Realitas Sosial “Mampu dan Tak Mampu”

Oleh: Matroni el-Moezany*

Realitas sosial dalam hal ini bukan sebuah keberagaman masyarakat, tapi realitas sosial yang selama ini hanya diperalat oleh penguasa, mulai dari tempat-tempat yang digusur di Surabaya dan di Jakarta dan para penguasa cuek saja terhadap apa mereka kerjakan, padahal di tempat itu sudah bertahun-tahun hidup di tempat yang pemerintah rusak. Anehnya pemerintah setempat tidak menyediakan tempat bagi mereka. Inilah realitas sosial Indonesia saat ini.
Orang mampu sudah tak peduli terhadap orang yang tak mampu (rakyat bawah), saat ini yang tak mampu diperalat dan dihipnotis oleh penguasa dengan seoalah-olah sok perhatian terhadap masyarakat bawah ini terlihat ketika ingin memiliki suara terbanyak dalam pemilihan legislative maupun pemilihan presiden.
Orang mampu, mulai dari cara berpakaian, rumah, bentuk jiwa, bentuk baju, bentuk langkah, bentuk kerja, bentuk berbelanja, bentuk penguasa, bentuk politik, dan bentuk-bentuk yang lain segalanya berwajah feodal-kapitalis. Padahal fenomena ini yang menjadikan masyarakat berkelas. Ada yang mampun dan masyarakat tak mampu, dan di Indonesia saat ini seperti itu (berkelas).
Fenomena para orang yang mampu selalu menjadi objek kesalahan di Indonesia misalnya para DPR, Menteri, pasti menyimpan perempuan lain selain istrinya sendiri, mungkin tempat ini ada di daerah dimana penguasa tinggal (Jakarta mungkin). Misalnya dari suaminya Kristina dan ketua KPK (Antasari Azhar) yang saat ini menjadi objek dalam kesalahan karena penyimpanan perempuan yaitu Rani Juliani isteri ke tiga Nasrudin.
Sepertinya Indonesia dan para penguasanya (sebagai orang yang mampu) harus membaca filsafat Sadar, kesadaran dan menyadari. Dalam hal ini sadar sebagai fenomena para penguasa yang harus menyadari juga penguasa, baru penguasa memiliki kesadaran penuh, artinya proses sadar, kesadaran dan menyadari sangat mudah ketika para penguasa memiliki keinginan untuk berubah, dan pastinya dimulai dari sadar, yang kedua menyadari barulah kita menghasilkan buah yaitu kesadaran dari perbuatan.
Menyadari di sini sebagai sebuah tindakan untuk berhenti, menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin rakyat, menyadari kalau dirinya tidak pantas menghambur-hamburkan uang rakyat, menyadari kalau dirinya bukan diri yang otonom, menyadari kalau menyimpan perempuan itu tidak baik (penguasa harus menjadi contoh terhadap rakyat). Artinya menyadari di sini lebih pada sadar untuk bertindak ke arah yang lebih baik. Kalau orang para penguasa sebagai orang mampu dalam hal materi, tapi juga bagaimana mampu mengatur proporsionalitas kediriannya dan orang yang tak mampu (rakyat kecil atau orang kecil). Sebab kita sangat sulit untuk bertindak tanpa kita sadar kalau yang kita kerjakan bukan jalan kebenaran.
Setelah kita sadar dan menyadari baru kita memiliki jiwa kesadaran penuh dalam menjalankan pemerintahan yang makmur sejahtera dan saya kira itu merupakan sebuah kepastian yang tak bisa bantah. Sebagai contoh kalau kita di cubit orang rasanya sakit jangan mencubit orang lain. Artinya ketika kita tidak ingin mencubit itu merupakan tindakan menyadari. Sadar di sini sebuah ide, kalau kita ingin mencubit kita sadar bahwa ide kita sudah tahu kalau di cubit itu sakit.
Sebenarnya yang ingin katakan di sini adalah bagaimana tindakan “sadar”, “menyadari”, dan “kesadaran” menjadi tradisi dan budaya di dalam kehidupan rakyat dan khususnya para elit penguasa. Bayangkan saja, ketika rakyat sudah makmur, yang damai bukan rakyat kecil tapi penguasa pasti senang. Dengan tiga konsep Indonesia akan terbebas dari penyakit kemiskinan, dan kasus para penguasa koruptor, apalagi kasus penyimpanan perempuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura