Perempuan Kegelapan

Oleh: Matroni el-Moezany*

Pada sebuah ketika, malam yang tanpa cahaya ada seorang perempuan yang begitu sangat memukau, seakan wajahnya terbuat dari cahaya, mencari cahaya, menangis karena cahaya. Seseorang melihat dari jauh, dia ternyata seorang perempuan yang sedang ada dalam jurang kegelapan dan dia berusaha mencari sesuatu yang dapat menerangi kegelapan itu. Dia terus mencari dalam malam yang tak berwaktu, dalam malam yang tidak terbatas.
Seorang diri dalam kegelapan, mungkin dia perempuan yang tersesat, apakah kamu tersesat? Tidak! Menangis bukan karena melihat matahari tidak terbit, bulan tidak terbit, api tidak menyala, tapi melihat semesta yang terisi perempuan seperti aku, katanya. Memangnya kamu kenapa? Aku adalah perempuan yang hanya bisa melakukan sesuatu yang tanpa arti bagi diriku sendiri. Memangnya yang berarti bagi dirimu itu apa? Aku juga tidak tahu apa sesuatu itu.
Apakah itu aku? Tidak! Terus siapa, dan apa? Aku masih akan terus mencari itu semua agar kehidupanku menjadi indah dan bahagia. Iya, tapi kamu harus punya jalan kemana arah dan tujuanmu. Apakah kamu akan berjalan tanpa arah seperti orang gila atau kamu akan berjalan diatas waktu yang asing padahal kamu tidak mengenal apa waktu itu? Yang penting bagiku adalah aku harus bertanya bagaimana mencari hidup yang menghidupi aku sekarang maupun nanti. Sebab aku akan merasa mengerti seperti kehidupan ini sebenarnya apabila aku menemukan matahari dalam diriku sendiri, bulan di tepi mataku, dan api di ruang gelap. Tak mungkin kalau kamu mengharapkan matahari terbit dari dirimu, kan matahari selalu terbit di ufuk timur, kamu bagaimana sih kok tidak mengerti kehidupan?
Aku memang mencari kebodohan dan ketidakmengertian, karena dengan mencari mereka aku akan selalu bertanya dan melihat bahwa ada sesuatu di balik semesta dan kegelapan ini. Sungguh aku tidak mengerti apa yang kau inginka dari Tudah dan alam ini.
Perempuan itu tanpa lelah terus menelusuri apa arti kegelapan yang ada dalam dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengenal apa itu matahari, apa itu bulan dan api, padahal yang dia cari hanya sebatas ruang untuk mencermati apa diri dan semesta ini agar kehidupan ini bersih dari kegelapan. Tandasnya.
Sebab aku tahu kita tidak mungkin merana dan menderita dalam semesta ini hanya kerena satu alasan. Kegelapan. Lalu, bagaimana untuk menghilangkan kegelapan itu? Apa kita menyalakan api, meminta agar matahari terbit sekarang atau kita suruh bulan datang untuk meneranginya? Tidak! Lalu? Apa? Itulah sebenarnya yang selama ini aku cari, sehingga jiwa ini selalu bertanya-tanya.
Apalah arti kehidupan ini tanpa ada mereka? Aku jadi bingung dengan ini semua. Banyak teman kita yang hanya hidup dengan kata-kata kosong, tanpa ada makna di dalamnya. Ada temang yang juga hidupnya hanya diam, meratapi hidupnya, ada juga teman kita menangis hanya karena lapar, sungguh risau aku dengan kejadian seperti itu. Aku memang tidak mampu untuk memberi makan pada mereka yang lapar, tapi setidaknya aku sebagai manusia, juga melihat dan memikirkan mereka. Ya, tapi kamu kalau memikirkan mereka, justru kegelapan akan semakin berwaktu-waktu mendiami semestamu.
Aku sudah muak dengan diriku sendiri. Mengapa? Aku sudah banyak dosa karena tidak bisa mendo’akan mereka. Tidak apa-apa, kamu tidak memiliki kewajiban untuk memikirkan mereka, lalu siapa? Pemerintah? Pemerintah itu ada di ruang yang beremas, jadi tidak mungkin pemerintah dan teman-temannya turun melihat mereka, apalagi memberi, sangat tidak mungkin.
Kamu ko’ bilang seperti itu. Memang kenyataannya seperti itu, buktinya aku masih belum ada yang memberi jawaban, bagaimana cara untuk menghilangkan kegelapan dalam diriku. Kamu kan belum berjalan jauh melanglang buana untuk mencari tahu dimana orang pintar yang bisa menjawab pertanyaanmu itu. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalananku, kenapa? Karena setiap langkah atau setiap aku langkahkan kaki ini, terlalu sering aku melihat negeri-negeri mereka yang masih belum mendapat makan yang layak. Aku hanya meneteskan airmata saat melihat mereka. Menangis.
Lalu, selanjutnya kamu mau pergi kemana? Aku akan menemani mereka yang terkena luka dan kelaparan itu. Jangan! Nanti kamu juga lapar dan menderita seperti mereka. Lebih baik lapar daripada melihat mereka sengsara dan menderita dalam menjalani kehidupan ini. Sungguh gila kamu, katanya. Aku memang ingin menjadi orang gila, dari pada hidup tak berarti.
Menurutmu hidup yang berarti seperti apa, kayak apa? Kayak gini, melihat, mendengar, memperhatikan dan membatu mereka yang sedang dalam kesulitan. Memiliki kepekaan, sensitif, tahu diri dan terenyuh. Itu namanya orang yang berarti dalam hidup, bukan malah hanya hidup sendiri, kenyang sendiri, makan sendiri, tapi zaman sekarang memang selalu seperti itu. Lalu! bagaimana untuk mengubah itu semua?. Saya juga tidak tahu, jawabnya pelan, sambil memules airmatanya yang sedang deras mengalir ke pipinya.
Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan, ketika ada sebuah negeri yang keadaan masyarakatnya banyak yang menderita karena kekurangan makanan, untuk membeli tidak punya uang karena barang-barang naik semua. Sungguh kasian negeri itu seperti tidak memiliki raja yang memimpin negeri itu, seperti anak kehilangan induknya. Sungguh kasihan mereka.
Kita berdua hanya bisa menyaksikan, tanpa ada daya untuk membantunya, karena aku juga tidak mampu menjangkau keadaan negeri mereka. Aku hanya membantu lewat do’a. Tidak lebih. Bagaimana mungkin, aku membantu dengan bentuk materi, sementara buat makan saja aku berjalan dua puluh kilo meter bahkan tiga puluh miter itu hanya untuk mendapatkan uang sebesar lima belas ribu. Sungguh menyakitkan hidup dengan raja yang tidak memiliki perasaan sama sekali.
Aku ingin menjadi masyarakat yang rajanya memiliki rasa peduli terhadap masyarakatnya, seperti Malaysia, atau pokoknya negara-negara yang peduli terhadap masyarakatnya sendiri, dari bidang keseniannya, sampai pada bidang ekonominya. Tapi apalah daya, ini semua berlaku pada diri sendiri dan pada negeriku sendiri, sungguh sangat terkungkung aku dengan keadaan ini.
Ayo kita pergi ke negeri orang lain. Tidak! Karena aku masih punya tanggungjawab untuk tetap membantu mereka walau pun hanya dengan do’a. Sungguh kau orang yang gila, sudah tahu negeri ini adala negeri yang tidak punya perasaan masih saja kamu ingin tinggal di negeri ini. Jangan-jangan kamu juga sama dengan raja negeri ini. Tidak punya perasaan?.
Terserah apa katamu, yang penting bagiku adalah membantu mereka, aku memang tidak peduli siapa raja kita, kenapa harus peduli pada raja sementara raja kita tidak peduli pada kita, lebih baik kita jalani hidup ini dengan semangat dan do’a. Apa kamu tidak menyesal nantinya? Menyesal atau tidak itu bukan urusannmu. Dalam hal ini yang paling dikedepankan adalah kita membantu, peduli pada mereka dan punya perasaan dalam melihat keadaan mereka. Begitu!.
Aku kan sudah bilang, kamu akan membantu mereka dengan apa? Aku bilang dengan do’a. Apa mereka dengan dibantu dengan do’a, mereka bahagia, saya tidak mungkin, karena mereka tidak hanya membutuhkan do’a, tapi juga makan, makan, dan makan. Mereka sudah tidak punya apa-apa. Gimana? Apa kamu masih peduli pada mereka? Sampai kapan pun aku akan peduli dan membantu mereka sampai mereka bebas dari kekangan derita yang mereka alami saat ini.
Kamu benar-benar gila, sudah aku bilang kita pergi tinggalkan negeri ini yang tidak punya perasaan sama sekali. Lari dari derita itu bukan jalan baik untuk menyelesaikan masalah negeri dan rajanya. Kita harus berperang melawan raja yang tidak peduli dengan tujuan agar raja kita peduli terhadap mereka-mereka yang ditimpa penderitaan dan kekurangan makan. Begitu! Bukan malah lari. Kayak orang tidak berpendidikan aja kamu. Lari, memang, mau lari kemana? Kemana aja, yang penting jauh dari raja yang tidak becus ini. ASU raja negeri ini.
Bagaimana tidak ASU raja kita, sudah tahu negeri ini banyak yang menderita malah ngurusi diri sendiri. Dasar orang tidak punya perasaan. Raja kita sungguh bodoh. Dan sangat bodoh. Bodoh sekali. Tidak adil lagi. Aku malu memiliki raja seperti itu. Sudah bodoh. Asu.
Walau pun matahari masih setia menemani kita, waktu pun ikut berlayu dan semua kata ikut menderita, kita tinggal merasakan apa sebenarnya negeri ini yang dulunya sangat didamba-dambakan kini layu bersama rumput-rumput kering. Bersama reroncean kering. Mati. Terbakar. Terkubur. Laksana kengerian jiwa yang tak kau mengerti apa, adalah tanda keberhentian waktu. Seakan waktu berhenti, matahari tiada lagi terbit, bulan pun seakan malu menampakkan wajahnya di negeri ini. Mereka marah pada negeri asu ini. Dasar negeri bodoh. Tidak punya perasaan. Mereka yang duduk di atas adalah asu, bodoh, tidak punya perasaan. Aku tidak tega melihat mereka yang sedang kelaparan, menderita, dan kekurangan.
Ekonomi mereka pas-pasan, tidak seperti raja dan teman-temannya. Dia berlepotan uang, emas, istana yang serba cukup, tapi mereka masih saja mengambil uang milik orang lain. Dasar maling. Sementara mereka susah payah mencari nafkah, untuk sehari pun mereka tidak cukup, makan saja harus peras keringat. Mereka mati dalam mata raja dan bawahannya. Sungguh kasihan mereka harus berhadapan dengan raja asu, dan tidak punya perasaan. Dasaaaaaaaaaaaaaaar raja bodoh. Sudah memoncak kemarahanku.
Tapi, apalah daya, raja dan bawahannya sudah buta, aku dan kamu tinggal menunggu kapan penderitaan dan kekurangan ini berakhir. Aku masih saja menunggu matahari turun dan bulan menyejukkan kami, ketika kami dalam keadaan seperti ini. Malam tidur dengan alas batu, minum dengan air kran, mandi pun jarang satu minggu satu kali, setiap hari selalu lapar, belum ada yang mau di makan, entah karena kami mempunyai raja yang tidak becus atau raja kami kurang sensitif aku juga tidak tahu.
Tapi yang penting bagi kita adalah aku hidup dan makan apa adanya sudah cukup, aku tidak peduli janji-janji aparat pemerintah yang selalu kosong, kosong, dan kosong. Yang jelas bagi kami raja dan bawahannya semuanya sama, asu, bodoh, tak punya perasaan. Dasar raja tuli, buta. Aku tak peduli itu semua. Yang panting bagiku adalah. Hidup!. Terserah apa tafsirmu tentang hidup!.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan