Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2009

Sampai Waktu

Engkau tak lupa mengingatkan aku Sebuah kisah tak sengaja tertulis di bibir Kemewaktuan gelombang kencang menghibur mata Bertahun berwaktu dua kita berdua Engkau begitu lembut Menuliskan puisi waktu Engkau rela bermalam tanpa waktu Hanya untuk menyejukkan batu Kata-katamu sudah aku telan pelan-pelan Jadi rakyat malam sendu syahdu Mengisahkan waktu baru Diperbatasan tanya bisu Kini, walau engkau tak terlihat Masih ada rasa menatap wajah katamu Dipersimpangan bahasa rindu Pengok, 03 Agustus, 2009

Ranjau Yang Terluka

Kukira bahasa malam tak bisa dibaca Setelah pesan melihatkan pintaku Melukai luka yang meluka Setelah kian lama menjera Sebagai tanda pengabdian dosa Aku hanya memberi kata Atau sebagian darahku, tapi Aku tak bisa mengisi kesadaranmu dengan adaku Karena engkau tak bisa melihat jiwaku sempurna Aku hanya bisa merasakan dirimu dalam diriku Walau perantara bentuk kata yang pecah di cakrawala Pengok, 02 Agusutus 2009

Ramadhan dan Kerinduan Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany* Yang selalu terjadi menjelang Ramadhan, harga minyak naik, harga cabe, harga bahan kebutuhan pokok merangkak, pasar hiruk pikuk, orang-orang berjubel di pusat-pusat pertokoan, terminal penuh, bandara antri, stasiun sesak, lalu-lintas padat, tol juga naik, jalan-jalan sering macet sekian kilo dan selebihnya adalah eofuria dan komsumerisme-kapitalisme dan globalisasi. Inilaha wajah bangsa kita saat ini yang merupakan sebuah bangsa yang mempunyai ciri khas dan satu-satunya negara yang memiliki tradisi mudik paling ramai di dunia. Hari raya di negara lain dirayakan dengan cara yang tidak sesibukan. Lebaran mungkin dimaknai sebagai nyanyian perpisahan dari parade panjang dalam menyelesaikan ibadah puasa. Seharusnya kita (orang islam) sedih atau tidak karena terlalu merasa gembira di hari raya. Sebab hari itu hakekatnya adalah perpisahan. Bukankah di awal ramadhan bahkan mungkin jauh sebelum itu, kita sering memanjatkan do’a yang diajarkan Rasul ;”marhaban ya ramad

17 Agsutus 2009

Jangan kau rayakan kemerdekaan Indonesia Sebelum Indonesia mengabdi kepada kita Bendera-bendera jangan kau kibarkan Sebelum bendera menandakan pengabdian kepada kita Indonesia bukan kita Indonesia hanya diri sendiri yang tak peduli pada kita Jogja, 14 Agustus 2009

W.S. Rendra Bagi Kebudayaan Kontemporer

Oleh: Matroni el-Moezany* Mak, bukan kematian yang menggetarkan hati, tapi hidup yang tak hidup. Begitulah sepenggal puisi Rendra yang saat ini bahkan kapan pun masih menjadi wajah perkembangan sastra Indonesia, sebagai penyair yang di kenal si buruk Merk ini sudah mengehbuskan nafas terakhir. Dalam hidupnya dia terus-menerus memperjuangkan sastra karena Rendra mengangap sastra kita masih melempem dan Indonesia belum peduli terhadap kesusastraan. Rendra yang menganggap sastra sebagai pemberontakan terhadap nilai-nilai kehidupan yang dianggapnya mandheg, dan pembaruan nilai-nilai sosial sebagai antisipasi terhadap kebobrokan sosial. Demikian juga gagasan urakan yang ditawarkannya menjadi bermakna di tengah nilai tradisi Jawa yang hanya mementingkan tatakrama dan sopan santun tanpa mengindahkan pemahaman dialektis dari penggunanya. Fungsi nilai tradisi harus terus dipertimbangkan, agar berperan memperkaya sehingga tetap berada di dalam dan di luar kekuatan tradisi tanpa harus kehilangan

Seperti Sebuah Ruang

Seperti sebuah ruang Siang telah mati, Engkau berharap semoga aku Tidak ikut mati dalam eksistensi Sehingga engkau harus menunggu esok untuk ada kembali Aku tak mengerti apa maksud Tuhan Menjadikan warna rembulan menjadi senja Menjadikan diri seperti ini Kadang aku tak sadar kalau diri ini adalah diriku sendiri Entah karena aku terjebak oleh waktu kini Atau karena matahari terlalu tua untuk memberi isyarat Sehingga luka cela yang tak terbaca meleleh di padang ilahi Semoga ini hanya menjadi waktu saja Bukan saja, apa saja, tapi apa aja Yang meletup gemerlap sinar dari bibir kantor lantai dua belas Sebagai lelehan sungai mengalir dari bibirmu Sinar tak langsung turun ke bumi, tapi Lewat kemulusan tulus puisimu Yang terjalin mesra di dinding kuasamu Yang tergeletak marah di dinding kerismu Mengusik ketinggian cakrawala mengharap satu dari sekian huruf semesta kini, sesekali engkau tak peduli api menjalar walau aku peduli, engkau pasti membirkan malam selalu menangis karena cela-cela yang

Kapan dan Siapa

Dipenghujung bibir malam Kupandangi jerit sakit perjalanan Dipersimpangi haluan ronda senja Yang mengira ada kapan dan siapa Entah harus kurangkai apa Kalau semuanya tertaktik politik antik Semisal lima dikurangi satu menjadi empat, itu benar Tapi siapa dan kapan tak jadi dua, tapi kecurangan Kapan dan siapa Engkau mengurung waktu untuk mereka Padahal kemewaktuan tak selamanya ada Sekarang, seminggu, atau kapan dan siapa Yang mampu mengusik perut lapar Selain butir nasi yang bertuliskan: aku bisa? Tapi tak jua kapan dan siapa ada tanya di balik baris ruci motor raja sebab contreng tak selamanya menjadi benar karena mereka masih berkulit hitam tapi kapan dan siapa bagi mereka selalu diterima sebagai pengobat kecewa pada raja sebagai rasa bersalah pada warga tapi entah bagi kapan dan siapa? Yogyakarta, 2009

Profil Waktu

Seperti sebuah tanya yang mungkin hadir bersama sungai dibibirmu, Adakah dua batu yang saling menyapa dalam malam Makanya sekarang aku mencari perempuan yang mengalir sungai-sungai di bibirnya sebab kegersangan masih menyelimuti ladangku tapi cahaya bibir dan lengkungan bibir yang aku butuhkan siapakah sesuatu itu lantas siapakah yang menjadi sesuatu, sehingga ketidakmengertian ini menjadi kata yang membasahi bibirmu Aku takkan mati untuk bertanya di sebuah ladang sunyi, yang akhirnya kutemukan bibirmu yang mengalir sungai-sungai itu Di dunia ini tak luka bagiku, yang ada kesejukan yang lahir dari bibir lembutmu, sebab luka hanya di buat oleh orang yang mengerti apa arti sebuah kata Sudah kukatakan bahwa di dunia ini tak pasungan apa-apa, yang ada hanya kebahagiaan dalam kata-kata, itu karena berkat bibirmu Tidak ada kata terlalu dini untuk memegang apa pun di dunia, apalagi hanya mencari semesta yang tak bertepi ini.. entah dengan siapa aku harus menunggu, kehadiran bibirmu di sini Se

Minimnya Strategi Membangun Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany* Agar Indonesia lebih bermoral dan bermatabat maka harus jelas strategi dalam membangun budaya. Sehingga masalah koruptor tidak lagi membudaya dan selalu menjadi topik aktual untuk diwacanakan. Saat ini yang menjadi masalah bukanlah departemen kebudayaan dan pariwisata dipisah, tetapi sampai sejauh mana pemerintah memiliki kepekaan terhadap kebudayaan yang kemudian dianggap penting dan para pelakunya diberi ruang untuk bekerja. Kebudayaan kita selama ini hanya dipahami secara sempit sebagai seni atau produk kesenian ansich, bukan sebagai tata nilai dalam bertindak, berpikir, bekerja, dan membangun sosial kemasyarakatan. Jadi tidak heran kalau sampai detik ini masyarakat tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam membangun kebudayaan. Sebab masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang bisa menghargai bangsanya, tapi bagaimana mungkin rakyat kita bisa menghargai sementara pemerintah sendiri terlihat minim mengurus kebudayaan. Kita berharap pemerintah ke d

Wajah Baru Masterpiece Sastra Tua

Oleh: Matroni el-Moezany* Sampai saat ini karya-karya sastra tua “seakan-akan” sudah tak lagi dibaca oleh rakyat, kita hanya mengenal, bahkan ada yang hanya pernah mendengar an sich. Itulah mengapa delapan karya sastra tua dikemas dengan wajah baru secara luks dilengkapi hologram dan sertifikat (Tempo, 2/08/09) untuk diperkenalkan kepada rakyat bahwa sastra masih memilki sumbangsih besar terhadap tubuh Indonesia. Yang pertanyaan adalah akankah karya yang dikemas secara bagus akan laku di pasaran? Padahal karya sastra di Indonesia masih banyak rakyat yang belum suka? Buktinya ketika saya melihat karya sastra khsususnya puisi yang diterbitkan menjadi buku masih sangat banyak bertumpukan di rak-rak toko buku, padahal harganya hanya 5000, sampai 15.000 rakyat kita lebih memilih beli buku akuntan dan ekonomi, itu penting sih. Inilah sebuah realitas kecil yang terjadi di sekeliling kita. Lantas bagaimana dengan sastra tua ini yang harganya 2,15 juta dengan alasan bahwa budaya bisa diapresias