Aku, Sastra dan Realitas

Oleh: Matroni el-Moezany*

Aku adalah sebuah ruang atau katakanlah masyarakat yang berkesinambungan untuk menjalin hubungan antar rasa dan jiwa, saling menolong, saling membantu, dalam setiap pekerjaan, begitu pun dengan sastra dalam realitas juga saling mengisi dalam setiap ada waktu luang untuk berdialektika tentang realitas itu sendiri. Artinya dalam ralitas sastra memiliki andil yang cukup aktif untuk menggerakkan suasana realitas, baik realitas opini, relitas publik dan realitas itu sendiri. Ketiga inilah sastra masuk menumbuhkembangan kesejukan rasa dan jiwa untuk menjadi bahasa yang akomodatif dan tetap kontkstual dalam menghadapi seni yang dis-orisinal.
Jadi untuk bertetangga dengan sastra, bagaimana kita bertutur yang halus, bagaimana bermoral yang baik, dan bagaimana cara menyampaikan pesan kekeluargaan, sebagai keluarga yang damai, dan bahagia dalam menghadapi realitas. Sebab tidak mudah untuk berkenalan dengan sastra. Banyak luka dan derita, karena sastra bermula dari sesuatu yang kecil, lihatlah sesuatu yang lebih terkecil dari hidup siapa sangaka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta.
Sebenarnya perjalanan sastra tidak hanya berhenti dengan bagaimana kita bisa bermain dengan kata-kata, tetapi kita juga dituntut untuk membuka tabir yang ada di balik kelam yang itu tidak banya orang belum bisa sampai ke sana. Seorang Chairil Anwar, Sanusi Pane, Rendra, D. Zawawi Imran, Taufiq Ismail, Gus Mus, Sutardji, dan sastrawan yang sudah melampaui kerajaan kata. Dalam hal ini sastra memiliki jembatan tersendiri untuk melintasi ruang-ruang kehidupan abadi.
Adalah sastra dan sastrawan yang hanya menyerahkan perasaaan dan pengalaman terhadap realitas (manusia), sebagai sesama pejalan jejak kaki semesta kehidupan, tetapi di lain pihak perasaan dan pengalaman yang sama dipersembahkan juga kepada apa yang dipercayai sastrawan sebagai penyampai rasa atau sebagai Tuhannya, yang dapat disampaikan oleh orang-orang yang percaya kepada-Nya. Sastra adalah suatu kata dan tindakan realitas yang menjadi kebahagiaan bahasa sehari-hari.
Yang menjadi pertanyaan adalah: apa yang membedakan “aku yang biasa” dari dosa seorang sastrawan? Rasa dan jiwa yang luluh barangkali sama, tetapi sastrawan membedakan dirinya dari realitas biasa terutama karena kemampuannya untuk membuat kengerian jiwanya menjadi bahagia dan tenang dalam mengkomonikasikann segala yang lahir dari realitas dalam realitas itu.
Aku menjadi sastrawan bukan karena pandai bermain kata, tetapi karena dia pandai menyampaikan rasa dengan cara yang lebih khusus dan dintandai oleh kecakapan menerjemahkan simbolisasi suasana dalam ke dalam simbol-simbol realitas.
Sastrawan tidak bisa memberikan apologi yang biasa dan selali diajukan oleh orang yang bukan sastrawan, bahwa dia merasakan sesuatu yang sulit diungkapkan, tak dapat dikata-katakan, tak dapat diterjemahkan dalalm simbolisasi kata-kata, setiap kita pasti mengalami kebingungan, temangu dan kehilangan arah, tapi Chairil Anwar tidak dengan penggalan puisinya: Tuhanku/ dalam termangu/ aku masih menyebut nama-Mu/ biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh/ cahaya-Mu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi.
Bahasa seorang sastrawan, untuk memahami wacana Habermas, tidaklah pertama-tama berfungsi menghubungkan simbol-simbol bahasa dengan apa yang yang ditandainya, tetapi, bagaimana menghubungkan simbol-simbol bahasa dengan diri pemakai simbol-simbol tersebut.
Kedekatan sastrawan dengan Tuhan dalam sajak Chairil Anwar di atas menjadi meyakinkan karena Tuhan itu diingatnya tidak dalam meditasi dan latihan-latihan rohani, tetapi justeru dalam keadaan bingung dan termangu-mangu. Selanjutnya imannya tidak dibangga-banggakan tetapi di akuinya “kerdip lilin” yang meski demikian, masih cukup kuat untuk menerangi kelam yang sunyi.
Dalam makna tersebut sangat kuat bahwa bahasa sastrawan tidak sama, dan itu menjadi tes orisinalitas kepenyairan seseorang, apakah hasrat yang diungkapkan mencerminkan penderitaan dan pengalaman dalam rasa dan jiwa sehingga menjadi representasi dari setiap kata yang lahir derita jiwa dan menjadi banyak orang yang belum mampu untuk menandai kata-kata dari seoarang sastrawan.
Sastrawan tidak hanya menerjemahkan derita jiwa dalam kata-kata, tapi bagaimana realitas itu mendukung untuk menjadi representasi dari sebuah persetetuan jiwa yang kelam dalam sunyi. Dalam suatu perjumpaan yang memberikan suatu narasi panjang seperti maka menjadi sukarlah membedakan apakah kita terhanyut oleh derita jiwa yang disampaikan atau oleh kata-kata yang menyampaikannya.
Sastrawan yang orisinal, dia adalah selalu memberi kesejukan dalam setiap musim panas membuat neraka tetap segar dan hijau. Sebab, kebenaran dalam kata-kata adalah puisi bukan teologi atau filsafat.
Sastra Indonesia modern berkesinambungan sastrawan dalam menangkap dan menyerap sari perkembangan politik dalam sastra, bukan hal yang tak lazim. Banyak sastrawan yang lain dalam menangkap perbedaan yang ada di suasana jiwa, perbedaan dalam realitas, internalisai dan ekplorasi religiusitas dan tentunya perbedaan ungkapan.
Seterusnnya adalah sastra yang ada dalalm bait-bait jiwa itu menjadi ruang gerak sastrawan untuk sampai pada realitas itu sendiri. Sebab sastra seperti apa yang dikatakan diatas bahwa memiliki jembatan khusus atau tersendiri dalam mengarungi semesta simbolisasi, walau pun sangat sukar dan belukar. Tapi tidak bagi seorang sastrawan atau penyair. Semua bagi sastrawan menjadi bahan makanan jiwa untuk dibagikan kepada realitas sehingga realitas itu mengerti bahwa ada sesuatu di laur sana. AKU yang sudah berjuta hari merana menanti inginmu.




*Tulisan ini di muat di Suara Merdeka pada hari Minggu tanggal 14 Oktober 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura