Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2008

Kutawarkan Padamu “Ayah”

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany* kutawarkan padamu “ayah” sehelai cinta, kata-kata rindu dan serumpun bunga yang lama kau tinggalkan adakah aku merindukanmu, nanti bila kabel cakrawala tak memperkenankan percakapan sedang dingin cintamu yang mendiami batu-batu kengerian jiwa masih ingin kuungkapkan tentang cinta bersemraut lewat kata-katamu tapi, kutawarkan lagi padamu “ayah” kata-kata yang mengenangi dalam sepi walau sesobek rindu yang menjadi ruangmu di situ, hanya ada kata-kata, pecahan rasa serta sebuah sajak yang mungkin bisu tentang cinta Yogyakarta, 2008 Air Mata Ayah kita tidak sedang manangis, tapi luka batin dan keperihan membanjir dengan linangan air mata hingga tampak keramaian dari segala semesta yang menggoda kita persiapkan kapal diri berlayar pada sunyi lalu dinaikkan cintamu dengan mengantarkan kita ke pintu matahari yang karam menjadi sia sampai jejak hilang hanyut karena tergoda dalam perangkap kini, tinggal sejarah kita simpan kenangan kelam dalam kegelapan yang ter

Menanyakan Maksud Pemerintah

Oleh: Matroni el-Moezany* Indonesia saat ini menjadi Negara menuju keberkembangan, entah keberkembangan ke arah yang lebih baik atau sebaliknya menuju ke arah ketidakjelasan oreinrasi. Sebab Indonesia masih dalam kemiskinan. Kemiskinan anggota DPR yang ngesek dengan sekretarisnya sendiri. Atau kemiskinan ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat. Seperti yang terjadi di Jakarta Selatan rumah-rumah mereka di gusur sementara pemerintah tidak menyediakan tempat bagi mereka. Belum lagi kenaikan gas elpiji, minyak tanah, dan BBM. Untuk minyak tanah tidak akan di subsidikan lagi, entah mengapa? Berangkat dari inilah yang dimaksud saya untuk menanyakan kepada pemerintah sehingga barang-barang semua dinaikkan dan alasannya untuk meningkatkan perekomian ekonomi. Apakah perekonomean kita di samakan dengan Amerika?. Indonesia pasti tidak akan bisa. sebab Indonesia Negara yang kaya, tapi orang-orangnya bodoh-bodoh tidak bisa mengelola sendiri. Ini alasan yang tidak rasional, karena Indonesia belu

Tak

Di Antara Dua Musim II aku terkubur dikedalaman matamu menyakasikan hianat yang kau katakan pada bunga di sana sementara kau tak melihat aku berdiri di tepi sana mamandangi percakapanmu dengan matahari lain aku memang tak bisa membujuk langkahmu yang selalu di banjiri kebimbangan rasa dan kata karena di haluan yang lain aku tiada untuk masa waktu lalu sepertinya awan tebal masih menyelimuti perjalananmu untuk mengarungi malammalam Yogyakarta, 2008 Seperti Perjalanan seperti perjalanan aku berlari mencari luka luka yang dulu mengajari untuk mengairi airmata di depan bibir kini sudah mulai redah entah karena puisi atau kerena luka sendiri aku yang meluka dari perkataan semesta adalah sesemu pilu di dada hingga keteruraian menjadi rasa yang melekat di tepi sana Yogyakarta, 2008 Tak Tak ada Tak luka Tak resah Tak berwaktu Tak selesai Tak merdeka Tak berkata Tak......? Tak.......................tak..................tak Tak semua ada, itu ada Tak semua luka, itu luka Tak semua resah, itu res

Tidak Percaya Kepada Kandidat Presiden & Wakilnya

Oleh: Matroni el-Moezany* Saya tidak percaya siapa pun mereka yang akan menjadi presiden di Indonesia, karena mereka tetap tidak respek terhadap masyarakat, tapi apalah daya sejak dulu Indonesia sudah memiliki sistem ke-presiden. Ya, kita harus hidup di bawah pemimpin atau presiden walau pun presiden itu tidak becus, tidak mendengar, alias tuli. Sekarang sudah banyak yang berkeliaran, menjual muka manis untuk meminpin Indonesia. Dan mereka dalam menampakannya begitu sangat peduli dan mansi sekali terhadap anak-anak terlantar, masyarakat miskin, dan masyarakat-masyarakat yang lain. Tapi saya yakin itu hanya tipu daya agar masyarakat percaya dan mereka (para kandidat presiden dan wakilnya) setelah menjadi apa yang diinginkan dia lebih memiliki peran atau mementingkan diri sendiri daripada masyarakat luas. Sungguh Indonesia penuh dengan wajah-wajah penghianat. Penghianat pada bangsa dan penghianat pada masyarakat. Sekarang mereka berloma-lomba untuk menarik simpati masyarakat untuk perca

Percakapan Senja

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany* semenjak malam seakan tiada aku pun rebah dalam silau bulan yang juga silau dengan air mata seperti aku yang menangis dipersinggahan kata aku terus berjalan menyusuri senja-senja yang kusam menaiki gubahan-gubahan menikmati puisi malam aku terus menulis puisi untuk jiwa dan semesta ini karena aku hidup dengan puisi lapar dengan puisi bahkan mati pun aku juga dengan puisi aku melangkah seperti kehidupan berjalan seperti waktu berpuisi seperti lagu yang semuanya rebah dalam rumpun senja-senja-an Yogyakarta, 2008 Seperti Senja seperti senja aku pun lelah seharian meratapi kata untuk kusuguhkan pada puisi lalu, tidur bersama malam, tapi puisi yang kusandangkan tak lepas dari kejaran waktu untuk terus mengisi ruang kosong di matamu keresahan seperti senja penderitaan juga seperti senja aku tak kuasa mengeja puisi manja sementara aku tetap terus mengisi semesta walau jiwa ini rasanya terurai oleh lancip sinar matahari yang tak kubayangakan sebelumnya pisau,

Menjelang Pagi

Sajak-Sajak: Matroni el-మొఎజానీ sepertinya kutertidur di sore hari, tapi bayang-bayang di atas gubahan semesta masih tertata rapi apakah karena aku belum makan hingga jiwa ini terasa penuh resah dan kata-kata tak terurai seperti biasanya padahal sebentar lagi pagi akan segara berangkat menemui matahari dalam keadaan bagaimana pun aku tetap harus menghirup udara pagi karena itu tidak bisa kulalui dengan jalan apa-apa meskipun dengan tangga meskipun dengan jembatan emas, tapi hanya jalan dan diam aku bisa menemui segalanya walau tuhan sekalipun Yogyakarta, 2008 Seperti Biasa I seperti biasa matahari bersinar orang-orang pada ke kantor mahasiswa mulai berorasi perubahan, tapi ada satu yang tak pernah berubah “perubahan itu sendiri” karena kita hanya bisa menyentuh kata tidak sampai pada rasa padahal itu lebih dekat kita Yogyakarta, 2008 Seperti Biasa II seperti biasa aku tetap menulis puisi para ahli melihat budaya melihat ekonomi, tapi aku tetap lapar mengapa? aku bertanya sungguh bertan

Diam II

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* Diam adalah kata Yang mempersatukan Aku dengan Tuhan Yogya, 150808 Sebuah Nama dulu aku kenal hanya haruf untukmu dalam malam diri yang tiada basa dan kering suara sebening bintang semesta rasa pada sisa asa yang aku miliki tiada sudah hilang entah kemana aku simpan nama itu dalam lubang kata-kata untuk kujadikan puisi pada kekasihku karena sebuah nama tiada sama dengan aku begitu pun aku dengan nama itu karena aku tidak sama dengan siapa-siapa kecuali dalam kata rasa Yogyakarta, 2008

Kompor Dapur

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* sebenarnya sebelum dua hari kau telah berkata padaku untuk memperbaiki kompor takut meledak, katanya dalam mata-mata bisu kau sandarkan padaku karena kau tak sanggup mematikan nyala apinya sekarang semesta tidak mau lagi untuk menepis kompor dapur karena kita lebih mementingkan diri daripada keluasan semesta kata mungkinkah ini semua akan ada? untuk aku dan adik-adikku? Yogyakarta, 2008 Cincin ST Licin seperti biasanya bulan malam ini bersinar menyinari orang yang bekerja untuk agustusan, tapi ku tak membisu untuk bertanya pada bulan ini seperti apa keindahanmu hingga banyak orang menghiasimu dengan bendera merah putih hari kemerdekaan, katanya hari yang bersejarah, lalu? aku pun berlalu dalam sepi memberi jejak untuk kau singgahi sekarang dan selamanya terimah kasih kau telah memberi aku baju untuk merayakan kemenanganku hari ini, tapi aku mohon jangan beri aku jejak untuk melupakan sejarahmu cukup puisi memberi jawaban atas semuanya karena aku tak bia

Kompor Dapur

Sebuah Nama dulu aku kenal hanya haruf untukmu dalam malam diri yang tiada basa dan kering suara sebening bintang semesta rasa pada sisa asa yang aku miliki tiada sudah hilang entah kemana aku simpan nama itu dalam lubang kata-kata untuk kujadikan puisi pada kekasihku karena sebuah nama tiada sama dengan aku begitu pun aku dengan nama itu karena aku tidak sama dengan siapa-siapa kecuali dalam kata rasa Yogyakarta, 2008 Kompor Dapur sebenarnya sebelum dua hari kau telah berkata padaku untuk memperbaiki kompor takut meledak, katanya dalam mata-mata bisu kau sandarkan padaku karena kau tak sanggup mematikan nyala apinya sekarang semesta tidak mau lagi untuk menepis kompor dapur karena kita lebih mementingkan diri daripada keluasan semesta kata mungkinkah ini semua akan ada? untuk aku dan adik-adikku? Yogyakarta, 2008

Negeri Gila

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* Malam hidupku selalu malam siang pun juga malam puisiku mati dalam malam perjalananku kosong, karena malam jiwa malam ibadahku juga malam waktu pun ikut malam semua malam akan kubunuh malam itu Yogyakarta, 2008 Negeri Gila negeri apa ini? segala sesuatunya seperti kosong dari kepedulian apa negeri ini sudah tidak memilik raja? aku berpuluh-puluh tahun hidup seperti ini masih saja malam hanya berteman lampu-lampu redup negeri ini benar-benar jauh dari matahari bahkan bulan pun jarang terbit apa ini karena kau tidak berkata pada semesta kata atau kita sudah tidak peduli lagi pada rasa sungguh kasihan pada waktu kalau tak berwaktu lagi padahal aku masih punya banyak perlu untuk berpuisi dalam dalam dan memikirkan negeri gila ini Yogyakarta, 2008 Pagi Itu, Cerah, Tercerah pagi itu, cerah, tercerah, tapi tanpa rasa, tanpa jiwa dan tanpa kata hanya kosong, hampa karena semesta hanya diam dan matahari membisu di terik siang Yogyakarta, 2008

Di Antara Dua Musim

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* bisakah pagi tetap indah sedangkan mentari tak lagi menyapa masihkah malam memberi tenang sedang rembulan tak lagi menampakkan wujudnya kuingin segera berlari pada maura waktu karena beban tak lagi kuasa kubawa kaki yang kujejakkan pada semesta yang dulu kuyakin mulikku kini asing tinggalkan aku dalam sunyi ku menjerit dalam hening yang membisu tiada jawaban ku selalu bertanya kapankah semua akan usai terimah kasih kau telah datang malam ini, tapi aku mohon jangan pernah beri kau jejak jika hanya untuk berlari cukup perih oleh waktu yang memberiku candu dan kutak sanggup jika harus mengulangi Jakarta, 2008 Cincin ST Licin seperti biasanya bulan malam ini bersinar menyinari orang yang bekerja untuk agustusan, tapi ku tak membisu untuk bertanya pada bulan ini seperti apa keindahanmu hingga banyak orang menghiasimu dengan bendera merah putih hari kemerdekaan, katanya hari yang bersejarah, lalu? aku pun berlalu dalam sepi memberi jejak untuk kau singgahi se

Diam

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany Diam adalah kata Yang bisa mempersatukan aku Dengan Tuhan Yogyakarta, 2008

Indonesia = Seni + Manja

Oleh: Matroni el-Moezany* Setelah banyak saya baca dan melihat bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya, tapi masih banyak masyarakat yang kekurangan bahkan ada yang sampai saat ini ada dalam ketiadaan, artinya mereka saat ini kehidupannya masih pontang-panting dalam menghidupi dirinya dan keluarganya. Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan budaya, penuh dengan seni, tapi seni di Indonesia banyak yang masih manja, mengapa tidak? Penyanyi Band misalnya, mereka hanya berkutat pada ranah cinta saja, memang cinta itu tidak dipisahkan dari kehidupana, tapi kalau kita ingin bermain dengan cinta, setidaknya cinta di bungkus dengan baik, tidak hanya cinta-cintaan kayak penyanyi Indonesia. Jadi tidak salah kalau banyak pemuda yang gemar pada artis Barat sekaligus penyanyi Barat apalagi flm Barat yang sangat penuh dengan sejarah dan spirit. Ini sudah terbukti sejah dulu. Bukan saja seni Barat yang anak Indonesia senangi, tapi dari segi pemikirannya pun juga banyak di tiru oleh orang

Di Antara Dua Musim

bisakah pagi tetap indah sedangkan mentari tak lagi menyapa masihkah malam memberi tenang sedang rembulan tak lagi menampakkan wujudnya kuingin segera berlari pada maura waktu karena beban tak lagi kuasa kubawa kaki yang kujejakkan pada semesta yang dulu kuyakin mulikku kini asing tinggalkan aku dalam sunyi ku menjerit dalam hening yang membisu tiada jawaban ku selalu bertanya kapankah semua akan usai terimah kasih kau telah datang malam ini, tapi aku mohon jangan pernah beri kau jejak jika hanya untuk berlari cukup perih oleh waktu yang memberiku candu dan kutak sanggup jika harus mengulangi Jakarta, 2008

Kematian

Oleh: Matroni A el-Moezany* Apakah kematian itu sebuah pembatasan dalam mengahiri kehidupan ini? Apakah setiap hari kau lebih dekat dengan ketiadaan? Kau pasti selalu menghadapi kata-kata seperti ini. Kalau kau tahu kematian tampak mengancam atau ketika kau mencintai seseorang lalu meninggal dunia. “hidup ini, menccita-citakan sesuatu yang melampaui dirimu, sesuatu yang melampaui cakrawala keabadian” “saya yang lekas mati” katamu. “apakah kau juga korban keserakahan saat dunia ini ada yang sampai saat ini masih belum selesai”, kalau kau merasa semua itu yang kau buat menyentuh keabadian dengan satu atau yang lain. Mengapa tidak berubah dan mengubah. Kau bilang, hidup ini begitu ironis ini karena kau sebenarnya tidak pernah meminta agar kau dilahirkan, tapi katika kau dilahirkan tahu bagaimana mencintai hidup, dan kehidupannya, dan kau dihadapkan pada kenyataaan. Kau senang atau tidak kau harus menjalaninya, sebagaimana hadirmu sendiridi semesta ini. Kelahiran dan kematian yang harus di

Perempuan Kegelapan

Oleh: Matroni el-Moezany * Pada sebuah ketika, malam yang tanpa cahaya ada seorang perempuan yang begitu sangat memukau, seakan wajahnya terbuat dari cahaya, mencari cahaya, menangis karena cahaya. Seseorang melihat dari jauh, dia ternyata seorang perempuan yang sedang ada dalam jurang kegelapan dan dia berusaha mencari sesuatu yang dapat menerangi kegelapan itu. Dia terus mencari dalam malam yang tak berwaktu, dalam malam yang tidak terbatas. Seorang diri dalam kegelapan, mungkin dia perempuan yang tersesat, apakah kamu tersesat? Tidak! Menangis bukan karena melihat matahari tidak terbit, bulan tidak terbit, api tidak menyala, tapi melihat semesta yang terisi perempuan seperti aku, katanya. Memangnya kamu kenapa? Aku adalah perempuan yang hanya bisa melakukan sesuatu yang tanpa arti bagi diriku sendiri. Memangnya yang berarti bagi dirimu itu apa? Aku juga tidak tahu apa sesuatu itu. Apakah itu aku? Tidak! Terus siapa, dan apa? Aku masih akan terus mencari itu semua agar kehidupanku me

Di Tepi Sungai Bai

Di Tepi Sungai Bai Oleh Matroni el-Moezany* Pagi yang cerah menghiasi penantian. Orang-orang sudah datang untuk mencuci. Mereka ramai-ramai mandi dan mencuci dengan sabun yang sangat murah harganya. Yang penting bagi mereka bersih dan suci. Mereka sudah biasa mandi dan nyuci di sungai itu. Dari saking terbiasanya masyarakat sana. Dari pagi, siang, dan sore tidak pernah sepi. Karena begitulah kebiasaan mereka setiap hari. Sementara Lin sendiri dalam penantian. Lin juga bingung. Apa yang Lin nantikan. Di tepi sungai Bai. Sungai yang hanya di buat nyuci dan mandi. Lin terdiam. Berpikir. Tidak apa-apa menanti di sini. Sebab sungai ini tidak pernah mati dan airnya habis. Mungkin Lin harus belajar pada sungai Bai itu. Agar kehidupannya juga seperti sungai yang tidak pernah mati. Lin berpikir lagi. Tapi aku kan manusia. Yang terbatas dan tidak bisa berbuat apa-apa seperti air. Lalu, dia teringat ketika belajar filsafat di perguruan tinggi, kala itu dia belajar tentang filsafat kehidupan, bahw

Surat Buat Petani di Madura

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* Surat Buat Petani di Madura sehabis azan kau jejakkan kaki di perut bumi yang berkeringat menapaki sesuatu yang jauh dengan raga kau guyurkan segala rasa untuk mencapai klimaks inginmu di cakrawala kau mencari kau percaya bahwa klimaksmu itu ada di sana di tepi tanah dan tubuh semesta Sumenep, 09, 06, 2008 Pada Matamu pada matamu rumpun gelisah di rancak daun-daun memanggil hujan pada matamu reroncean mengurai rambutmu menyebarkan bunga musim panas pada matamu angin meminta jalan untuk bersama dalam sunyi pada matamu kuurai segala yang kuimpikan agar menjadi impian lalu sejenak makna di haluan matamu ada yang tak terlihat untuk kusanding di perjalanan nanti aku hanya bisa melihat pada matamu yang telah terurai dengan rapi hingga diam pun ada Sumenep, 2008 Keringat Api di Bulan Juni setelah selesai kuurai inti keringat ini jadi aku: itu desis keringat tubuh atau bunyi seru jiwa terbuang kepada seorang tani yang tersedu kau puisika