Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Sastrawan Sebenarnya dan Sastrawan Bukan Sebenarnya

Oleh: Matroni Muserang* Dalam dunia sastra, dua hal berlangsung yang nyaris bersamaan di Indonesia akhir-akhir ini: datangnya kebebasan menulis sastra (puisi) dan berlangsungnya revolusi kesusastraan. Pada saat yang bersamaan ada hal yang harus diteliti dan cukup menggelitik pikiran saya, kehadiran puisi dan munculnya penulis baru lewat media sosial yang ramai dilakukan dalam menulis sastra terutama puisi untuk menunjukkan bahwa “akulah penyair”. Mengapa? Karena sastra memiliki informasi yang tidak pernah satu arah. Sastra senantiasa multiarah dan selalu ingin berinteraksi. Dengan demikian, akan menjadi kuat roh atau makna sebagai penyampai pesan apa pun termasuk pesan moral, etika, estetika, budaya, agama, nilai dan filosofinya sehingga apa pun sistem kepenulisan sastra, esensialitas sastra itu akan terus berlangsung dan diperjuangkan.   Akhirnya masyarakat akan kaya dengan berbagai informasi dari berbagai fakta yang ada di tubuh puisi, baik yang tradisional, maupun yan

Sulitnya Menjadi Penyair

Oleh: Matroni Musèrang* Pertengahan bulan Maret 2012 lalu saya menjadi peserta temu penyair Nusantara Melayu Raya (NUMERA) di Padang yang dimotori oleh penyair Negara Malaysia yang melibatkan para sastrawan dari Negara tetangga, di antaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Philipina, Singapura, dan Thailand. Dan panitia tidak menyediakan uang transpot. Tentunya saya senang di undang ke Padang untuk acara tersebut. Tapi saya tak bias hadir karena kendala uang transpot. Bukan saya tidak usaha mencari dana transpot, saya sudah membuat surat ke Dinas yang ada di Yogyakarta sekedar meminta bantuan dana transpot, tapi tak ada dinas satu pun yang memberi bantuan dana, alasannya klasik, “tak ada anggaran untuk acara tersebut” dan saya tidak usah menyebutkan dinas apakah itu yang jelas di kota budaya ini. Dari awal saya menginjakkan kaki di kota ini pada tahun 2005, saya mengira kota ini akan memberi apresiasi yang baik untuk para penulis, terutama penulis sastra, tapi kenyataannya

"Bunuh Diri" Budaya Apaan

Matroni Muserang Ketika sebuah bangsa tak memiliki kemandirian, dapat dipastikan bangsa itu akan mengalami kemiskinan dan penindasan. Baik kemiskinan diri kita, budaya, cagar budaya, dan pusaka. Bunuh Diri budaya adalah salah satu bukti bahwa kita belum mampu untuk mengelolah kekayaan kita sendiri. Tidak heran bila Indonesia mengacu pada peradaban Barat. Itulah yang membuat jati diri bangsa menjadi hancur. Kota yang baik adalah kota yang mampu menghadirkan sejarahnya dari waktu ke waktu secara fisik dan visual dalam wujud lingkungan dan bangunan kuno bersejarah (Kompas, 12 Mei 2010 ). Kita hanya prihatin, tapi ada upaya untuk melindungi, banyak sekali bangunan kuno bersejarah di segenap pelosok Tanah Air dibongkar untuk memberikan tempat bagi pembangunan baru yang modern, late modern, postmodern, yang sering tidak kontekstual dan tidak berkarakter. Sebuah bangsa yang benar-benar lupa akan dirinya sendiri. Padahal bangsa ini dibangun di atas sejarah perjuangan, berjuang un

Cara Membangun Perkampungan Puisi[1]

Oleh: Matroni Musèrang* Setelah saya membaca manuskrip puisi “ Cara Berbagi Gembira ” F. Rizal Alief ini, ada gaya baru dalam menulis, dari pertama saya kenal dan berkencan dengan Faidi di Yogyakarta tahun 2006 tidak seperti ini puisinya, dalam manuskrip ini dua-dua yang dipisah titik di tengah, kalau Sofyan dengan #, tapi Faidi dengan titik, tapi saya tidak tahu mengapa harus titik sebagai pemisah? Dalam catatan ini saya akan fokus pada latar belakang judul ini muncul dan bagaimana relasi makna antara judul dengan sub judul puisi. Sebab tulisan ini hanya sebagai pintu awal untuk kita diskusi. Saya membaca manuskrip yang berisi 45 lima judul puisi dalam perspektif filosofis secara garis besar ada dua gerbong pertama dalam manuskrip ini menawarkan “kesejukan, kedamaian atau kegermbiraan”, kedua menawarkan cara bagaimana kesejukan, kedamaian dan kegembiraan itu dibangun.   Perspektif filosofis bukan kemudian saya ingin membahas satu - persatu dalam puisi ini, tidak, akan tetapi

Syair Daun Bayem

segenggang daun bayem yang hijau tumbuh di samping rel kereta api kaki-kaki membentang tak peduli cahaya senja keemasan terpantul dari atas jembatan Lempuyangan dan Janti yang tumbuh di situ ayat-ayat matahari juga isyarat angin yang kerap didzikirkan oleh bibir sunyi sawah membentang, orang modern berlipatan di antara rel kereta api. Melaju ke depan kadang ke dalam kadang tungganglanggang. Tersandung batu keseharian yang memanas. Kadang kering, kadang hijau daun bayem di hutan daun bayem aku mengembara ke perkampungan jiwa dikedalaman batu-batu hitam ada nyerih akar kemanusiaan yang gersang. Rusuk-rusuk daun bayem berjualan di pasar keabadian hijau daun bayem mengalir ke sungai peradaban pikiran menyisir di tepian bayang-bayang kadang kulihat capung terbang daun bayem ada petani menanam padi. Ada ibu-ibu mengendong barang dagangan. Di gendong daun-daun bayem tak berpenyakit dan tak kering kulit-kulit pikiran aku mengerti ini ayat-ayat yang

Mantra Tahun

aku memang tidak mampu menerka waktu namun ada ayat yang dikenalkan pada jejak pada angin, pada daun, pada awan dan langit lewat lembar matahari dan hujan tanah-tanah basah daun-daun menghijau laut pun bergelombang awal tahun, awal ayatayat tertulis di atas kertas kemanusiaan ada yang membunuh anaknya dengan kejam peperangan antar Negara pun tak selesai-selesai korupsi apalagi aku bukan hendak meramal atau menjadi dukun bukankah sudah terjadi di jalanan aku menyimak dan mengikuti menulis di kertas kata-kata aku ingin gapuraku hijau dengan turunnya hujan menikmati susu hangat buatan isteriku dan TV yang dihidupkan rama tiap pagi tak menggantikan sapu yang membersihkan sampah angin yang menerpa waktu tapi aku ingin gapuraku hijau sehijau matamu yang biru Battangan, 2016

Zaman

Jurang zaman telah jatuh pada waktu terkulai dikerajaan singa zaman itu sebuah ruang terisi warna dan waktu melekat pada singgasana Kiranya malam tak ada di sana pada sinar jiwa yang gelap mungkinkah surau akan jadi hari? tanya itu sebuah mimpi menjadi bunga dikedalaman mata Waktu terus berlaju seperti kapal berlayar bersama samudera bayu hilir kian larut di sumbu cinta munginkah dikedalaman itu kau sadar sebuah kata yang belum selesai terakit menjadi puisi? Akhirnya kau sadar Tenyata kau adalah "Aku" Yogyakarta 2008