Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Satgas Bintang 9

  aku melangkah bersamamu memberikan cahaya pada kampung yang berbeda memuat suara-suara pernyataan pada ranting   membangunkan daun-daun mlandingan membuka cakrawala yang kusam akan kepanikan dan kehangatan   tim satgas bintang 9 bersuara mencari masjid dan mushallah tempat menemui Sang Maha   aku melangkah bersamamu tanpa tetes uang dari negara sebab aku ada karena gerak   aku melangkah bersamamu tanpa upah dan apa-apa sebab aku ada karena sedekah   aku melangkah bersamamu menyebarkan plastik dan amplop untuk tahu siap yang dapat dan tak dapat   aku melangkah bersamamu dari ranting untuk ranting dari akar untuk akar   aku tak berharap apa-apa selalu bersamamu menemani daun-daun menamani rumput menemani akar   itulah kami satgas bintang 9 MWC NU Gapura ada bersamamu   7 Mie 2020

Membuka Pintu Puisi Matroni

Gambar
  Sajak-sajak Matroni Muserang tampaknya ingin menekankan pentingnya literasi dari sudut pandang kesadaraan religius. Literasi merupakan sarana untuk menyelami keluasan dan kedalaman misteri kehidupan manusia. Ada empat citraan pokok yang membingkai keseluruhan puisi Matroni: huruf, perahu, samudra, dan pintu. Keempat citraan tersebut berpaut satu sama lain, menawarkan ambigiuitas yang menarik untuk dicermati. Dalam pemaknaan awal, huruf dapat diterjemahkan sebagai ayat atau kata-kata. Dalam pemaknaan lebih lanjut, huruf membawa kita pada aktivitas membaca dan menulis. Samudra melambangkan medan pergulatan hidup manusia yang penuh dengan ketidakpastian. Perahu dapat dimaknai sebagai iman atau daya spiritual yang menggerakkan dan mengarahkan perjuangan hidup manusia. Namun, perahu dapat pula dimaknai sebagai nasib atau pilihan hidup yang membimbing manusia menuju tujuan akhir pengembaraannya. Yang menarik adalah transformasi makna huruf. Huruf ibarat perahu yang diguna

Pancasila: Jawaban Problem Kebangsaaan

Oleh: Matroni Musèrang* Saya kecewa jika ada manusia Indonesia menganggap Pancasila itu kuno. Mengapa? Minimal ada dua alasan mengapa Pancasila di anggap Kuno oleh sebagain manusia Indonesia pertama karena kita tidak mau belajar atau mengupdate ilmu dan pengetahuan yang kita miliki selama ini, sehingga mengkontekstualisasikan nilai-nilai Pancasila tidak mampu. Kedua adanya pembiaran untuk tidak belajar, membaca dan memahami Pancasila, sehingga Pancasila dianggap tidak mampu menjawab problem bangsa.     Dua alasan inilah yang menjadi pemicu lahirnya radikalisme di Indonesia, meskipun saya sendiri tidak sepakat dengan istilah radikal, makna radikal adalah akar, berarti berpikir sampai ke akar-akarnya, berpikir mendalam. Andaikan pohon kita bukan hanya melihat buah, daun, ranting dan batangnya, akan tetapi kita juga harus berpikir mengapa daun, ranting dan buah bahkan pohon yang tinggi besar mampu menahan terpaan badai itu karena akar yang kokoh. Artinya istilah radikalisme aga

Ketika Allah Kalah oleh Mulut Politik

Oleh: Matroni Musèrang* demi meraup suara pemenangan pasangan pilres tahun ini banyak ustadz dan kata-kata membumi merayakan kalimat allah demi sesuap kursi merayakan kemenangan lima tahun sekali tak merasa kalau bersalah pada Allah dan Nabi bibir berkeliaran membeberkan kebenaran dengan dalih atas nama kemanusiaan politik demi satu pasangan dogmatik yang berkedib di kursi fanatik padahal tak tahu dimana ilmu mantiq hanya paslonku yang ahli agama hanya paslonku yang ahli islam hanya paslonku yang benar lalu, paslon yang lain ahli apa? Tahun politik sekarang ini benar-benar “keterlaluan”, adanya justifikasi pribadi tanpa mengikutsertakan ilmu dan pengetahuan dalam menyususn strategi politik, padahal bagi ilmu, politik adalah seni menciptakan strategi, namun strategi yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di Indonesia. Kita tahu Indonesia landasan moralnya adalah Pancasila sebagai asas tunggal. Maka secara otomatis gerakan politik dala

Dialog Perdamaian: Dari Sumenep Untuk Nusantara

Oleh: Matroni Musserang* Menjadi manusia yang merasa paling bodoh itu lebih mulia Daripada menjadi manusia yang merasa paling pintar Malam Jumat adalah malam yang berkah bagi manusia yang ingin mengaji dan belajar. Malam itu Ruang PC yang megah penuh orang-orang yang haus akan ilmu dan pengetahuan untuk mengaji tentang perdamaian dari Dr. Hadi Soyono dari Yogyakarta dosen UAD dan Kiai Halimi. Acara dibuka dengan dhamar ate dengan musik menyegar pikiran dan jiwa. Acara yang diselenggarakan Lesbumi Pengurus Cabang Nadhlatul Ulama Sumenep 18 Juli 2019 di Aula PC NU Sumenep menjadi penyegar bagi kita bahwa ternyata perdamaian sebenarnya memiliki potensi konflik yang luar biasa, jika kita tidak mampu mengolah. Cara untuk mengelolah kita dituntut untuk memiliki daya kritis terhadap fenomena sosial. Menurut Dr. Hadi Suyono, perdamaian yang demikian sangat mahal, sebab harus ada konflik terlebih dahulu. Mengapa tidak kita mengelolah sebelum konflik? Salah satu cara untuk mencip

Hilangnya Para Pendo’a

Oleh: Matroni Musèrang* Di tengah terpaan kritis kemanusiaan dan ketaladanan yang terus meroket yang ditandai dengan anak-anak remaja yang amoral, pembunuhan, seks bebas, minum-minuman keras, dan game online-ofline. Di tengah kesibukan itu, dibutuhkan keseriusan dalam mendidik dan mendoakan siswa dan santri (anak didik) agar mereka tidak menjadi penerus bangsa yang gagap tanpa ahlak, ilmu dan pengetahuan yang memadai. Untuk memperoleh ilmu tentu dibutuhkan kesungguhan yang disiplin dalam membaca dan belajar. Bagaimana mungkin anak didik akan serius ketika bangun tidur yang dibaca ada WA, Facebook, Instagram bahkan langsung main game. Ketika saya jalan-jalan ke Legung saya melihat anak kecil kelas 1 MI/SD yang sibuk main Game, belum di balai desa yang sudah disediakan wifi. Logika anak didik ketika memegang android adalah mainan, dalam hal ini game ofline dan online. Ketika android menyediakan berbagai game lantas kapan ada waktu untuk membaca dan belajar apalagi menulis. Bila