Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2008

Sapi Madura sebagai Wujud Kesalehan Sosial

Oleh: Atroni* Makna sapi bagi masyarakat Madura sangat tinggi dalam menentukan kesalehan sosial. Konon sapi asli Madura berasal dari pulau sepudi. Pada mulanya kehidupan ekonomi, para petani memelihara sapi berarti tabungan yang sewaktu-waktu bisa digunakan. Misalanya kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak, membangun dan memperbaiki rumah. Itulah sebabnya setiap saat dapat menghasilkan keturunan. Sebagai modal utama bertani, setiap 3-4 bulan, para petani melaksanakan “Delmos” yaitu pindah kandang sapi dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk sawah. Bagi kalangan orang yang tidak mampu biasa dengan jalan “Ngowan” yaitu memelihara sapi milik orang lain dengan sistem bagi hasil apabila sudah berkembang biak. Ini merupakan salah satu wujud kegotong-royongan yang masih melekat pada masyarakat Madura sampai sekarang. Pasar sapi di Madura pun tidak pernah sepi. Sapi yang diperjual-belikan umumnya untuk kepentingan pertanian. Untuk kepentingan sapi potong tidak begitu banyak. Biasanya jen

Tentang Perempuan Bermata Sayu yang Ingin Menikah

Oleh: Matroni A el-Moezany* Baiklah. Aku akan menikahimu. Meski alasan yang kita dapatkan hanya makin membikin engkau ragu. Dalam rumah yang sangat sederhana, kita segera mengambil keputusan dalam janji menikahimu. Berkata bersama yang selayaknya dibicarakan dalam perayaan. Di tengah-tengah pembicaraan, perempuan berbahagia. Ia memandang laki-laki itu dan berkata pada dirinya sendiri: itulah yang kauinginkan. Laki-laki itu berkata tegas tanpa kehilangan sedikit pun garis puas di wajahnya. Perempuan itu merasakan bahagia yang berlebihan meski tahu dirinya itu saedang-sedang saja. Itulah yang kauinginkan. Mengapa rasa takut itu jadi milikmu sekarang? Berhari-hari sebelum hari kemarin engkau masih bisa berkata tidak pada siapa pun. Engkau menulis apa pun yang kauinginkan. Semua yang kauanggap benar adalah sungguh benar. Orang-orang memanjakanmu dengan larangannya dan engkau senang. Engkau bantah semua perkataan yang tak baik bagi kegelisahanmu. Engkau pun sendiri. Tinggal di sebuah kamar

Budaya, Bencana, dan Kita

Oleh: Matroni A el-Moezany* Budaya modern masa kini kita membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah "peta" paling tidak "tipe ideal" dalam istilah Max Weber, peta yang kita butuhkan adalah peta yang menggambarkan mengenai kebudayaan kita sendiri yang lokal, dihadapan kebudayaan manusia secara holistik-uneversal. Dimana budaya hadir dengan wajah yang muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa tercinta ini. Lantas bagaimana agar budaya kita tidak lagi sakit "cultural shock". Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab nilai-nilai tradisi itu di pandang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Demikian pula dengan hujatan yang lahir dari kebudayaan Barat. Banyak filsuf atau sosiolog yang telah mencoba menggambarkan "peta" tersebut, misalnya filsuf posit

Susahku Pernah

Sajak-Sajak: Matroni A el-Moezany* Susahku Pernah lebih sakit daripada satu kali pada sampah dan teriakan dalam botol hatimu yang pecah kini air dan lahar tumpah mengenangi semesta hingga kota tak bersawah cinta tiada rindu dan kini suram beradu mata lalu riak tak lagi ada tapi wajahku darah saat dagu bibirmu menengada mulutmu uang, racun ditelan membanjiri semesta konon kota salebritis Di sini, kota, sekali terlontar segala sampah tak jadi apa terjadi sumpah terjadi sarang Lalu sekejap, terdiam saat menyusun waktu tanpa akal, kau pergi, pada hati purna tanpa kata, tanpa jejak, tak kuasa tertinggal aku tersisa satu Kosong. Paris, Desember duasembilan 2007 Semesta Satu, Menangis Satu, Menjadi Aku Ketika aku menuju bulan pertama langit menjerit dan muntah hitam dan kau menjanjikan untuk singgah Bis datang terisi beribu dendam pada bangsa yang diam langit suram, tiada lagi gadis merayu kudengarkan satu puisi, untukmu untuk seluruh hidupmu ada air mengalir, darah yang anyir akhirnya air…ai

Ketika Bencana Menjadi Budaya

Oleh: Matroni A el-Moezany* Bencana, sebuah kata yang menakutkan di dunia. Dan negara manapun Amerika, Eropa, Jepang, dan negara lain yang merasa bisa sok tidak ada apa-apa dengan datangnya bencana (tidak menakutkan). Sekarang kita sudah merasakan apa itu bencana baik itu berupa banjir, lonsor, gempa, kegersangan jiwa dan spiritual, itu karena budaya positivistik yang sudah menjadi makanan setiap hari atau dengan kata lain sudah membumi di ranah kebudayaan kita, yang antimetafisik bahkan dunia metafisik itu tidak ada. Lalu bagaimana sikap kita ketika bencana membudaya?. Apakah kita tetap diam dan tidur dalam mimpi-mimpi kosong? Alan Watts pernah mengatakan bahwa berapa banyak orang menyadari bahwa langit adalah suatu yang sama dengan pikiran dan kesadaran bahwa kalau engkau melihat dirimu sendiri bahwa batinmu ada bersama seluruh jasmanimu seperti halnya mukamu ada dibelakangmu bahwa galaksi ini dan juga galaksi lain sama jauhnya seperti engkau dan hatimu atau pikiranmu bahwa datangmu

Suruhlah, Kebenaran menjadi Relatif?

Oleh: Matroni A el-Moezany* Bahkan samudera darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran (Maxim Gorky, Sastrawan Rusia). Kita tahu bahwa kebenaran itu sifatnya relatif? Bermula dari pengalaman yang pernah kulakukan saat memasuki rumah filsafat dan perjalanannya. Pada saat itu kujumpai kesulitan pada saat menyelami samudera kefilsafatan tersebut, membangun keteguhan jiwa, bahkan untuk melakukan aksi demonstrasi. Di antara mahasiswa yang kebanyakan pernyataan yang saya lihat pada saat terjun"Kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang", begitu kata seorang kawanku. Aku tak habis pikir, bagaimana pada saat aku masih percaya pada prinsip hidup yang kuanggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang yang percaya bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah bahwa kebenaran itu relatif. Aku tidak tahu dari mana ia menghubungkan antara suatu hal dengan hal lainnya. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui

Budaya, Bencana, dan Kita

Oleh: Matroni A el-Moezany* Budaya modern masa kini kita membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah "peta" paling tidak "tipe ideal" dalam istilah Max Weber, peta yang kita butuhkan adalah peta yang menggambarkan mengenai kebudayaan kita sendiri yang lokal, dihadapan kebudayaan manusia secara holistik-uneversal. Dimana budaya hadir dengan wajah yang muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa tercinta ini. Lantas bagaimana agar budaya kita tidak lagi sakit "cultural shock". Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab nilai-nilai tradisi itu di pandang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Demikian pula dengan hujatan yang lahir dari kebudayaan Barat. Banyak filsuf atau sosiolog yang telah mencoba menggambarkan "peta" tersebut, misalnya filsuf posit

rangkaian makna, termakna

Sajak-sajak: Matrony el-Moezany* rangkaian makna, termakna adaku melengkung pada tiap bunga yang meratap di rangkai pagi, bermakna Sejauh cucur mengalir bagai embun di gilir bagai rahmat di jiwa dengan santun kicau di dahan serumpun temaran matahari kau semai desir, buat asik angin agar kais kau selesaikan Terik siang peluh terukir kaki berdebu pada kian batas waktu lalu yogyakarta, 07 mahkota, tertinggal rambut alam di tanah tegal tertumpah ruah membasahi mahkota yang tertinggal Kusapu sampah bayu pada masa kelabu pada angan-angan layu agar terjemput pelangi bisu Rangkaian hidup pada pahit pada tangan-tangan surya tersemai pelu para bara Ladang yang aku tempati yang aku maknai yang aku sirami yang aku bungkusi terimah kasih pada tuhan dalam nuansa kebisingan yogyakarta, 2007 terbakar malam terlantunkan semerbak kesejukan untuk melayari kapal-kapal di sana, yang kecil-kecil yogyakarta, 2007 kutungu suaramu, malam kutuhitung sehelai tangis di mawar terbajui iris dari kupu-kupu berkepak

Seni dan Politik Selebritis

Seni dan Politik Selebritis Oleh: Matroni el-Moezany* Memasuki era globalisasi atau era reformasi, semakin banyak masyarakat yang ikut terjun lansung dalam dunia politik. Makin pula banyak saja artis yang menduduki gedung bundar Senayan. Misalnya artis kita H. Qamar, Sophan Sophiaan, Adjie Massaid, Nurul Arifin, Marissa Haque, dan Anggelina Sondakh. Ada nama lain yang juga ikut bermaian meramaikan jagad politik Tanah Air adalah Rieke Dyah Pitaloka, Anwar Fuady, Ruhut Sitompul, yang juga pengacara, dan Lenny Marlina. Mereka tidak puas dengan menjadi wakil rakyat, tapi beberapa diantara mereka mencoba untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik di tingkat II (kabupaten dan kota) maupun provinsi. Penyanyi yang pernah dijuluki sebagai Singa Panggung Asia versi majalah Asia Week (edisi tahun 1975) ini menambahkan, keberadaan artis tidak sebatas vote getter (pengumpul suara) bagi kepala daerah. Dengan sistem pilihan langsung, Emilia Contessa yakin dimasa mendatang akan makin banyak to

Kata-Kata dan Nilai Rasa

Kata-Kata dan Nilai Rasa Oleh: Matroni el-Moezany* Kita tahu bahasa atau kata-kata yang kita pakai atau kita lantunkan bukanlah hal yang mati, tapi suatu yang bernyawa (hidup), suatu ekpresi dari kita (manusia) yang hidup, yang terentak juga sebagai alat interkomunikasi antarmanusia yang hidup bersama dalam masyarakat. Kata-kata yang kita pakai itu tidak hanya menunjukkan realitas barang-barang yang obyektif saja, tetapi juga menyatakan sikap dan perasaan terhadap realitas obyektif. Kata mempunyai nilai rasa tertentu dalam setiap kata-kata. Sebab nilai rasa ini merupakan arti kata dan berada dalam kata itu sendiri. Dalam hal ini perlu kita lihat agar lontaran atau lompatan kata-kata itu tepat sasaran. Untuk setiap situasi kita harus pandai memilih istilah yang cocok, sesuai, serasi dengan nilai rasa yang hendak kita lontarkan (terkatakan). Kata-kata dengan nilai rasa tertentu itu tidak hanya dipakai untuk melahirkan perasaan atau penilaian kita sendiri, tapi dapat menimbulkan perasaan

Musim Panas di Akhir Oktober

Musim Panas di Akhir Oktober Oleh: Matroni el-Moezany Musim yang panas. Langit jernih dan matahari tersenyum bersinar dengan cerah. Musim panas yang sempurna. Dan panas sekali. Menjanjikan segala sesuatu yang sensual. Tidak seperti pohon rindang. Dan itulah begian yang terbaik. Rizal duduk di terik matahari, di bawah pohon jambu. Yang beraroma lembut, tempat yang terasa asing. Karena pertama kali mengunjungi tempat itu. Talun Rejoso di Nganjuk. Lalu lintas di ramaikan oleh pasangan-pasangan pejalan kaki pada jam dua belas siang. Rasa panasnya terasa nyaman. Tahukah kau, Syifa suatu hari kelak kau akan bosan memilih kekasih seorang penulis kelaparan. "waktu di pandanginya wajah kekasihannya yang menggeleng dan tersenyum di bawah sinar matahari. Pada suatu hari di musim panas. Sebulan yang lalu. Kau tak kelihatan, Syifa menepuk perut Rizal, lalu mencium bibirnya dengan lembut "aku cinta padamu Zal". Kau pasti gila. Namun aku juga cinta padamu, saat itu adalah musim panas y

Seni Medan Pertarungan Sejarah

Seni Medan Pertarungan Sejarah Oleh: Matroni el-Moezany* Orang yang tidak mampu menikmati merdunya suara dan indahnya notasi musik, maka adanya sama dengan tidak ada, sekali pun hidup, ia mati adanya. Itulah rangkaian kata yang di lantunkan oleh Syakh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Hikmah fi Makhuqatillah. Walau pun pada masanya banyak ulama yang tidak setuju, namun Ghazali tetap berlayar melaju dengan pendapatnya, bahwa nyanyian atau seni, puisi, musik, bukan saja boleh, akan tetapi sangat penting bagi pertumbuhan jiwa dan spiritualitas seseorang. Hal ini bisa renungkan dalam kata-kata di atas. Dalam seni tentunya kita dapat mengetahui seni-seni yang bersifat populer maupun kontemporer. Seni sastra, seni musik, seni tari dan peran, seni rupa dan seni arsitektur. Dalam seni tersebut (seni sastra, seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni arsitektur) misalnya, sebenarnya cabang seni yang memang memiliki sejarah panjang dalam khazanah peradaban dan kebudayaan Islam. Namun di negara k

Benarkah Sastra Islam Ada?

Benarkah Sastra Islam Ada? Oleh: Matroni el-Moezany* Selama ini sastra hanya berkutat pada ranah yang bernuansakan sastra pemberontakan, sastra romantis, seperti setiap minggu di Koran Sindo, setelah saya amati setiap hari Minggu Koran Sindo Pasti edisi sastra khsusnya puisi. Pasti puisi-puisinya romantis yang dimuat. Bahkan puisi romantis tidak ber-roh. Bukannya penulis tidak sejutu dengan puisi semacam itu, tapi bagaimana kita menjaga eksistensi perkembangan sastra yang lebih serius lagi. Berbicara mengenai sastra Islam di Indonesia, hampir selalu mengundang polemik. Polemik tersebut bahkan tak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan kontra mengenai apa yang disebut sebagai “pengkotak-kotakan sastra”, serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam. Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep “sastra Islam” justru didominasi oleh kalangan muslim sendiri. Begitu pula dengan A. Hasjmy yang memiliki perhatian yang besar terhadap kesu

Wasiat Sang Guru

Wasiat Sang Guru Oleh: Matroni el-Moezany* Aku mencari matahari? Kata sang guru padaku, aku akan menemukannya di tempat-tempat yang kumuh, di atas para pengemis yang menengadah, di dalam malam yang berirama dan alunan gitar para pengamen yang meminta-minta, atau di atas pijakan tongkat tunanetra, lalu apakah sumber-sumber pengetahuan untuk tahu matahari itu? kau akan menemukannya dalam perut malam yang meneriakkan kelaparan dalam perkumpulan orang-orang yang hidup dalam kesusahan, dan dalam pelacuran para elitis, dalam pertengkaran para perebut kursi kekuasaan, dalam hotel-hotel, atau di rumah-rumah, juga terpetak-petak dan kemiskinan itu. Aku mencari semua itu, Siapa yang menulis semua kata-kata dan kalimat-kalimat itu? Aku menemukan begitu saja dalam arungan perkelanaan ini, ketika aku menuju jalan kembali, rumah atau apa saja atau yang lain, pena yang menuliskan itu tampaknya masih basah, lembab, sejuk dan baru, belum tersentuh oleh debu-debu yang melintang di angkasa, sepasang kak