Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2015

Materialitas

Pagi berikutnya Niji tepat registrasi perkuliahan karena sebelumnya sudah menyesaikan Ujian Akhir Semester. Pada saat itu Niji belum punya uang untuk bayar perkuliahan, tapi Niji tetap yakin kalau nanti pasti dapat uang, entah dari mana Niji mendapatkan yang penting Niji yakin itu pasti ada.   Niji berjalan dari sebelah barat fakultas Adab kebetulan tempat membayaran di sebelah selatannya. Niji berjalan pelan sambil memikirkan dari mana aku mendapatkan uang untuk bayar SPP. Tiba-tiba Liha memanggilku sambil lari mendekatiku. Aku tunggu sampai dia mendekat. “Kamu mau kemana?” Tanya Liha “Kamu sudah bayar SPP belum” “Belum” “Terus, sekarang mau kemana” tanya lagi “Aku sekarang bingung,” “Bingung kenapa” “Enggak ada, Cuma bingung aja” “Emang kamu belum di kirim sama orang tuamu” “Dia tidak tahu kalau Niji di sini mandiri dan mencari uang sendiri, mencari uang untuk makan, uang untuk membayar uang SPP” sejenak perasaanku berkata. “Kalau boleh jujur aku bingung

Mempertanyakan Progresivitas Sastra Sumenep

Oleh: Matroni Muserang* Banyak penulis dan komunitas sastra yang ada di Sumenep, namun aktivitas kesusastraan hanya berjalan di tempat atau berjalan di dalam komunitas itu sendiri, tanpa ada dampak terhadap perkembangan mentalitas diri, maupun terhadap kebudayaan yang ada di Sumenep. Yang dimaksud dengan mentalitas diri dalam sastra adalah tiadanya progresivitas dalam diri “sastrawan” untuk mengembangkan ide-ide segar tentang kebudayaan Sumenep itu sendiri, namun para komunitas sastra justeru saling ingin di atas, yang satu komunitas tidak mengakui komunitas yang lain, akhirnya berjalan sendiri-sendiri. Seharusnya sesama komunitas budaya dan sastra, tidak ada komunitas yang lebih wah , akan tetapi semuanya sama, yaitu sama-sama komunitas yang didalamnya belajar tentang sastra dan budaya. Mengasah pikiran dan jiwa untuk menemukan ide-ide segar dalam mempertahankan eksistensi kesusastraan dan kebudayaan di Sumenep. Sebab tanpa ada upaya dari teman-teman sastra dan budaya untuk

Sekar Alit: dari Lokal menuju Kosmopolitan

  Judul Buku       : Sekar Alit: Kumpulan Syair Mocopat Penulis             : Abah Yoyok Penerbit            : Q Publisher, Depok Cetakan            : Mei 2014 ISBN               : 978-602-1177-02-0 Peresensi          : Matroni Muserang* Oleh: Matroni Muserang* Sudah sejak lama suara dan wujud kearifan lokal terlihat sayup. Padahal kearifan lokal menjadi salah satu sumber pengetahuan. Lalu, upaya apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya ( K ompas/29 Juni 2014 ). Sastra tradisi, sastra local, sastra etnik, sastra pedalaman dan semacamnya yang “menyegarkan kembali bahasa ibu” ada di seluruh Nusantara, memang harus terus digali dan diaktualisasikan, biarpun hanya dilakukan dan diminati sedikit pihak, lanjut, kata Abah Yoyok. Spirit ini memang penting untuk kita dukung bersama mengingat keringnya sejarah bangsa dan miskinnya referensi, banyak penyair yang memiliki spirit lokal dan pengetahuannya mengglobal misalnya Hamka, Rendra, Chairil Anwar, Jamal D Rah

Terima Kasih Para Penulis Pengantin Ulifa Dan Matroni

Oleh: Matroni Muserang* Kepada para penulis “ Pengantin: Senarai Kisah Cinta Matroni & Ulifa” yang “diuntukkan” bagi saya dan isteri saya (Ulifa). Kata terima kasih sebuah kata sederhana dan kadang tidak cukup untuk dijadikan bahasa yang pas sebagai ucapan bagi seorang yang memberikan “sesuatu” terhadap saya dan isteri saya. Namun, kata terima kasih tetap saya dan isteri sampaikan kepada beliau-beliau yang sudi dan rela menuliskan hal yang bernilai dan substansial bagi saya dan isteri saya, walaupun ada sedikit kritikan dan masukan yang cukup kontruktif bagi keberlanjutan hidup kami. Terima kasih yang tak terbatas bagi beliau para penulis, penyair, cerpenis, esais, dan sastrawan yang sudi dan lega dalam memberikan sebongkah tulisan, bagi kami tulisan jenengan-jenengan merupakan silaturrahmi ilmiah atau silaturrahmi kata yang cukup bernilai bagi kami, terima kasih, semoga berkah, dhahiran wabathinan. Amin.   Mahwi Air Tawar penulis asal Legung, Sumenep, sebagai guru sekali

Madura: Sebuah Kearifan yang Maha

Oleh: Matroni Muserang* Ketika saya membaca antologi puisi penyair perempuan Sumenep, Benazir Nafilah “ Madura: Aku dan Rindu ” 2015 ingin saya tegaskan bahwa Sumenep bukan hanya sebuah nama Kabupaten an sich , namun Sumenep adalah rahim yang mengandung kearifan lokal budaya yang harus dibaca eksistensinya dengan perangkat metodologi yang tidak hanya satu, namun beragam. Antologi puisi Benazir mencoba menguak dan membaca kearifan itu lewat puisi. Namun puisi tidak bisa menjadi pengetahuan publik jika puisi hanya untuk puisi. Maka dalam esai sederhana ini saya ingin mencoba menguak sesuatu di balik fisik puisi atau sesuatu yang dibalik bahasa puisi, inilah penting hermeneutik dalam membaca teks-teks dan simbol yang dibuat oleh kreator. Puisi bukanlah teks mati, namun puisi merupakan makhluk hidup yang bisa berdialektika dengan makhluk lain, namun untuk berkomunikasi dengan puisi kita membutuhkan perangat metodologi sebagai instrument untuk mengetahui maksud dari teks puisi

Migrasi Hujan di Tubuh Puisi

Oleh: Matroni Muserang* Puisi dan pencipta puisi selalu berdampingan berjalan bermesraan. Puisi juga makhluk yang diciptakan oleh pencipta. Begitulah penjelasan judul di atas yang saya ambil dari antologi puisi M.Fauzi yang berjudul migrasi hujan. Saya ingin melihat antologi puisi ini dari sisi filosofis. Apa migrasi dan apa hujan dalam puisi Fauzi. Dengan mencari makna migrasi dan hujan, maka puisi tidak untuk puisi, akan tetapi puisi juga untuk publik yang bisa dipahami dan dinikmati, sehingga para pencari keilmuan akan menemukan sumbangsih keilmuan terhadap perkembangan pengetahuan ke depan. Migrasi dalam kamus bahasa indonesia perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain untuk menetap di negara itu. Jadi perpindahan sama artinya dengan mi’raj yang bermakna perjalanan. Pindah pasti berasal dari tempat satu menuju tempat lain. Ini sama halnya dengan berjalan atau pindah. Namun pindah dalam hal ini adalah pindah ke atas dalam arti naik. Migrasi saya maknai mi’raj y

Pagar Kenabian: Sebuah Universalitas Agama dan Filsafat

Oleh: Matroni Muserang* Sebelum terbit puisi ini sempat menjadi “perdebatan” tahun 2015 di Koran Republika yang ditulis oleh Raedu Basha, Dimas Indiyana Senja dan Khairul Umam, mereka bertiga saling beradu paradigma dalam membahas puisi Nadham yang ditulis oleh Sofyan RH Zaid, dan kini puisi itu sudah diantologikan dengan judul “ Pagar Kenabian ”. Dari arah yang berbeda # kita jumpa di taman kota Aku dari kampung filsafat # kau dari pedalaman tarekat Puisi di atas saya petik sebagai pintu gerbang untuk menuju gerbang-gerbang berikutnya. Walaupun kita berbeda agama, budaya, pengetahuan, aliran, dan ras, namun tujuan kita satu yaitu kota. Walaupun kita berbeda pintu, namun tujuannya satu yaitu kota. Kota di sini saya maknai sebuah perkampungan, tempat dimana segalanya bermuara, yaitu filsafat dan tarekat. Kota sebuah jantung perkampungan Tuhan, sebab filsafat dan tarekat sebuah jalan atau perantara manusia agar cepat sampai di perkampungan Tuhan.   Pada dasarnya puisi