), dan al-zafn dimaknai sebagai mengambil langkah atau mengangkat satu kaki. Kesenian ini diperkenalkan para gujarat dari Hadramaut, Yaman ketika mereka berdagang sambil menyebarkan agama Islam. Ketika itul

Siwa Nata Raja, Simbolisme Penyatuan Masyarakat Bali dengan Sang Pencipta

Oleh: Matroni el-Moezany dan Dwi Lestari ST* Siwa Nata Raja merupakan istilah yang mengisyaratkan dimana Siwa artinya manifestasi dari Tuhan, Nata artinya berkesenian (dalam perspektif Hindu), dan Raja artinya Maha Besar atau Maha Kuasa. Jadi, Siwa Nata Raja artinya berkesenian dalam rangka pemujaan terhadap Tuhan. Di Bali, pada setiap tahun sekali, kita akan menemukan sebuah pesta kesenian akbar yang menggambarkan tipologi sosial kemasyarakatan dan aroma keagamaan masyarakatnya. Pada perayaan itu, ada suatu simbul dari pesta kesenian Bali yaitu Siwa Nata Raja, yang bisa kita lihat di atas candi Bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya. Siwa Nata Raja dalam filosofi India dikatakan sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian Siwa Nata Raja mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian, khususnya kesenian di Bali. Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari relig

Dimana Keadilan Sosial Di Indonesia Sekarang

Oleh: Matroani el-Moezany* Berbicara keadilan memang sangat sulit, baik dalam pendefinisian maupun mengaplikasiannya. Di Indonesia pada saat ini 2008-2009 keadilan bisa dikata sudah mati, ini terlihat ketika ada aparat pemerintahan di tahan atau dipenjara, penjaranya lain dengan rakya biasa. Kejadian ini banyak terjadi mulai dari kalangan artis apalagi para koruptor. Sebagai contoh rakyat menuri ayam, TNI di tabrak bus Sumber Kencono pada hari Jum’at sebetulan saya adalah korban dari kemarahan TNI, semua TNI marah terhadap bus Sumber Kencono, semestinya kalau berbicara keadilan yang menabrak saja yang menjadi objek TNI bukan malah semuanya, di rumah sakit juga ada yang enak dan tidak enak, mungkin yang tidak enak buat rakyat yang kurang mampu, pada waktu aku melihar yang sakit itu ada ruangan sederhana (buat orang tak mampu) si sakit itu kesakitan memanggil dokter, dan katanya dokternya tidak ada, di panggilkan dokter yang lain ternyata alatnya rusak, sampai si sakit ini mati tidak ada

Semesta Tanda Yang lain

kebertalian ini sudah menjadi tanya sebab aku ingin mati ketika aku mengalami kematian Jogja, 2009

Daun Menyepi

Sesepi malam Melihat daun menyepi Merapat jadi dirinya seperti daun Dan pagi pun lalu, meluah Kemesraan waktu kementarian Semalaman kau tak bisa melelap Karena bintang bergelantungan Seperti buah yang sudah ranum Yk, 1 Mei 2009

Semesta Tanda

Kemenduaan tanda Dari tanda ke tanda-tanda ini Terjadi tanda Antara aku dan kata-kata Yk, 29, April 2009

Luka Yang Tak Perlu Tangis

Sekayu kemesraan tertuang Bertahun-tahun kau ciumi kesedihan Untuk apa aku keluarkan darah Jika semua sudah tersedia Kelaparan bukan luka yang harus ditangisi Batu dan darah karang lekat di tubuhmu Adalah teman kemesraan yang mengajak berbagi Air telah memenuhkan perut Yang kini mulai mendidih Untuk memaknai sebagai tanda dalam angan Hatiku terluka jika aku meminta Makin tua hari ini, makin tak terbaca Sampai kata indah meluah menjadi merindu Yk, 27 April 2009

Rantau

Rantau Ibu: Di negeri rantau kurindukan Bunga nasimu, tanak dengan tumang tanah tua Sesekali terlihat manis Merah Isyaratkan diri dan kedirian perempuan Seperti detik Tahan di panaskan api Sungguh nikmat nasimu Di dapur bambu yang senantiasa Menanam laparku Laparku, ibu Rindu cinta dalam tumang tua Putih tulang Yang meramaikan keluarga Hingga rantauku pun melahirkan detik darah Itulah engkau menjaga nasi dari lapar Menjaga merah tetap merah dari diri Agar hidup berasap tanak Melegenda, biji-biji tumbuh Walau terkadang pahit seperti sembirutu Yk, 24 April 2009

Realitas Sosial “Mampu dan Tak Mampu”

Oleh: Matroni el-Moezany* Realitas sosial dalam hal ini bukan sebuah keberagaman masyarakat, tapi realitas sosial yang selama ini hanya diperalat oleh penguasa, mulai dari tempat-tempat yang digusur di Surabaya dan di Jakarta dan para penguasa cuek saja terhadap apa mereka kerjakan, padahal di tempat itu sudah bertahun-tahun hidup di tempat yang pemerintah rusak. Anehnya pemerintah setempat tidak menyediakan tempat bagi mereka. Inilah realitas sosial Indonesia saat ini. Orang mampu sudah tak peduli terhadap orang yang tak mampu (rakyat bawah), saat ini yang tak mampu diperalat dan dihipnotis oleh penguasa dengan seoalah-olah sok perhatian terhadap masyarakat bawah ini terlihat ketika ingin memiliki suara terbanyak dalam pemilihan legislative maupun pemilihan presiden. Orang mampu, mulai dari cara berpakaian, rumah, bentuk jiwa, bentuk baju, bentuk langkah, bentuk kerja, bentuk berbelanja, bentuk penguasa, bentuk politik, dan bentuk-bentuk yang lain segalanya berwajah feodal-kapitalis.

Detik-Detik yang Tak Pernah Usai

Detik-detik yang tak pernag usai kucatat di atas bumi tak pernah terhapus oleh waktu tumbuh rasakan sinar mentari dan tangisan langit mendung Inilah detik-detik yang tak pernah usai itu akan terlihat sejarah nanti terkata di sini hidup ini munkin sisanya kini menjadi pengembara Detik ini pasti terkata dari dia yang sering berputar Sepanjang waktu berjalan melangkah keterasingan tenggelam kejauhan terdiam kesendirian meraba kesunyian Jadi, detik tak pernah usai dia tercatat menyatu di hati sejarah terbuka untuk istirahat di ranjang pengisian. Yogyakarta, 2006

Malam ini

Malam ini keperawananku telah tercabik-cabik oleh keperkasaan dingin mendekap tubuh di ranjang kesunyian Aku malu karena mahkota tak lagi ada untuk dicicipi Aku mengigil keeratan dingin menemani malam di saat ranjang tak berselimut Ia terbaring temani tidurku di atas kanvas yang kian melepuh Malam menangis membuat mata tak terpejam hingga senja datang membawa malam. Yogyakarta, 2006

Undak Mimpi

Undak-undak mimpi itu kunaiki lewat mimpi disana tak seorangpun menerka karena hanya engkau dan aku yang bermain-main di atas awan berkilau Engkau mengajakku bermalam mengisi sunyi yang kian sumbang oleh putaran waktu Engkau terkuliti malam hingga engkau resah karena akan pulang menuju neraka Maka, senyumlah sepuasmu nangislah sepuasmu engkau pasti tahu bahwa mimpi itu adala aku Yogyakarta, 2006

Bila Jiwa

Sekelebat bayang wajahmu mengajak bermain mengejutkan tidur Tidurmu bergantung di langit malam mata terpejam seribu kunang-kunang mendahului lelapmu Kekasihku, sudah cukup kita bersama dalam malam berdamping sentuh Bayangmu seakan mengajaku bicara Lalu kusapa “Adakah kerinduanmu padaku di sana” aku berharap engkau menjadi lega memejamkan mata bermimpi bermain dengan hati Bila kita menyapa lewat mimpi kau kulukis dengan cinta dan kubaca kedalaman ait mata untuk memaknai kanvas bisu yang telah kulukis sejak dulu Harapan dan impian telah kita ikat di hati menyala hingga menjadi bara betapa sederhananya Tuhan mempertemukan kita yang kian lama terpisah oleh waktu Yogyakarta, 2006

Kata

Kata membuat kita bahagia kata membuat kita bangun dari tidur kata membuat kita ada kata membuat kita berfikir kata membuat kita pembunuh kata membuat kita sampai pada ilahi kata membuat air mata berlinang kata membuat kekasih takluk di pangkuan Betapa banyak kata-kata terdampar mengisi manusia dan alam ini agar tertata rapi Aku selalu berharap dalam kekosongan yang kian tiada arti dan makna agar tertanam kata-kata Kekosongan selalu ada entah kemana ia pergi? hingga aku tak punyak apa-apa kecuali diam tanpa kata Kata tak selamanya ada ia tidur bersama Tuhan diatas ranjang kekuasaan tapi, engkau tetap kunanti sampai kau bangun besok pagi Yogyakarta, 2006

Saat Bayangmu Menyapa

Sesaat wajah ayu meniti lewat benang menyatu dalam diri berbuah jadi satu adalah tiada menjadi ada Bayangan wajah tiada lepas dari angan yang bermain di sana dengan hiasan senyum manis di balik jilbab Kehadiran wajahmu menyapa segala rindu menyatu di seluruh raga bagai pupuk di akar rumput Minggiran, Januari 2006

Temani Malam

Engkau mengisi malam bagai trotoar yang melangkah iringi gerimis meraba rambut terkulai Teh dan instan sudah siap untuk kau telan Mengalir kepojok-pojok membelai uang diatas beton dengan cangkir-cangkir yang digantung diatas sana oleh pemiliknya Yogyakarta, 2006

Pelupuk Jiwa

Potongan hati menjelma jadi kata terdiam dipelupuk jiwa memporak-poranda angin yang datang Bertebaran cahaya dicakrawala disaat engkau dungu menatap jiwamu sendiri yang menbendung karena benang-benang lelah dan sinyal tak lagi terdengar Gelap merunduk pecah berlobang Yogyakarta, 2005

Penyagga Dunia

Langit tenang kala itu karena tebarkan sutra keimanan untuk membahagiakan dunia Langit tak lagi muram karena sang sutra melekat hiasi tubuh alam dan melati ranum Alam kasmaran lihat selinap kerudung duwet basa kerikil karena cinta Pohon sesren melihat karena indahnya dunia Yogyakarta, 2005

Keagungan Tuhan

Menjulang bumi dihamparkan dan diwaktu tatap wajah cantik Kejernihan mata mengalir bebatuan, rumput pucuk cemara melambai dan mendesis Bersinar indah rembulan bagai buah-buahan ranum dan saripati sang maha bijak adalah keagungan Tuhan Yogyakarta, 2005

Sepanjang Perjalanan Matahari

Air mata diteteskan sedang lembaran tales hijau diranting kering mengalir kebasahan menyocok hati yang letih Di simpang jalanan sampah harum buat tikus dan lalat matahari cuma bisa meredamnya dari atas sana juga harum bagi rekuh untuk isap gula nikmat yang tertanam didalamnya mentari mengolok-olok diwaktu meraih tiada lapar dan haus Yogyakarta, 2005

Malam itu

Malam itu lembaran –lembaran sabar menunggu disana aku mengisi senyum yang membalut ilusi Angin sepi disana menirukan Tuhan tangis hati dan lidah memekarkan tamu dan konvoi pada jarum dunia Lewat raungan malam itu engkau menyapa dan bercinta sambil mengusir sunyi Langit terbuka bumi membaca para asongan pahit dan jerit bagai batu yang membatu Yogayakarta, 2005

Suara

Suara I Salam takzim dari kami wahai para pemandang dunia yang abeit dengan tatapanmu isi alam akan ramping dengan gemuruh sosial II Wahai penyebar ketenangan titianmu, membuat ajunan sadar apa yang engkau genggam saat ini III Wahai penyebar ketenangan dengan membuka kitab klasikmu dari yang paling kecil ke yang paling besar agar engkau tahu apa sebenarnya isi dunia ini IV Wahai penyebar ketenangan dengannya engkau tahu apa yang mencakar langit sebenernya apa dunia ini V Wahai penyebar ketenangan tinjauanmu membuat alam ini sadar apa yang ia mainkan VI Wahai penyebar ketenangan dengan pegangan tanganmu pemikir yang mencakar langit itu tiada berselimutkan kabut hitam untuk mengubah dunia yang senantiasa teraliri tekanan batin yang mengusiknya Jogja, 5 Mie 2009

Aku, Sastra dan Realitas

Oleh: Matroni el-Moezany* Aku adalah sebuah ruang atau katakanlah masyarakat yang berkesinambungan untuk menjalin hubungan antar rasa dan jiwa, saling menolong, saling membantu, dalam setiap pekerjaan, begitu pun dengan sastra dalam realitas juga saling mengisi dalam setiap ada waktu luang untuk berdialektika tentang realitas itu sendiri. Artinya dalam ralitas sastra memiliki andil yang cukup aktif untuk menggerakkan suasana realitas, baik realitas opini, relitas publik dan realitas itu sendiri. Ketiga inilah sastra masuk menumbuhkembangan kesejukan rasa dan jiwa untuk menjadi bahasa yang akomodatif dan tetap kontkstual dalam menghadapi seni yang dis-orisinal. Jadi untuk bertetangga dengan sastra, bagaimana kita bertutur yang halus, bagaimana bermoral yang baik, dan bagaimana cara menyampaikan pesan kekeluargaan, sebagai keluarga yang damai, dan bahagia dalam menghadapi realitas. Sebab tidak mudah untuk berkenalan dengan sastra. Banyak luka dan derita, karena sastra bermula dari ses

Kesenian Sebagai Estetika

Oleh: Matrony el-Moezany* Pada dasarnya adalah estetika. Selebihnya “cinta” “suka-cita” “pacaran” “air mata”, dan ratusan istilah yang maknanya sama atau mirip dengan cinta. Rabindranat Tagori memang benar, dalam puisinya yang mengatakan: o kecantikan temukanlah dirimu dalam cinta bukan dalam cermin. Sungguh menyakitkan berpisah karena cinta. Jadi untuk mendapatkan kesenian yang bernilai dan mempunyai nilai-nila estetika tentunya kita harus berdarah-darah, dan harus mempunyai kemampuan kreativitas dalam setiap karya-karya. Sebab kemana dan dimana kita akan selalu bersama cinta. Karena pertemuan ini bukanlah pertemuan melainkan cinta, sesuatu atau apa saja. Kita memang sudah berkreatif siapa bilang kita primitif. Buktinya, semua aspek kehidupan, baik yang secara riil maupun absrak sudah kita kontemplasikan agar semua itu senantiasa nantinya dan bahkan sejak awal menjadi kebun-kebun estetika. Sedemikian rupa yang ada hanyalah “cinta”. Kebudayaan kita adalah kebudayaan seni, dan seni este

Sastra dalam Menghadapi Pluralitas Budaya

Oleh: Matrony el-Moezany* Sastra kreatif mengandung banyak lapisan makna, yang beberapa dari padanya memang dimadsudkan pengarang, dan beberapa pula tidak dimadsudkannya (Leo Loewenthal). Salah satu problematika yang dihadapi dalam membangun budaya kita dewasa ini adalah pembangunan mental budaya. Berhubung sastra sangat erat hubungannya dengan budaya maka, dalam hal ini sastra memiliki andil untuk menghadapi, mensosialisasi, bahkan membangun budaya dengan pengahayatan sastra kata Emha Ainun Nadjib. Sebab sastra memberikan analisis yang melukiskan sebuah kecenderungan-kecenderungan utama dalam budaya, baik karena sebuah teks dengan sadar atau tidak sadar mengungkapkannya, maupun karena teks tersebut sengaja atau tidak sengaja menghindari atau mengelabuinya. Sebab sebuah cerita kata Ignas Kleden dapat melukiskan situasi kejiwaan seorang individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat menjadi metafor yang berhasil atau gagal untuk keadaan masyarakat tempat tokoh yang bersangkutan hidup.

Tergesernya Nilai Kesusastraan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany* Dalam wacana kesusastraan, tentunya kita banyak tahu bagaimana dan seperti apa sastra dalam menyikapi realitas sosial. Sehingga sekarang yang terlihat hanya sebatas menulis tanpa ada pertimbangan kemana arah sastra kita ke depan. Saya kira, sastra pada mulanya lahir sebagai protes terhadap kecenderungan pada hedonisme dan materialisme yang meluas dalam masyarakat, terutama yang tinggal di kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan politik dan perdagangan ketika itu. Tetapi lambat laun, dengan berjalannya waktu dan keterlibatan para sastrawannya dalam berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan, wacana pengetahuan dan pemikiran mereka juga meluas merangkumi berbagai aspek persoalan keagamaan dan sosial budaya. Inilah sebenarnya yang penulis maksud tergeser, sebab sastra yang selama ini masih berkutat pada ranah romantisme belaka, memori-memori belaka. Kalau kita melirik sedikit pada sejarah bahwa peranan penting mereka ini tidak hanya dapat d