Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2016

Merdeka

aku mencari direrimbun kemerdekaan di keramaian suara-suara merdeka, merdeka, merdeka suaranya bergemuruh kaca-kaca bergetar angin kencang merobohkan gedung-gedung kehormatan dimanakah merdeka bila narkoba menjadi seni kehidupan bila kekerasan pelajar menjadi kebangsaan merdeka, merdeka, merdeka namamu masih kukenal di tengah perjalanan pulang ke kampung kemerdekaan Madura, 11 Agustus 2016

Mencari “Merdeka” di Tengah Kemerdekaan

Oleh: Matroni Mus è rang* Satu bulan sebelum bulan kemerdekaan (agustus) saya dan teman-teman desa rapat untuk mengadakan kegiatan rotin yang diadakan setiap tahun sekali, yaitu kegiatan lomba desa dalam rangkan hari kemerdekaan yang ke-71. Tentu dalam kegiatan itu ada yang setuju juga ada yang tidak, bahkan panitia mengundang semua apara desa yang hadir hanya dua orang, entah alasan apa mereka tidak hadir. Akhirnya kita sepakat untuk mengadakan lomba baca kitab, cipta dan baca puisi, tarik tambang, estafet, hijab tanpa cermin, tembak bola berhadia, esai, catur, dengan tema “kembali ke desa”. Teman ini menarik untuk kita refleksikan bersama mengingat suburnya urbanisasi yang kini menghias wajar kampung kita. Salah satu penyebabnya adanya arus globalisasi materialisme dan budaya capital sudah menjadi lemak di tubuh masyarakat. Lemak itu terus subur sehingga mereka gemuk. Namun gemuknya mereka tidak sehat, mengandung penyakit. Penyakit untuk mendapatkan kekayaan materi, sehingga

Memudarnya Sastrawan Publik

Oleh: Matroni Muserang          ______________________               Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta khususnya, akhir-akhir ini, bukanlah tempat yang adem, nyaman untuk membaca WS. Rendra, Pramodya Ananta Toer, Chairil Anwar, Wiji Tukul, Sitor Situmorang, Umbu Landu Paranggi, Umar Kayam, Romo Mangun dan Kuntowojoyo. Meskipun kepenyairannya cukup dikenal dan beberapa sajaknya menjadi wacana dan didiskusikan di kampus-kampus dan komunitas-komunitas, namun terasa jauh jarak antara diskusi dan aksi, keterkenalan mereka dalam berproses, menciptakan sejarah sastra Indonesia dan apa yang sudah dan mungkin bisa kita kembangkan darinya Yogyakarta secara khusus dan Indonesia secara umum. Kita boleh mencela, mengkritik, bahkan membenci sajak-sajak mereka (WS. Rendra, Pramodya Ananta Toer, Chairil Anwar, Wiji Tukul, Umbu Landu Paranggi, Umar Kayam, Romo Mangun dan Kuntowojoyo). Tapi rasanya banyak orang suka dengan berbagai acara sastra, diskusi sastra, seminar sas

Islam Nusantara: Investasi Islam Kedamaian

Gambar
Islam dan perdamaian selalu menjadi momok yang menggerakan pemikir dan tokoh Indonesia maupun dunia. Maka dalam esai ini saya ingin mencoba memaparkan Islam Nusantara ketika harus mendidirikan pesantren-pesantren di Nusantara, sebab bagaimana pun para penyebar agama Islam khususnya di Nusantara berasal dari para ulama dan kerajaan Islam Nusantara. Di sini penting kemudian kita mencoba membaca teks-teks asli bahasa Jawa yang di tulis oleh orang-orang kerajaan dalam menyebarkan ajarannya ke masyarakat.   Kedua saya ingin mencoba ingin membedakan Islam sebagai agama dan Islam sebagai Ilmu yang dalam hal ini pernah dilepaskan oleh Kuntowijoyo, namun saya penting untuk me-refresh kembali untuk merangsang pikiran kita bahwa kita bukan lagi para konsumsi produk pengetahuan, akan tetapi memproduksi pengetahuan melalui refleksi-refleksi filosofis. Tentu kita harus paham apa Islam Nusantara, mengapa harus Islam Nusantara? Saya ingin mencoba menggambarkan sedikit batas wilayah Nusantara

Tanya

Tanya adalah awal menemukan kata Menemukan banyak cinta Dan luka yang menjerit tanpa obat rasa Dimanakah sebenarnya kita harus bertanya Tentang sederet waktu yang terus menepis jejak pujangga Perpusda, 2016

17 Agustus

Oleh: Matroni Musèrang* 17 Agustus dicatat sebagai hari raya kemerdekaan Indonesia, terlepas dari perdebatan tanggal dan bulan kemerdekaan. 17 Agustus seringkali identik dengan berdenyutnya umbul-umbul bendera merah putih yang diikuti bendera instansi lain di sampingnya, libur nasional (sekolah libur, instansi libur, dan sebagainya), upacara, setalah itu selesai perayaan kemerdekaan. Karena di tandai dengan libur nasional agar kita total merayakan kemerdekaan, namun nyatanya hari libur 17 Agustus justeru diisi oleh siswa/i dengan main, mancing, dan lainnya, mereka anak-anak muda tidak mengerti bahwa 17 Agustus merupakan hari yang bersejarah, penuh makna filosofis, dan pejuang-pejuangnya pun sangat gagah, namun siswa/i tidak mengerti hal itu, maka seharusnya 17 Agustus di isi dengan refleksi para pahlawan bangsa. Dengan refleksi pahlawan bangsa anak-anak muda akan mengambil spirit untuk memperjuangkan negara ini sebagai negara yang dibangun di atas ijtihat kemanusiaan, negara