Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Cara Menulis Puisi Yang Buruk

Oleh: Matroni Musèrang* Pertama/             Tulislah puisi-puisi yang didalamnya mengandung fatwa-fatwa religius, sehingga anda dikatakan sebagai penyair yang mampu memberikan fatwa kepada manusia untuk menjadi pribadi yang benar menurut agama. Sebab fatwa merupakan sarana untuk mendoktrin manusia agar merasa dirinya paling agamis dalam kehidupan sehari-hari.             Oleh karena itu, puisi yang bagus menurutmu adalah puisi yang didalamnya ada istilah-istialah agama, biar dikatakan puisi religius. Benarkah puisi religius adalah puisi yang didalamnya tercamtum diksi-disksi agama? Jawabannya tentu berada iya, bagi penyair mengartikan bahwa puisi yang baik ketika didalamnya ada fatwa agama. Lalu apa bedanya penyair yang begitu dengan penceramah?             Padahal kita tahu bahwa penyair dan penceramah itu seperti langit dan tanah. Artinya bagi yang mengaku penyair berposisilah layaknya seorang penyair, yang dalam kehidupannya puitis. Puitis dalam artinya keseharianya

Puisi dan Doa

Oleh: Matroni Muserang* Puisi dan doa dua hal yang berbeda. Puisi merupakan sublimasi substansial kemanusiaan. Ketika puisi itu menjadi keseharian hidup kita menjadi puitis. Puitis artinya keseharian kita sudah selalu dilandasi moral, etika, dan akhlak. Atas dasar inilah tulisan ini akan berpijak, untuk memberikan refleksi atau belajar bersama di tengah tungganglanggangnya sosial politik kemasyarakatan. Puisi akan berbeda ketika ia menjadi doa, seperti yang dibacakan oleh Neno Warisman, kalau kita baca lengkap puisi Neno yang dijadikan doa itu sebenarnya isinya bagus, hanya ada satu bait yang yang kurang pas ketika kita menggunakan paradigma agama (baca Neno). Ketika ada bahasa “saya kwatir tidak ada lagi yang menyembahmu”, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah manusia Indonesia tidak memiliki Tuhan? Kalau kita mau menjawab pertanyaan ini tentu manusia Indonesia semua memiliki Tuhan, maka secara otomatis Tuhan pasti di sembah.   Lantas dalam konteks apa Neno mengataka

Pembusukan Bahasa Madura di Madura

Oleh: Matroni Musèrang* Tulisan ini berangkat dari kegelisahan saya ketika membaca tulisan Lugman Hakim AG pada tanggal 15 Februari 2019 di Jawa Pos Radar Madura. Bahan bacaan apa yang dikonsumsi guru bahasa Madura untuk menunjang tugasnya sebagai pendidik? Pertanyaan memukul telak bagi pendidik atau guru perlu dipertimbangkan, tapi guru yang memang sejak awal memang suka belajar dan membaca. Pertanyaan ontologis inilah meminta kita orang Madura, Guru Bahasa Madura untuk berpikir lebih cerdas lagi bahkan dinas pendidikan dan Depag di Madura pun tentu harus memiliki terobosan yang lebih menyegarkan tentang eksistensi bahasa Madura sebagai identitas peradaban. Bahasa adalah identitas budaya. Bahasa adalah identitas peradaban dan keadaban sebuah bangsa atau daerah. Termasuk bahasa Madura. Kalau boleh kita bertanya apakah di sekolah-sekolah atau kampus di Madura memang menyediakan prodi atau jurusan bahasa Madura atau bahasa dan sastra Madura? Mari kita refleksi dan jawab bersa

Ketika Allah Kalah oleh Mulut Politik

Oleh: Matroni Musèrang* demi meraup suara pemenangan pasangan pilres tahun ini banyak ustadz dan kata-kata membumi merayakan kalimat allah demi sesuap kursi merayakan kemenangan lima tahun sekali tak merasa kalau bersalah pada Allah dan Nabi bibir berkeliaran membeberkan kebenaran dengan dalih atas nama kemanusiaan politik demi satu pasangan dogmatik yang berkedib di kursi fanatik padahal tak tahu dimana ilmu mantiq hanya paslonku yang ahli agama hanya paslonku yang ahli islam hanya paslonku yang benar lalu, paslon yang lain ahli apa? Tahun politik sekarang ini benar-benar “keterlaluan”, adanya justifikasi pribadi tanpa mengikutsertakan ilmu dan pengetahuan dalam menyususn strategi politik, padahal bagi ilmu, politik adalah seni menciptakan strategi, namun strategi yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di Indonesia. Kita tahu Indonesia landasan moralnya adalah Pancasila sebagai asas tunggal. Maka secara otomatis gerakan politik dala