Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2009

Dua Perempuan Tanpa Nama

Oleh: Matroni el-Moezany* Padahal Hasan tahu bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang ada tanpa nama. Itulah yang membuat Hasan selalu bertanya siapa perempuan itu? Padahal sudah berulangkali Hasan bertanya. Jawabnya tetap aku tidak memiliki nama, jawab perempuan itu. Bagi Hasan perempuan adalah rasa, makanya banyak orang di dunia ini ingin merasakan apa itu rasa. Sampai saat ini orang mencari dan melahirkan rasa dengan berbagai cara, ada dengan ikatan perkawinan, dengan cara pacaran, dengan cara seks komersial. Awalnya rasa ini memang sangat suci dan bening. Tapi, sampai saat ini orang banyak menggunakan rasa itu dengan seenaknya sendiri. Walau ada perempaun tanpa nama yang datang dari diri Hasan, tapi Hasan tetap akan menjernihkan apa perempuan rasa. Kini, kepercayaan itu sekarang sudah dicemari oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Di dunia kini adalah dunia tanpa nama, Hasan semakin bingung dan gelisah memikirkan sesuatu yang tanpa nama itu. Mengapa dia bilang perempua

Yogyakarta dan Budaya “Main-Main”

Oleh: Matroni el-Moezany* Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, dan kota seni memiliki kompleksitas yang luar biasa bagi kita (mahasiswa dan anak didik). Mereka hanya menjadi mahasiswa atau anak didik yang disiplin, patuh pada sistem yang mengungkung dirinya (sami’na waatha’na), sehingga mereka hanya menjadi “kupu-kupu” kampus yaitu “kuliah pulang, kuliah pulang”, mereka belum memiliki daya kritis untuk mengkritik sistem yang mereka pakai. Tidak mengherankan jika kemudian kita sebagai pelajar ketika ada “waktu senggang” hanya di isi dengan “main-main” seperti makrab, rekreasi, pergi mall, dan lain sebagainya. Waktu senggang bagi mereka adalah waktu yang harus di isi dengan berbagai kegiatan main-main keseharian. Tanpa ada upaya untuk mengkritisi waktu senggang itu sendiri sehingga terbuang sia-sia. Sehingga mereka larut dalam keseharian itu. Terpesona dengan keseharian, dan lupa akan dirinya. Ketika waktu senggang hanya jeda bagi para pelajar Yogyakarta, dan banyak mal

Kota Dalam Mimpi

terlihat begitu indah air berwarna putih dan di atasnya orang-orang menghadap tuhan kunaiki tangga ke lima mencari ketimpangan dalam diri kekurangan dalam ruang lalu kubakar segala keinginan yang paling terhampa agas asap yang mengepul tak usah kuberdebatkan lagi kalau pun itu ada ia hanya darah yang belum terhapus oleh waktu lalu semuanya menjadi menjadi segala hal yang terhantui hingga keperawanan semesta terluka CRCS, 19 Februari 2009

Telanjang Di Atas Piring

O kata jika aku memakaimu bakarlah aku denga api jika aku membacamu tuangkanlah jika aku merengkuhnya jangan tampik aku dari keindahanmu kepak kata terbang mencapai cakrawala kata, kuharuskan wajahnya berpaling di balik tabir walau akhirnya kau hilang tapi, apa yang abadi takkan pupus inilah yang terindah di dunia darah Yogyakarta, 2009

Malam-Pagi

Percakapan diam terulang di sudut malam Kasur sendiri beruang tiap cakap Mabuk kelelapan Tiada mengerti Kapan lelap berakhir Dengan pagi Yogyakarta, 23 April 2009

Engkau Racuni Rasa

Dimanakah engkau tunggui Ketertinggalan, mengurus batu Yogyakarta, 22 April 2009

Suara

Menatap tampak bening bersembunyi Mendengar bergema terang lembab Seperti itu? Suara dulu melangit Sesobek kanvas tertaburi duri Setangkai sesren tak manis Sesuatu bukan kata dan suara diam di batu cair membekukan suara Yogyakarta, 22 April 2009

Amanah Tak Sengaja

Sore beragam cahaya semacam linang tak terbaca Yogyakarta, 21 April 2009

Kata Perempuan Senja

Kita mengabdi Berjalan berdua, walau hujan membasahi tubuh Karena payung tak cukup berdua Kini, pagi dan sore engkau hiasi darah dengan keringat Agar detik setajam keinginan kita Sesabar pohon yang kerap kita basahi kata “sabar” dan putih di sayap hujan Malam itu, kita benar berjalan Seperti jalan awan di atas batu Kita tak mungkin di raba kunang-kunang keringat kita tak wangi seperti wangi Sepasang seperti sebesar semesta Putih kita yakini Mencari bintang dan tidur kita Pengok, 20 April 2009

Tanpa peta

Engkau jejakkan tanpa peta Mengejar semesta agar memelukku Dimana engkau Apakah cinta yang akan memberi jalan menemukan arah Aku persembahkan diri pada orang lain Karena itu adalah diriku yang lain Biarkanlah aku rajang waktu Walau diri tak terjalin cinta dari kamu Aku kirimkan diriku yang sebagai pelengkap rasa Yang terbuang dari jiwa Jogja, 2009

Permintaan

Semenjak kurengkuh hati lembutmu Kau sandungkan rasa untuk menempelkan kata ke langit Seperti peperangan besar yang belum terjadi pada orang lain Kini kami sudah menang, dan kemenangan itu Takkan ada batu yang mampu menyandungkan kaki Untuk kembali pada ruang ketidakpastian Karena kami saat ini sudah duduk rapat dalam jalinan huruf-huruf Tuhan Pengok, Jogja, 2009

Penyair, Petanda yang Ditandai

Ron, engkau memilih sengsara, katanya Karena engkau jadi penyair Sungguh kau tak menghargai detik waktu berjejak Kau belum merasakan bagaimana berjejak Hingga kau tak peduli angkuhmu melukai matahari Hidupmu yang serba ada, tak sadari Ia akan mati dengan jejak waktuku Kini, aku hanya menjejakkan kata Untuk merobohkan angkuhmu Boleh kau angkuh seperti itu karena hartamu Tapi, kau tak akan merasakan kebahagiaan Kau akan mengemis padaku Apa arti hidup yang mengalir dalam darahku Pengok, Jogja, 2009

Embu’ 

Embu’ anakmu kini tak berdaya Oleh balutan darah kental yang melingkupi jiwa Seperti mendung ingin hujan membanjiri luka-luka Kisah waktu selama bertahun-tahun aku kosongi Hanya hegemoni kata yang tersaring rapi oleh bibir-bibir Hingga di bawa semesta ini orang-orang dengan sendiri Percaya kalau kata-kata adalah intelektualitasmu Dari teks yang memberi kabar lewat satu bibir Menjadi sejarah panjang dalam kesadaran jalanku Semacam menentang aturan Tuhan Hidupku itu Embu’ Anakmu kini tak berdaya Sudah banyak kata yang rusak Maafkanlah peradabanku ini Yang mentidakmanusiakanmu Karena sudah terlanjur hujan maka, mandilah Tiada waktu tanpa mandi dengan awan tebal di jiwa tanpa dosa-dosa jejak di kaki semua itu karena ulahku sendiri roni, hidanganmu terlalu lugu untuk menjadi penyair besar karena hanya sekecil kata engkau luangkan menerima rasa yang terkalung di leher malam Embu’ anakmu kemaren dilukai harta yang tak lama akan mati dengan anakmu sakit sekali

Lebah

Aku bermimpi hujan lebat sekali Mendekati pandanganku Semua orang ketakutan, lari Aku dan adikku Wil Duduk melihat hujan itu Ternyata hujan datang beriring lebah Lalu menghampiri aku dan adikku Dengan kening keemasan Lebah itu berbicara padaku dan adikku “Jangan engkau makan madu Karena ia adalah tempat menghilangkan harusku” Mulai detik mimpi itu Madu yang kubeli 70 ribu Kusimpan di atas rak buku Tanpa kuminum dan kusentuh Entah mengapa mimpi itu Membuatku khawatir? padahal aku tak percaya Jogja, 2009

Menyadari, tapi Terbelenggu

Ibu, anakmu kini Duduk merenung sepanjang masa Menyesali dosa harian yang belum terhapus waktu Ibu, anakmu kini Terbalut awan tebal berbalut hujan Tak berdaya merangkai syair Ibu, anakmu kini Sudah tak sekuat kata-kata Sekali berucap sungai-sungai mengalir di bibirmu Tak ada bendungan menahanku Tak ada jeda waktu untuk istirahat Kecuali terhanyut oleh pesona awan hitam itu Sampai sedalam-dalamnya Apakah engkau ada ingin untuk mencari angin surga? Tentunya begitulah inginku ketika waktu mengingatkan Kini, hanya hati kecil yang mampu menembus rasa dalam kata Sebagai bukti kalau aku benar-benar menyadari dalam diri Tapi tidak dalam tindak, Aku tak mengerti! Mengapa mesti begitu? Jogja, 2009

Sesuatu Yang Mengherankan

Seperti mata anak-anak Melihat sesuatu merasa heran Tanpa hanyut dalam permainan waktu Karena aku ingin bangun Dari tidur penindasan Apa yang kusebut kata-kata Kini mengkristal dalam denyut Kehidupan bangsa-bangsa Dan tak kutemukan Kemurahan hati, sikap saleh, manusiawi, dan kejujuran sang penguasa Engkau hanya tegas dalam kata, tapi Tidak dengan aksara Dimakah engaku simpan? Jogja, 2009

Penyair dan Kata-Kata Adalah Satu

Puisi tertinggi Adalah dasar kedirian Yang melekat pada penyair Yang tak terikat Puisi akan selalu membimbing Seluruh semestaku Untuk selalu sadar diri Tapi jangan pertahankan itu Karena kau akan kewalahan Melalui kata-kata Dalam kekuatan puisi Penyair dan kata-kata adalah satu Jogja, 2009

Ketika Penyair Berdarah

Ketika penyair berdarah Kata-kata menggumpal dalam puisi Memulai perekaman-perekaman Karena penguasa kutakmampu Menyamapaikan lewat percakapan Mereka tertutup dari kata penyair Kusampaikan lewat puisi Mereka tak membaca Kuteriakkan lewat bibir kering Mereka tak mendengar Lalu………? Dalam bentuk apa Suara ini bisa terdengar Dan menghasilkan efek dalam merubah suara rakyat Kini, rakyat tercengang Tak mengerti apa Arti hukum bagi kami Ketika semuanya terlihat main-main Terangkum dalam benak Ketidakmengertian Sampaikan salam kosong kami Pada algojo-algojo gelap Yang pintar memainkan obor palsu Untuk membakar kebodohan kami Kami, kini, dan nanti Terjual rapi oleh sistem-sistem batu Jogja, 2009

Antarkan Aku Pada Langit

Antarkan aku pada langit Untuk menyampaikan keterlukaan Untuk menyampaikan pesan tunggal Sebagai imbalan malam-malam Keringat mulai terasa Angin pun membelai basah Tak kuasa menyiram keringnya bulan di dada Setelah mendekati langit Bintang tak memberiku jalan Karena kami terlalu banyak daun kering yang belum tersapu Angin membawaku dari tempat berisik Hanya pemimpi sejati bisa menembus langit Menerangkan luka-luka Dalam persemayaman sunyi-sunyi Padahal serumpun pesan itu Menginginkan jawaban ternilai Hanya ingin tahu, lalu pergi menyampaikan dan membaca lagi Jogja, 2009

Pagi Yang Ketiga

Kini akan kumainkan serangkaian matahari Yang tak terbit lewat jendela biasanya Kini orang-orang pada makan di kafe Dengan mulut berasap penuh makna uang Padahal kami di sini belum juga mendapat makan Sebelum pada saat makan siang tiba Kami belum juga mendapatkan air Inilah kami untuk Indonesia Begitulah ketika rakyat terluka Hanya masalah makan saja, mereka saling bunuh Saling tuduh, bahkan saling-saling Sedih memang, tapi begitulah adanya Melampaui ketidakmengertian ini Mungkin harus seperti itu atau ada yang lain tentang diriku Karena aku tak mengabdi untuk Indonesia Kami bukannya tak mau, Tapi, aku ingin engkau mengabdi untuk kami Mengabdi untuk rakyat, itu saja Karena serumpun bunga yang tak kau mengerti apa Adalah tanda ketakmengabdian penguasa untuk kata Kata adalah cinta, kata adalah bahasa Bahasa adalah pengikat kita Kata-kata adalah rakyat Di pagi yang ketiga Semua tertulis rapi untuk disampaikan Bahwa mereka cicak atau buaya, tikus atau kucin

Murtad

puisi ini kupersembahkan pada orang-orang yang belum mengenal Tuhan Tuhan.. semua yang bergerak, gelombang yang menerpa, nyawa yang menghidupkan, gempa yang melanda, sadarku ini, kata ini, bukan karena adamu itu sebuah pilihan pilihan tanpa tanganmu pilihan membuang makna pilihan kosong dari rasa semua adalah pilihan, tapi dimanakah pilihan untuk diri seribu jalan belum menjadi impian dari tepi jejak keinginan diperjalanan hari yang tak terangkai walau matahari terbit tiap hari serasa hanya kebiasaan di pagi hari, tanpa merasakan hangatnya kopi engkau baca kata-kata dalam buku engkau baca teman yang menderita, engkau baca seluruh isi semesta, tapi engkau belum baca satu huruf dalam diri keterbacaan yang tak diiringi teman jejak membuahkan rona-rona kebisuan keterbukaan langit menjadi sempit untuk di telusuri rinai-rinai kelembutan sudah sampaikah engkau di puncak gunung kematian? Apakah yang membuat impian ini tercapai? Seribu cahaya berlalu Menginjakk

Bisik Air Mata

Ketika semesta mendung kerinduan membelenggu dan di luar sana hujan kudengar air menetes seperti kerinduan yang menangis dimanakah merindumu? Musik senja bertemu musik senja Engkau juga belum datang Hanya suara yang kudengar Dari balik jendela kerinduan Seruling yang menggetarkan jiwa Tak membuat kerinduan menjadi tiada Kiloan jarak semakin rela aku tahan Dinding-dinding semesta kutatap resah Tapi ada janji di situ Memberikan haluan lembut Kata-kata kecil yang membara setelah musik selesai dimainkan Jogja, 2009

Ketidaksadaran Kata-Kata

Ketika kata-kata tak lagi sadar Kematian, kebutaan, kemiskinan, dan penindasan Akan selalu menjadi baju keseharian Pengok, Jogja, 2009

Licin Meluka

Engkau meluka menjadi waktu Bukan kematian yang menggerakkan hati tapi hidup yang tak beradab dan bintang-bintang membuat diri tidak ada kadang merasa bahwa ada berbicara tapi mereka tidak mendengar mulut berbusa hanya sekedar makan gerimis menampar dimanakah dirimu apakah engkau mengerti kesepian? Yogyakarta, 2008-2009

Nafas Sunyi

Tak ada butir tersisa pada ruang sunyi di dapur itu, ibu menangis dan engkau biarkan terjatuh di matanya terdiam mengeraskan bibir berjalan demikian rantai mengikat bukan kata, tapi mata Satu rasa yang belum selesai terlambat tak ada yang tahu kecepatan hati di wajahmu tiba-tiba menjadi cinta, semua bermalam sunyi antara tanah dan langit do’a dan sesal kau penyair, rupanya Yogyakarta, 2008-2009

Instrument

Tergenang dalamdalam kisah ruang hampa ternoda getar jiwa tak bisa di raba dan dikatakan sebenarnya Bagaimana mungkin kisah ini sangat indah bila air mata selalu ada dan kata-kata tak reda? Kekasih, jangan engkau harap bulan ini menjadi waktu sehingga jejak tiada arah yang utuh Simpan saja di ruangmu Agar tubuh tak merana berwaktu-waktu Jogja, 08-09

Terbangun Tengah Malam Setelah Bermimpi Melihat Kapal

Tahukah engkau sepasang sayap menyepi Merinai simbol perjalanan mimpi sebagai waktu Sebagai pernak-pernik ungkapan bahasa surau Dan pasir mengisi tepian melihat sayap mengalir seperti air Yk, 28 Mei 09

Bertemu

engkau benar memberi pada langit memuntahkan bulan pertama meledakan matahari untuk diserahkan waktu engkau simpan di harian buku dan ayunan puisi Kata berlutut di lisan malam merapat di yogya, memanen buah gudek dan menabur gelisah bermalam gelombang kereta silau menyambar bayang melukis jejak tanpa nama, tanpa sapa, tanpa gerak debu melintang di angkasa memetik kesadaran bila engkau benar cahaya mendekap semesta tak apa, kecuali satu: engkau pasti bertemu Yk, 2008,09

Refleksi hari Pohon

Oleh: Matroni el-Moezany* Sejauh ini belum ada rakyat kita yang merayakan hari pohon pada 21 Novemver yang sebegitu besar seperti pesta politik, entah ini karena bentuk ketidakpedulian kita terhadap pohon yang ada. Lalu bagaimana dengan Indonesia sampai saat ini? Perkembangan bangsa begitu cepat. Pembangunan fisik dimana-mana. Kini tidak sulit melihat gedung meninggi, yang menjadi masalah adalah apakah pembangunan fisik itu memikirkan aspek lingkungannya? Salah satunya tetap mempertahankan pohon tumbuh, tapi itu juga yang membuat pohon rindang? Memang, tidak semua pembangunan mengorbankan lingkungan. Di depan rumah-rumah misalnya kita masih melihat pohon-pohon dibiarkan tumbuh. Selain menambah estetika kota, pohon juga mengurangi polusi. Seperti para pelajar yang selalu menghabiskwan waktu di bawah pohon untuk berteduh sambil menunggu angkutan umum mereka setiap mereka pulan. Seandainya keindahan kota tetap mempertahankan aspek lingkungan, betapa sangat indahnya kota kita. Dengan memb

DISKUSI ROTIN MALAM JUM’AT*

Catatan oleh: Matroni el-Moezany Karena teman-teman sadar bahwa “yang memalukan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ketidakmauan untuk belajar” kata Plato, jadi teman-teman ingin belajar, walau kita hanya nyantai bareng diskusi. Diskusi ini sudah berjalan dua tahun, walau hanya empat orang yang aktif mengukuti, tapi teman-teman tetap semangat, antara lain, Ali Agil, (Gus Agil), Muhammad Mu’tasim Billah (Tasim), Muhammad Ali Faqih (Faqih), dan Matroni el-Moezany (Roni), inilah teman-teman yang masih aktif sampai sekarang. Diskusi ini konsen di bidang filsafat. Tidak formal alias ngobrol bareng (sharing bersama), kalau menurut bahasa teman-teman curhat. Pada sebuah ketika, pada tanggal 10-12-2009, pada malam jum’at, setelah teman-teman males, tapi kita tetap datang di tempat diskusi, ya, tempatnya di Multipurpose (MP) UIN setiap malam jum’at, teman-teman mengalami kegelisahan bersama; misalnya mereka bertanya tentang: Setelah ngobrol panjang lebar Gus Agil bilang bahwa stress memiliki pote

Politik tanpa Moral

Masyarakat kita saat ini adalah masyarakat pasar, atau masyarakat komersial. Cirinya adalah pembagian kerja yang terinci secara rasional, penghormatan akan hal milik pribadi, dan pengejaran kepentingan pribadi. Bernard de Mandeville melukiskan masyarakat sebuah kolom lebah. Di dalam masyarakat lebah, sumbangan-sumbangan seekor lebah individu bermanfaat bagi keseluruhan koloni lebah. Jadi pada masyarakat manusia, individu-individu yang mengejar kepentingan dirinya sekalipun akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat sebagai keseluruhan. Masyarakat Indonesia saat ini, malah sebaliknya mengejar dirinya untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebenarnya kita masih kalah terhadap masyaralat lebah. Tidak heran jika Indonesia seperti ini, karena memang manusia Indonesia masih banyak di belenggu nafsu-nafsu egoistik. Inilah sebenarnya sangat naïf. Andai saja masyarakat kita memiliki rasa simpati yang menyebabkan individu bisa membayangkan dirinya berada pada posisi orang lain. Dalam bidang ekonomi,

Tips Para Filsuf

Tisp Machiavelli untuk Leadership “Seorang pemimpin yang ingin menegaskan dirinya harus mampu untuk bertindak jahat (tegas), jika hal itu diperlukan” “Jika seorang pemimpin ingin mendapat nama baik di antara orang-orang lain karena kemurahan hatinya, pangerah itu justru harus memamerkan kemuraharan hatinya itu secara megah, dengan melakukan hal itu seorang pangeran akan selalu memakai sumber-sumber kekuasaannya dan dia akan dipatuhi” “Manusia tak begitu segan melecehkan orang yang membuat dirinya dicintai daripada orang yang membuat dirinya ditakuti” “Seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya, karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya” “Tak ada cara lain untuk melindungi diri dari penjilatan selain membiarkan orang membuka dirinya sendiri dan mengatakan kenyataannya kepada tanpa melukai dirimu” Tips Bacon untuk Keluarga “Sikap tegas menghasilkan rasa takut, sikap kasar menghasilkan rasa benci” “Gairah cinta paling baik di mala

Pelajaran dari Ibu Minah

Kompas, Selasa, 1 Desember 2009 | 02:58 WIB Suhardi Suryadi Profesor Sutandya W pernah mengatakan, hukum di Indonesia hanya galak kepada orang miskin, tidak berani kepada orang kaya. Ungkapan itu amat tepat untuk menggambarkan kasus Minah yang dihukum percobaan 1,5 bulan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto karena mengambil tiga buah kakao. Peristiwa ini melengkapi keterpurukan kinerja lembaga peradilan sebagai benteng keadilan. Masyarakat bukan saja kian tidak percaya, tetapi juga frustrasi dengan kinerja penegakan hukum yang menjauh dari rasa adil. Survei LP3ES, 14-15 November 2009, mengindikasikan, jika tahun 2005 tingkat kepuasan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum mencapai 51 persen, tahun 2009 melorot menjadi 19 persen. Meski kepuasan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum merosot, tidak berarti upaya menegakkan keadilan terhenti karena keadilan adalah kebutuhan kemanusiaan sepanjang masa. Pelajaran penting dari kasus Minah adalah bagaimana memberikan perlindungan hukum dan