Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Proses Kreatif dan Gerakan Sastra Kampung

Oleh: Matroni Musèrang* Bagi saya sastra, khususnya puisi sebuah perjalanan mistik. Mistik di sini harus dimaknai secara luas yaitu mistik yang membuka diri (inklusivitas) terhadap penyingkapan dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Artinya sastra mistik di sini bukan sastrawan yang harus menyendiri, tertutup diri (ekslusif), akan tetapi membuka diri terhadap berbagai fenomena kehidupan (kemanusiaan), dan keilmuan filsafat, budaya, seni, politik, dan agama, lebih-lebih sastra agar kita tidak “iri” terhadap seseorang dan institusi apa pun.  Belajar sastra juga belajar isi semesta. Sejak tahun 2004 saya belajar sastra di Madrasah Aliyah, masa dimana saya tidak tahu bahwa sastra selalu berkaitan dengan keseharian semesta. Kesadaran bahwa sastra berbanding lurus dengan keseharian semesta, pada tahun 2005 saya masuk pondok pesantren Hasyim Asy’arie, jalan Minggiran MJ II, Krapyak, Yogyakarta. Di sana saya diajari membaca diri, membaca realitas. Diajari cara mandiri, dij

Cara Membangun Kebahagiaan

Oleh: Matroni Musèrang* Setelah saya membaca antologi puisi “ Pengantar Kebahagiaan” Faidi Rizal Alief ini, ada gaya baru dalam menulis, dari pertama saya kenal dan berkencan dengan Faidi di Yogyakarta tahun 2006 tidak seperti ini puisinya. Dalam catatan ini saya akan fokus pada latar belakang judul ini muncul dan bagaimana relasi makna antara judul dengan sub judul puisi. Sebab tulisan hanya sebagai pintu awal untuk kita diskusi. Sebab memahami adalah proses menangkap maksud atau makna dari puisi-puisi yang diucapkan atau dituliskan.   Saya membaca antologi puisi yang berisi 45 lima judul puisi dalam perspektif filosofis secara garis besar ada dua gerbong pertama dalam antologi puisi ini menawarkan “kesejukan, kedamaian keindahan, kasih sayang atau kegembiraan”, kedua menawarkan cara bagaimana kesejukan, kedamaian, keindahan, kasih sayang dan kegembiraan itu dibangun.   Perspektif filosofis bukan kemudian saya ingin membahas satu persatu dalam puisi ini, tidak, akan tetapi

Belajar dari Penyair Mastera Puisi [1]

Oleh: Matroni Musèrang* Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang dilaksanakan pada tanggal 7 sampai 13 Agustus 2017 di puncak Bogor yang kebetulan saya salah satu pesertanya. Saya benar-benar menyadari bahwa untuk menjadi penyair tidak mudah. Penyair bukanlah ia yang sudah menerbitkan buku puisinya berkali-kali dan dimuat di media berkali-kali. Akan tetapi penyair itu adalah takdir kata Acep Zam Zam Noor. Sebab kalau penyair sebuah tujuan, maka seseorang akan konslet (gila) bila ia tidak jadi penyair. Maka dari itulah, menjadi penyair, kata Acep Zam Zam Noor sama seperti membuat batu akik ketika menulis puisi. Seseorang harus memotong batu sesuai ukuran, dihaluskan, sampai batu akik tersebut terlihat cahayanya. Penyair seperti Kiai, seorang kiai, status kiai tidak dicita-citakan, akan tetapi orang yang menjadikan seseorang kiai, penyair pun demikian, kita tidak perlu untuk menyebut diri kita penyair, biarkan publik menyebut penyair, sebab kalau kita ditakdirkan menjadi peny

Pancasila: Sebuah Nilai Universal

Oleh: Matroni Musèrang* Pancasila yang sudah final menjadi dasar falsafah Negara, falsafah bangsa dan falsafah kemanusiaan, seperti pendapat Kiai As’ad Syamsul Arifin bahwa Pancasila adalah sebagai dasar an falsafah Negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus tetap dipertahankan, dan harus dijaga kelestariannya, haruskah kita kembali bertanya? Tentu bagi manusia Indnonesia yang paham sejarah, paham agama, paham kebudayaan tidak akan bisa merubah Pancasila. Kalau kita cermati dengan kritis sila Pancasila itu sila pertama kata dasarnya adalah Tuhan. Siapa yang tidak bertuhan di Indonesia? Lantas apakah kita pantas menyalahkan manusia yang sama-sama memiliki Tuhan dan menyembah Tuhan? Sila kedua ada kata dasar manusia. Di dunia ini tidak angka uang yang mampu membeli harga kemanusiaan. Tidak ada. Oleh karena itu, Pancasila sudah mengumandangkan kepada kita bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi untuk mendapatkan rahman dan rahimnya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan menci