Memilih Pemimpin Bijak Dan Pro Rakyat

Oleh: Dwi Lestari ST n Matroni el-Moezany*

Pemilu (pilpres dan cawapres) 2009 yang akan datang harus benar-benar dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dari tujuan Indonesia merdeka dan mendirikan Negara Kesatuan Indonesia. Sangatlah jelas dalam pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea ke-4, bahwa tujuan dari kemerdekaan dan pembentukan Negara Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Siapakah kiranya orang yang menyadari tentang kewajibannya sebagai pemimpin dimana ia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ini. Kita harus memilih seorang pemimpin yang ideal seperti dalam konsep Hastabrata (ajaran kepemimpinan dalam dunia pewayangan), tetapi yang tidak kalah penting adalah pemimpin yang benar-benar cinta terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.
Konsep hastrabrata adalah konsep kepemimpinan yang merupakan wejangan Prabu Rama selaku titisan Dewa Wisnu kepada Wibisono saat dia dinobatkan sebagai raja Alengka. Seorang pemimpin harus mencerminkan 8 karakter seperti yang tertera dalam hastrabrata, yaitu surya, candra, kartika, bumi, agni, banyu, angina, dan angkoso. Seorang pemimpin dituntut bisa menghidupi (surya, cahaya). Pemimpin harus menjadi candra (bulan) sehingga bisa menjadi teladan dan memberikan keteladanan kepada bawahan serta rakyat yang dipimpinnya.
Selain itu, dalam diri pemimpin harus ada kartika (bintang) yang bermakna, figur pemimpin tidak boleh mencla-mencle, esok dele sore tempe, tidak menepati ucapan dan janji-janji, baik janji yang dikumandangkan saat kampanye maupun ketika memegang kekuasaan.
Berikutnya, pemimpin seyogianya meneladani bumi yang tidak diskriminasi terhadap semua benda yang menempel di tubuhnya. Demikian pula pemimpin, dia tidak boleh membeda-bedakan rakyat yang dipimpinnya. Pelayanan yang diberikan kepada rakyat, idealnya, sama dengan yang diberikan kepada keluarga atau pun kerabat, serta koleganya.
Kelima adalah agni. Di sini berarti dalam diri pemimpin hendaknya ada semangat seperti api yang selalu membara dalam memberantas kejahatan dalam segala bentuk. Kejahatan kriminal menyebabkan hidup rakyat tidak aman. Kenyamanan dan ketenangan sosial juga terganggu, korupsi bisa menyebabkan rakyat sengsara dan negara bangkrut, kejahatan keterkekangan dari bangsa lain menyebabkan Indonesia tidak merdeka seutuhnya.
Unsur-unsur yang lain adalah banyu (air). Seperti halnya air, seorang pemimpin harus mampu memberikan kesejukan suasana sehingga rakyat merasakan ketenangan dalam situasi dan kondisi apa pun. Selain itu, seorang pemimpin juga harus mampu seperti angin yang siap sedia menolong rakyat. Terutama rakyat kecil yang sedang hidup susah, bukan rakyat yang sudah makmur hidupnya seperti pengusaha.
Hakikat pemimpin adalah seperti pelayan buat rakyatnya. Pemimpin seharusnya merasa berbuat kezhaliman jika ada rakyatnya yang tidak merasa sejahtera atas kepemimpinannya, akan merasa bersalah dan berdosa jika ada rakyatnya yang menderita akan kebijakannya, serta akan menderita jika melihat rakyatnya menderita. Dia adalah pengayom dan penanggung jawab atas kondisi yang dialami rakyatnya. Inilah yang harus ada dalam diri pemimpin sebagaimaan dicontohkan oleh khalifah Sayyidina Umar. Di dalam dirinya terdapat unsur angkasa (langit) yang membimbingnya untuk senantiasa mengayomi semua yang hidup di bawahnya, bukan hanya pegawai pemerintahan, tapi juga kawula alit yang justru sangat membutuhkan perhatian dan bantuannya.
Di era globalisasi dan himpitan krisis multidimensi yang sangat global ini, rakyat harus bisa jeli memilih dan memilah siapa pemimpin yang bisa memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat. Pemimpin yang tidak lupa akan amanat dari tujuan kemerdekaan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonnesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemimpin yang sadar dengan adanya dalih-dalih yang katanya untuk menjaga ketertiban dunia dan memajukan kesejahteraan umum tetapi dia malah memlintir rakyatnya sendiri. Tugas seorang pemimpin adalah melindungi rakyatnya.
Salah satu contoh tindakan konkrit yang bisa dijadikan contoh yang mencerminkan cinta dan mengepentingkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat adalah seperti yang dilakukan oleh Bupati Bantul (Idam Samawi). Bupati Bantul membuat sebuah kebijakan bahwa tidak dibolehkannya ada mol di daerah kekuasan Batul dan juga pemerintah berani membeli harga gabah sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dengan dilarangnya pendirian mol, berarti arus terhadap globlalisasi yang secara tidak langsung bisa mengancam ekonomi kerakyatan dan pasar tradisional yang katanya berkedok untuk melangkah ke tahap lebih dan modern benar-benar ditolak. Sikap seperti ini adalah salah satu sikap yang bisa dikatakan membela dan melindungi rakyat. Beliau bisa melihat, bahwa Indonesia belum bisa bersaing dengan pasar modern, tetapi meskipun setapak kelihatannya melangkah mundur, beliau sangatlah bijak membangun fondasi kuat dalam menuju globalisasi itu.
Secara teorotik, globalisasi dapat membawa perekonomian pada suatu titik efisiensi tertinggi. Namun, bagi negara yang lemah dan kurang kompetitif dapat menjadi suatu malapetaka. Globalisasi ekonomi layak didukung manakala kekuatan ekonomi negara-negara dunia sudah agak setara. Tetapi pada saat ini, di mana sebagian besar negara dunia adalah miskin yang belum terbiasa dengan budaya persaingan bebas, maka globalisasi ekonomi bisa melahirkan ketidakadilan. Negara miskin akan semakin tertindas dan hanya dijadikan komoditi.
Kasus globalisasi memang merupakan kasus lama. Tetapi hal ini perlu mendapatkan tanggapan yang serius, apalagi ditambah dengan adanya krisis dunia. Memang benar, yang mengalami krisis pada dasarnya adalah Amerika, tetapi aneh dan celakanya yang kena imbas paling parah keterpurukannya adalah Negara berkembang (Indonesia). Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana seharusnya intrik-intrik yang kita lakukan untuk bisa mengubah (setidaknya memaksimakan) ketergantungan, keterpengaruhan (pada suatu saat juga mengekang) bangsa ini?
Pada saat ini, ketika Indonesia mulai merangkak banyak sekali tekanan dan hambatan dari Negara yang secara tidak lansung menguasai negara kita. Para pemimpin harus jeli tentang hal itu. Banyak sekali ketimpangan dan kebijakan yang dilakukan pemerintah yang sangat merugikan rakyat. Pada pemilu saat inilah kita selain memilih pemimpin yang bersifat seperti konsep Hastabrata, yang juga penting adalah pemimpin yang berkarakter cinta terhadap Indonesia, yang tidak akan menggadaikan bangsanya sendiri demi mewujudkan idealisme Dunia, idelaisme Dunia yang membuat eksistensi bangsa kabur dan akhirnya bisa hilang.

*Penulis adalah peneliti pada Institute for Social Empowerment Yogyakarta, aktif sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura