Zapin, Representasi Marwah, Jati Diri, dan Perekat Masyarakat Melayu

Oleh: Matroni el-Moezany dan Dwi Lestari ST

Masuknya ajaran Islam ke daerah Nusantara, khususnya ke daerah Riau pada abad ke XII-XIV yang dibawa oleh bangsa Arab dan Persi, telah meninggalkan pengaruhnya dalam bidang budaya dan kesenian. Kesenian yang berkembang sebagai hasil pengaruh kedua budaya di atas di antaranya adalah tari Zapin dan Gambus Riau. Kesenian ini banyak berkembang di pulau Bengkalis, pulau Penyengat, dan Siak Sri Indrapura. Selain memperkaya kazanah tarian di Nusantara, zapin merupakan salah satu kesenian yang menjadi identitas masyarakat Melayu (khususnya Bengkalis) dan mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Menurut akar katanya, zapin berasal dari bahasa Arab, zafn, zafan yang bermakna gerak atau langkah (kaki), melangkah, zaf (alat petik berdawai 12), dan al-zafn dimaknai sebagai mengambil langkah atau mengangkat satu kaki. Kesenian ini diperkenalkan para gujarat dari Hadramaut, Yaman ketika mereka berdagang sambil menyebarkan agama Islam. Ketika itulah mereka mempertunjukkan sebuah tarian yang sarat dengan gerakan kaki menghentak-menggelora yang lazim mendasari model irama tarian Padang Pasir. Gerakan tarian itu diiringi pula oleh nyanyian yang syair lagu-lagunya berisi pengagungan kepada Allah dan salawat atau ungkapan kecintaan kepada Nabi Muhammad.
Kesenian adalah produk masyarakat yang tidak pernah lepas dari masyarakat dengan segala aktivitas budaya yang mencakup, mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, dan mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi.
Merriam (seniman Melayu) mengatakan bahwa bunyi musik dihasilkan oleh perilaku manusia, tanpa perilaku tiada bunyi. Perilaku dilandasi oleh tingkatan lain, yaitu tingkatan konsep-konsep mengenai musik. Pangkal perilaku adalah konsep untuk dapat bergerak di dalam suatu sistem musik, orang harus mempunyai konsep terlebih dahulu mengenai perilaku apa yang akan menghasilkan bunyi seperti yang diinginkan.
Dalam melihat konteks zapin Melayu di tengah masyarakat Melayu sebagai motivasi yang mengarah pada peristiwa tarian dan juga musik, Merriam memberikan empat pengertian, yaitu (1) sinonim dari penyelenggaraan, ‘memainkan partitur‘ atau sedang aktif melakukan sesuatu; (2) fungsi dibuat dengan tidak sembarangan, semua fakta sosial mempunyai fungsi; (3) fungsi didasarkan rasa secara fisik; (4) fungsi dapat diletakkan sebagai keefektifan khusus
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari puak Melayu, Bengkalis selain mengenal pantun dengan sangat baik, juga menempatkan zapin sebagai ikon.. Pantun merupakan salah satu ikon Melayu yang di sana ada filosofi, simpul ingatan kolektif dan elan dalam menjalani kehidupan. Zapin juga demikian. Di sana ada filosofi, ekspresi kultural, dan pantulan kehidupan keseharian masyarakat yang diwujudkan lewat sejumlah nama ragam gerakan-gerakan zapin yang sangat khas. Ada sejarah panjang yang menyertainya, ada ruh budaya yang mendekam dalam jiwa dan filosofinya; ada harapan di depan dan hasrat membangun marwah Bengkalis sebagai bagian dari pandangan dunia Melayu. Dan zapin seperti merepresentasikan gelora semangat itu.
Zapin Bengkalis, konon, mula berkembang selepas Kesultanan Siak Sri Indrapura tidak lagi memainkan peranan penting dalam kehidupan pemerintahan. Tarian zapin kemudian tidak lagi dapat dipertahankan sebagai kesenian eksklusif yang hanya dimainkan di kalangan istana dan kerabat kesultanan. Sebagaimana lazimnya kesenian yang tumbuh dan berkembang di kalangan istana, pakem zapin yang semula begitu ketat dengan gerakan yang sangat menonjolkan kehalusan dan langkah kaki yang rapat, kini mulai disusupi dengan menekankan kelincahan dan kepiawaian gerak. Penari perempuan yang dalam zapin awal tidak diizinkan kini justru menjadi bagian yang sama pentingnya dengan penari laki-laki.
Masyarakat menerima pentas seni ini sebagai manifestasi keberadaannya, eksistensi, jati diri dan identitas kultural. Dengan semangat egalitarian, zapin justru berkembang semarak yang lalu diklaim tidak hanya sebagai ekspresi kesukacitaan mereka, tetapi juga sebagai salah satu cara menawarkan pencerahan jiwa melalui simbolisasi keberimanan dan pesan-pesan moral dalam lagu-lagu yang mengiringi tarian zapin. Zapin kemudian menjadi kesenian yang bersifat edukatif dan menghibur.
Dalam sejumlah gerakan zapin, secara kasat mata, kita akan melihat, bahwa di sana ada kelenturan, kehalusan, dan keindahan, bahkan juga sampai pada gerakan kaku, patah-patah, dan akas. Tetapi di balik itu, ada filosofi dan pandangan hidup. Misalnya gerakan Selo Sembah sebagai salam pembuka. Selepas itu, tampillah sang penari zapin membawakan gerak melangkah dari satu alif, sebuah gerakan sut tiga kali ke depan, sut di tengah satu sebanyak lima kali. Itulah awal permulaan menari. Gerakan ini sesungguhnya simbolisasi rukun Islam yang kelima. Gerakan itu segera dilanjutkan dengan alif dua dengan langkah sut depan dua kali dan sut tengah satu kali sebanyak dua kali. Itulah simbol penari bermohon izin hendak menunjukkan (kepiawaian) tariannya yang dilandasi sikapnya sebagai Muslim, yaitu berteguh pada keberimanannya: menempatkan al-Quran dan Hadist sebagai langkah menjalani kehidupan.
Zapin yang diperkenalkan dengan gerakan-gerakan yang berulang dan dengan segala kesederhanaannya itu, diterima sebagai karakteristik dasar. Tetapi kemudian dikembangkan dengan berbagai variasi geraknya, ditaburi sejumlah kebaruan, disusupi jiwa, ruh, dan semangat kultur lokalitas dan lingkungan tempatan, dan dijadikan sebagai salah satu sarana dakwah ketika syair-syair lagunya didendangkan. Di sanalah mengeram elan vital kultur tempatan yang memancar dalam berbagai variasi gerak. Lalu muncullah klaim-klaim sebagai legitimasi kreativitas senimannya.
Berzapin bagi mereka adalah alat bergaul, etika dan tatakrama berbudaya, gaya hidup, adab bermasyarakat, dan jati diri sebagai Melayu. Dengan demikian, zapin juga berfungsi sebagai alat perekat kerukunan bermasyarakat.
Di samping itu, agar kesemarakan itu didukung dan dibarengi pula oleh kualitas yang baik, secara berkala dan berkesinambungan, diselenggarakanlah workshop, pelatihan, lokakarya, dan seminar dengan menghadirkan para pakar dan seniman dari dalam dan luar negeri dengan reputasi nasional dan internasional. Muara segala aktivitas itu adalah festival tahunan yang diberi nama Semarak Zapin; sebuah perhelatan akbar berskala internasional yang mempertemukan kelompok-kelompok zapin terbaik dari mancanegara.
Begitulah, zapin pada akhirnya menjadi salah satu alat untuk mengangkat marwah kesenian kebudayaan Melayu. Dengan kesadaran itulah, sejumlah besar kelompok atau sanggar di Bengkalis, hampir tidak pernah luput dalam keikutsertaannya terlibat dan ambil bagian dalam berbagai festival atau pentas di tingkat nasional dan internasional. Sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Brunei Darussalam, rutin didatangi dalam rangka keikutsertaan mereka dalam festival zapin yang diselenggarakan di negara-negara itu.
Dalam sebuah festival internasional di Italia (2008) yang diikuti lebih dari 30-an kelompok seniman dan penari dari mancanegara, zapin Bengkalis dengan penata panggung Asrizal Nur, terpilih sebagai kelompok penari dengan penampilan terbaik. Kehadiran rombongan seniman Bengkalis yang sebelumnya sama sekali tidak diperhitungkan itu, tidak hanya berhasil memukau para seniman dari mancanegara dan memberi inspirasi bagi seniman yang hadir di sana, tetapi juga meneguhkan dan sekaligus juga melegitimasi reputasi para seniman Bengkalis dalam kancah internasional. Reputasi internasional itu ditanggapi para seniman, Pemerintah Daerah, dan masyarakat Bengkalis sendiri secara positif. Lahirlah kemudian karya-karya baru tarian zapin, antara lain, Kopi Tumpah, Pulut Hitam, Bunga Cempaka, tarian Sayang Cik Isah, dan album lagu Melayu yang bertajuk Zapin Bermandah.
Demikianlah, Bengkalis dan zapin telah bergerak saling membesarkan. Maka, patutlah kiranya Bengkalis digelari sebagai negeri zapin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura