Sastra dalam Menghadapi Pluralitas Budaya

Oleh: Matrony el-Moezany*

Sastra kreatif mengandung banyak lapisan makna, yang beberapa dari padanya memang dimadsudkan pengarang, dan beberapa pula tidak dimadsudkannya (Leo Loewenthal).

Salah satu problematika yang dihadapi dalam membangun budaya kita dewasa ini adalah pembangunan mental budaya. Berhubung sastra sangat erat hubungannya dengan budaya maka, dalam hal ini sastra memiliki andil untuk menghadapi, mensosialisasi, bahkan membangun budaya dengan pengahayatan sastra kata Emha Ainun Nadjib. Sebab sastra memberikan analisis yang melukiskan sebuah kecenderungan-kecenderungan utama dalam budaya, baik karena sebuah teks dengan sadar atau tidak sadar mengungkapkannya, maupun karena teks tersebut sengaja atau tidak sengaja menghindari atau mengelabuinya. Sebab sebuah cerita kata Ignas Kleden dapat melukiskan situasi kejiwaan seorang individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat menjadi metafor yang berhasil atau gagal untuk keadaan masyarakat tempat tokoh yang bersangkutan hidup.
Teks bagi kalangan dekontruksionis merupakan permainan penanda-penanda, permainan antara berbagai perbedaan, sedangkan sastra adalah sesuatu yang ada dalam manusia yang memberikan interpretasi serta penilaian peristiwa-peristiwa dalam dialektika kebudayaan. Kalau dalam penafsiran ada optimisme bahwa penafsiran bisa dimengerti lebih baik dan objektif terhadap sastra maka, budaya merupakan lapisan dari beberapa peristiwa-peristiwa.
Di sini Derrida mengatakan yang pernah dikutip oleh Goenawan Mohamad dalam orasinya. “saya mendefinisikan penulisan kata Derrida”. “sebagai mustahilnya sebuah rantai yang menghentikan dirinya sendiri pada sesuatu yang ditandai tak akan melontarkanya kembali yang berlangsung adalah proses pemaknaan yang tak kunjung usai, sebegitu rupa sehingga tak ada yang ditandai yang tetap. Yang berlangsung adalah penanda yang senantiasa saling mengacu…. Sebuah permainan yang mengalir tanpa kendati…. Permainan yang berlangsung di atas “ papan catur tanpa dasar.” Goenawan juga mengutip Roland Barthes yang menganalogkan teks dengan sebutir bawang dan bukan dengan buah aprikot. Dalam hal aprikot, dagingnya itulah bentuk, dan bijinya itulah isi. Teks tidak mirip dengan bawang: sebuah kontruksi yang terdiri dari lapis demi lapis, “sebuah tubuh yang tak punyak jantung, tak punyak biji tak punyak rahasia,” dan hanya punyak “keterbatasan sampul-sampulnya sendiri.” Sampul-sampul itu tak menutupi suatu apa pun kecuali lapis-lapisnya sendiri.
Jadi, segala bentuk apa pun atau segala persoalan tidak bisa diambil gampang dengan kembali pada soal selera. Pada titik inilah sebenarnya persoalan timbul atau bermula. Apa sebenarnya terjadi ketika strategi sastra dan budaya dijalankan? Dalam kasus filsafat yang memang ditopang dengan masalah kehadiran/keabsenan, konsep/metafor, filsafat/sastra yang logosentris kata Ahmad Sahal memang sangat penuh dramatik. Jadi filsafat hanya sejenis tulisan yang maknanya dibentuk dari efek permainan tulisan itu. Lebih jauh Valery bahkan melihat filsafat sebagai sejenis sastra, sejenis puisi, (kind of writing kind of poetry).
Sebagai sebuah matafor, sastra merupakan utama dalam segala aspek representasi realitas di luar sana. Sastra merupakan cernin alam (mirror of nature). Jadi, melihat filsafat sebagai sebuah sastra berarti klaim representasi filsafat terhadap realitas di luar sana merupakan sebuah budaya yang di bentuk oleh memaknaan yang seutuhnya. Realitas filsafat adalah realitas kontekstual dan tekstual. “tak ada sesuatu diluar teks” padahal Valery pernah mengingatkan kepada para filosof bahwa filsafat jangan sampai menjadi sebuah tulisan belaka.
Kalau memang dekontruksi mencoba menempatkan sastra dan budaya sebagai paradigma, kita hanya dituntut untuk mencari benang merah dan menarik garis derivasi untuk munculnya komitmen terhadap sastra dan budaya. Saya khawatir bila sebuah strategi sastra dan budaya hanya dibayang-bayangi kecemasan seperti kecemasan yang dialami oleh Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya di bawah ini:

AKU TIDAK BISA MENULIS PUISI LAGI

Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak nazi Jerman berjuta Yahudi
dilempar kekamar gas sehingga lemas mati
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Afrika selatan pejuang-pejuang
anti-apartheid disekap berpupuluh tahun
tanpa diadili
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Birma para pengunjuk rasa
berkelimpangan dibedili tentara secara keji
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel
mematahkan anak-anak Palestina
yang melawan dengan batu.
Keindahan punah dari bumi
ketika becak-becak dicemplungkan
ke laut karena bang becak melanggar
peraturan DKI
ketika rakyat berbondong-bondong
digusur dari kampung halamannya
yang akan dusulap jadi real estate
dan pusat rekreasi
ketika petani dipaksa tanam tebu
buat pabrik-pabrik, sedang hasil
padi dan keledai lebih mendatangkan
untung dan rugi
ketika teruk-teruk di jalan raya dicegat
penegak hukum yang langsung meminta pungli
ketika keluarga tetangga menangisi kematian
anaknya korban tabrak lari
Aku tidak bisa berpuisi lagi
sejak keindahan punah dari bumi

Dari ungkapan puisi Subagio di atas bahwa keprihatinannya dalam melihat terkoyaknya kehidupan budaya tidak dengan sendirinya mendorong mereka mengubah sastra dan budaya menjadi ideologi atau membiarkan sastra mengalah pada bahasa budaya publik. Misalnya membuat sastra yang semata-mata mementingkan isi pemihakan politik atau pro-perjuangan dan bangunan. Seakan-akan sastra hanya “alat”, sarana yang tidak penting pada dirinya sendiri kecuali kalau dimuati kepentingan publik.
Mereka sejalan dengan Asrul Sani yang mengatakan bahwa sastra adalah bentuk yang sedikit sekali mengandung ideologi, yang sedikit sekali mendasarkan dirinya pada masalah. Mereka tidak seperti Sutan Takdir dengan reconstructie arbeid-nya, Lekra dengan sastra rakyatnya, atau Rendra dengan puisinya pamfletnya yang yakin bahwa sastra mesti memiliki tugas untuk mencerahkan dan mengubah kehidupan budaya yang selama ini berjalan di atas koyakan cultural shok.
Hingga kini belum ada penelitian yang sifatnya merangkum terhadap situasi pengajaran sastra dan budaya, akan tetapi kita sudah banyak melihat tulisan para ahli (Ayip Rosidi yang menuliskan masalah pengajaran sastra sejak 50-an) dengan begitu dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa sastra dan budaya kita belum sampai pada tujuan yang diidealkan para sastrawan, budayawan dan penyair.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura