Dua Perempuan Tanpa Nama

Oleh: Matroni el-Moezany*

Padahal Hasan tahu bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang ada tanpa nama. Itulah yang membuat Hasan selalu bertanya siapa perempuan itu? Padahal sudah berulangkali Hasan bertanya. Jawabnya tetap aku tidak memiliki nama, jawab perempuan itu. Bagi Hasan perempuan adalah rasa, makanya banyak orang di dunia ini ingin merasakan apa itu rasa. Sampai saat ini orang mencari dan melahirkan rasa dengan berbagai cara, ada dengan ikatan perkawinan, dengan cara pacaran, dengan cara seks komersial. Awalnya rasa ini memang sangat suci dan bening.
Tapi, sampai saat ini orang banyak menggunakan rasa itu dengan seenaknya sendiri. Walau ada perempaun tanpa nama yang datang dari diri Hasan, tapi Hasan tetap akan menjernihkan apa perempuan rasa. Kini, kepercayaan itu sekarang sudah dicemari oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Di dunia kini adalah dunia tanpa nama, Hasan semakin bingung dan gelisah memikirkan sesuatu yang tanpa nama itu. Mengapa dia bilang perempuan tanpa nama, yang kemudian membuat Hasan merana dengan kegelisahannya sendiri, tanpa harus memulai dari mana dan mau kemana, mereka mencemari nama baik rasa.
Pada awalnya perempuan sangat suci dan bening, mengapa sekarang sesuatu yang bening itu bersembunyi dan sama sekali tidak terlihat? Sementara kebersihan rasa sudah menjadi bayang-bayang yang tidak mampu kita sentuh. Akankah ketercemaran akan selalu berlanjut tanpa ada batas waktu yang tidak ditentukan oleh dirinya sendiri dan orang lain.
Perempuan-perempuan mengapa engkau layu dengan mutiara, mengapa engkau bertekuk lutut hanya karena materi? Pergilah dari sesuatu yang terlihat, carilah interioritas yang membuat dirimu kuat dan tangguh untuk melihat dunia. Sebagai perempuan engkau akan mampu untuk menggecarkan dunia. Andai saja ada perempuan yang tidak hanya mementingkan materi, maka sangat mungkin dunia akan damai dan sejahtera, walau materi adalah segala-galanya, tapi materi juga memiliki batas kemampuan untuk mengatasi dirinya dan orang lain.
Dunia gelisah dan Negara rusak bisa karena perempuan tidak mampu menjaga dirinya dari ketertarikan akan materi. Seharusnya perempuan-perempuan menjaga moralitas yang senantiasa menjaga nama baik dirinya dan agamanya masing-masing. Mengapa perempuan tanpa nama ini Hasan lahirkan karena kalau perempuan menampakkan wajahnya di negeri ini, maka negeri yang miskin seperti ini akan semakin miskin dan memiskinkan.
Maka, dengan kebijaksanaan Hasan, perempuan tanpa nama memang harus di hadirkan di negeri ini, untuk menjaga kejernihan bangsa kita. Bangsa yang kaya akan moral, bangan yang kaya akan buah-buahan, bangan yang kaya manusia dan bangsa yang kaya akan kekayaan. Tapi setelah perempuan hadir di tengah-tengah kesemrautan para penguasa tak ada perempuan yang secara tegas menolak kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan orang lain. Tak ada perempuan yang berani mengalahkan hawa nafsunya untuk menjinakkan penguasa-penguasa serakah.
Ketika Hasan berharap kepada pemimpin Negara sudah tak ada keberanian untuk memberontak kebijakan-kebijakan yang di katakan menteri dan dpr, lalu Hasan memberi kesempatan terhadap perempuan untuk berjuang membela rakyat dan dirinya sendiri, tapi anehnya perempuan-perempuan itu kini larut dalam keterpesonaan uang dan larut dalam keseharian para penguasa. Bangsa kita sudah tak memiliki manusia yang utuh untuk berjuang atas nama rakyat, dan memperjuangkan rakyat. Bangsa kita adalah bangsa yang mati.
Ketika para penguasa dan para perempuan-perempuan tak lagi ada nyali untuk orang lain, bukan tidak mungkin akan lahir bangsa yang kotor dan penuh dengan lumpur-lumpur kesesatan. Lantas dimana bangsa kita yang dulunya bersih dan jernih dari penguasa-penguasa kotor seperti sekarang? Dimanakah orang-orang pintar yang selalu berwacana atas nama rakyat?
Hasan melihat bangsa kita banyak orang yang pintar dan cerdas, tapi mengapa kecerdasan tidak dibuat untuk memperjuangkan dirinya dan orang lain. Tak seharusnya mereka berbuat seperti itu. Tak seharusnya mereka terlalu pintar untuk mengabdi kepada rakyat. Karena yang diinginkan bukan orang pintar, tapi yang diinginkan rakyat adalah pengabdian. Pengabdian terhadap rakyat. Kini, semakin banyak orang pintar semakin sengsara rakyat, semakin banyak orang cerdas semakin banyak juga kemiskinan. Semakin banyak orang kaum intelektual semakin tak ada nilai rasa untuk rakyat. Tapi bagi Hasan orang-orang seperti itu tidak pantas untuk dihormati, karena kepintarannya kurang bermanfaat, buktinya tak ada kaum intelektual yang secara nyata memperjuangkan bersama-sama rakyat. Rakyat hanya diperalat untuk kepentingan sendiri. Rakyat hanya diperalat untuk melanjutkan kekuasaannya sendiri.
Hasan semakin bingung dan gelisah dengan mereka-mereka yang sok pintar dan sok selalu berwacana. Mengapa mereka berbuat seperti itu? Apa yang membuat mereka seperti itu? Bagaimana mereka mau seperti itu? Siapa yang menyuruh mereka berbuat seperti itu? Apakah mereka memang miskin, sehingga hanya mencari uang? Apakah mereka memang hianat terhadap ilmu pengetahuannya sendiri?

Adalah Engkau

Engkau bisa mencari dari atas
Dari bawah bahkan dari tengah-tengah
Sehingga menemukan perjumpaan
Di dalam kata-kata

Jendela sudah terbuka
Jendela yang di sukai banyak penyair
Tapi sudahkah kita bertanya
Terhadap keberhasilannya itu?
Keberhasilan mendapat pengetahuan
Keberhasilan mencari perjuampaan?

Engkau boleh sombong
Asal masih ada sebiji sadar di jiwamu
Yang mampu membiaskan rona bintang
Melebihi jejak perjalanan penyair

Adalah engkau yang memberi rasa
Bagi mereka yang miskin dan yang tak tersentuh penguasa
Penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan
Memberi tanpa laba
Membantu tanpa ada unsur apa-apa

Kini, dunia semakin luas hanya dalam diri

Sebentuk persoalan jika hanya UUD (Ujung-Ujungnya Duit) pasti mengarah terhadap keperpihakan diri sendiri tanpa ada respek terhadap orang yang masih kelaparan dan kemiskinan.
Bagaimana kalau bangsa kita tidak memiliki UUD, tapi HHD yaitu Hukum Hukum Dasar, agar tidak terkesan hanya duit dan duit yang di cari para elit penguasa bangsa. Karena tidak etis jika para penguasa yang dulunya harga mobilnya seharga jutaan, sekarang 2009 seharga miliaran.
“Apakah mereka tidak malu” pikir Hasan
Mereka tidak mungkin malu, karena mereka sudah tertutup dari rasa malu, buktinya mereka masih mencuri uang rakyat, mereka masih mengadakan komersialisasi.
“Aku semakin bingun melihat para penguasa yang masih berbuat tidak adil terhadap rakyat” tandasnya
“Akankah bangsa kita selalu diselimuti dengan orang-orang yang tidak becus?”
Hasan semakin sebel dan malas untuk mendengar pidato dan ceramah para penguasa yang hanya baik di depan publik, tapi tak ada bukti nyata. Kiranya sudah cukup Hasan untuk memberi data-data ketidakbecusan penguasa bangsa kita. Tak ada orang sedikitpun yang berani melawan pemimpin, selain mereka larut di dalamnya. Sungguh-sungguh keterlaluan bangsa kita. Hokum hanya dijadikan mainan. Di buat sendiri, di rubah sendiri.
Tak kubayangkan bahwa bangsa yang begitu kaya akan orang-orang cerdas, tapi tak mampu untuk menggunakan kecerdasannya.
Hasan tak memiliki kemapuan apa-apa, selain hanya melihat penguasa serakah. Kebingungan demi kebingungan telah sampai pada puncak ketakmengertian Hasan untuk membaca data-data pencuri yang begitu banyak, tapi dibiarkan berlalu tanpa ada respon dari Hukum anak-anak bangsa kita.
Oh….kawan kita harus membenahi moral kita untuk menjadi pemimpin. Karena moral adalah salah aspek untuk tidak bisa sensitive terhadap keadaan rakyat yang kelaparan dan masih miskin, tapi penguasa kita masih tidak malu membeli mobil dengan harga miliaran, apakah mereka tidak melihat rakyat yang kelaparan.
Kesunyian menjadi lebih baik untuk bertanya, mengapa bangsa kita seperti ini? Ketakpedulian pemimpin adalah musuh besar rakyat, orang lemah tak seharusnya dibawah. Orang lemah harus melawan. Kita harus memberi pelajaran terhadap penguasa yang masih gila itu. Dasar pemimpin Gila. Dasar pemimpin tidak tahu malu.

*penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani