Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Bahasa Peristiwa Sebagai Sastra Perlawanan

Oleh: Matroni Musèrang* Sastra melawan pernah digayang Wiji Tukul dengan hanya ada satu kata Lawan! Chairil Anwar, Rendra dengan puisi Famlet dalam puisi. Putu Wijaya dengan Novel dan dramanya, dan sekarang dimotori oleh Soseawan Leak dengan Sastra Menolak Korupsi. Namun ada waktu senggang yang menjadikan sastra mengalami kelesuan, salah satu alasan mengapa kelesuan itu terjadi yaitu karena tidak ada gerakan progresivitas, salah satu lainnya adalah tidak adanya keinginan untuk mencoba mencari ide-ide segar, ide-ide baru untuk dituliskan, sehingga yang terjadi “daur ulang” dari puisi-puisi yang terbit di koran dan buku. Sastra melawan merupakan metode untuk digunakan sebagai bentuk perlawanan sastrawan “Sumenep” terhadap kapital, hal-hal yang mangancam, dan merugikan masyarakat yang kini menjangkiti masyarakat Sumenep, seperti maraknya penjualan tanah mulai dari pesisir desa Andulang, Lapa, Lombang, Badur, bahkan Toang yang baru-baru ini menggelar rokad desa dan istigasah dala

Puisi dan Kampung Halaman Menelusuri “Sisa Cium Di Alun-Alun” Weni Suryandari

Oleh: Matroni Musèrang* Siapa yang tak ingin pulang Kampung Halaman menjadi sebuah nilai universal yang memayungi hampir semua antologi puisi “ Sisa Cium Di Alun-Alun ” karya Weni Suryandari. Namun kampung halaman bukan bermakna dimana kreator hidup saat itu. Kampung halaman sebuah proses eksistensial seseorang ber-Ada. Namun, keber-ada-an itu seringkali membuat kita direngkuh kerinduan. Direngkuh kesunyian masa lalu yang kini sudah jauh melanglang buana hidup di tengah-di tengah tungganglanggang kehidupan, yang hari ini menyelimui penyairnya. Sehingga wajar jika puisi yang lahir pun menggambaran kampung halaman yang pernah ia tempati. Di tengah kecamuk keramain kota, gejolak eksistensi penyair tentu akan rindu pada ombak, pantai, pasir, pohon, nelayan, kalau pun di di Bekasi tempat tinggal Weni Suryandari ada pantai, nelayan, pasir tentu itu semua tidak mampu mendamaikan gejolak eksistensi dirinya, sebab kampung kerinduan selalu menuntut rasa itu hidup dan bergejolak, mak

Belajar Menjadi Perempuan

Oleh: Matroni Musèrang* Perempuan adalah kitab semesta yang tidak akan pernah habis dibaca. Begitulah uangkapan yang  pas menurut saya ketika menyebut perempuan. Mengapa? Perempuan itu unik dan penuh rahasia, wajar jika Islam mengibaratkan posisi perempuan “sama” dengan Tuhan, bahkan Nabi Muhammad SAW pun menyebut kata perempuan itu tiga kali, dalam puisi Nay Juireng. Lantas siapakah sebenarnya perempuan itu? Sampai detik ini kita belum juga mengetahui siapa. Tapi saya harus menemukan perempuan itu dalam “ perempuan laut ” 2017 antologi puisi 10 penyair perempuan Madura, sebegai salah satu makna dari sekian banyak makna perempuan. Mari kita mulai pelan-pelan dari puisi-puisinya. Mengapa judul esai ini belajar menjadi perempuan, padahal yang ditelaah penyair perempuan? Inilah yang unik dari tulisan ini. Saya tidak akan menelaah baik dan tidak baik puisi ini, akan tetapi saya akan masuk lebih dalam dikedalaman makna dari puisi, sebab saya sampai hari ini yakin bahwa puisi memi