Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Ketika Kopi Menyejarah

Oleh: Matroni Musèrang* Membaca kata “kopi” tentu dibenak kita terlihat hitam dan manis. Namun balik hitam manis itu tidak serta merta kopi, ada sejarah dan nilai perjuangan yang besar, Indonesia dikenal dengan kopi karena ada para “pejuang kopi” yang berani untuk menanam dan membudidayakan sebagai minuman bagi para tamu. Maka wajar jika orang Madura mengatakan bahwa “ kopi: koko kakabbi ”, kopi: semuanya menjadi kuat/kokoh. Apa kemudian yang kokoh tentu silaturrahminya, relasi politiknya, hubungan keluarga, sebab dalam sejarah kopi, dicatat siapa yang datang ke para petinggi kerajaan dan Negara suguhannya adalah kopi. Kalau kita membaca sejarah kopi misalnya dari Ethiopia sampai Makkah pada awal abad 15. Di India pada awal adab 16 karena Gubernur Belanda di Malabar (India) mengirim bibit kopi Yaman atau kopi arabika (Coffea arabica) kepada Gubernur Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama ini gagal tumbuh karena banjir di Batavia, Indonesia adalah

Dimana Rasa Kemanusiaan Kita

Oleh: Matroni Musèrang* Suasana puasa dan lebaran baru saja kita nikmati dengan khidmat, namun tiba-tiba Bom terdengar di Saudi Arabiah dan Solo, pikiran dan mata kita terbelalak dengan Bom itu. Ada yang mengecam karena Bom di Madinah dekat dengan Nabi Muhammad SAW, ada juga yang membaca lebih dalam mengapa Bom terjadi di bulan suci di saat ummat Islam khusuk-khusuknya beribadah? Dalam tulisan sederhana ini saya ingin membaca dari eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Kita sudah banyak membaca dan mengeyam aksi damai dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 10 Desember 1948. Deklarasi Kairo Tentang Hak Asasi dalam Islam 5 Agustus 1990. Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat ( United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples ). Deklarasi Vienna dan Program Aksi yang disetujui tanggal 25 Juni 1993 oleh Konferensi dunia Hak Asasi Manusia. Lantas buat apa aksi damai dan deklarasi ini bila rasa dan hak asasi manusia terbelenggu d

Puasa dan Kedamaian Sosial

Oleh: Matroni Musèrang*   Puasa dasar utamanya adalah “keimanan” (baca;al-Qur’an), bukan “kemampuan” artinya kalau pun ada warung buka, menjual bakso, menjual nasi bukan alasan kita untuk “mengutuk” si penjual, apalagi sampai membongkar dan membakar. Ketika keimanan yang menjadi fondasi seseorang berpuasa, maka untuk menghormati bulan puasa semua manusia diperintah menghormati sesama manusia (yang berpuasa atau yang tidak puasa). Dengan tidak mengganggu sesama manusia sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga sangat menghormati semua manusia baik yang beragama Islam maupun non-Islam, maka puasa kita benar-benar berjalan di atas fondasi keimaman. Bagaimana mungkin yang berpuasa bisa menganggu sesama, sebab dengan berpuasa kita menghormati puasa itu sendiri. Dengan menghormati bulan puasa, apakah pantas atau etis kita menganggu orang lain? Tentu tidak, sebab bulan puasa merupakan bulan bagi orang-orang yang beriman untuk benar-benar membersihkan kotoran-akotoran yang melekat di pikiran