Nafas Sunyi

Tak ada butir tersisa
pada ruang sunyi di dapur itu, ibu menangis
dan engkau biarkan terjatuh di matanya
terdiam mengeraskan bibir
berjalan demikian rantai mengikat bukan kata, tapi mata

Satu rasa yang belum selesai
terlambat tak ada yang tahu
kecepatan hati di wajahmu
tiba-tiba menjadi cinta,
semua bermalam sunyi
antara tanah dan langit
do’a dan sesal
kau penyair, rupanya

Yogyakarta, 2008-2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani