Kematian


Oleh: Matroni A el-Moezany*

Apakah kematian itu sebuah pembatasan dalam mengahiri kehidupan ini? Apakah setiap hari kau lebih dekat dengan ketiadaan?
Kau pasti selalu menghadapi kata-kata seperti ini. Kalau kau tahu kematian tampak mengancam atau ketika kau mencintai seseorang lalu meninggal dunia. “hidup ini, menccita-citakan sesuatu yang melampaui dirimu, sesuatu yang melampaui cakrawala keabadian” “saya yang lekas mati” katamu. “apakah kau juga korban keserakahan saat dunia ini ada yang sampai saat ini masih belum selesai”, kalau kau merasa semua itu yang kau buat menyentuh keabadian dengan satu atau yang lain. Mengapa tidak berubah dan mengubah.
Kau bilang, hidup ini begitu ironis ini karena kau sebenarnya tidak pernah meminta agar kau dilahirkan, tapi katika kau dilahirkan tahu bagaimana mencintai hidup, dan kehidupannya, dan kau dihadapkan pada kenyataaan. Kau senang atau tidak kau harus menjalaninya, sebagaimana hadirmu sendiridi semesta ini. Kelahiran dan kematian yang harus dijalani akhirnya menjadi salah satu misteri bagi dirimu sendiri.
Bagiku kematian suatu kewajaran dalam hidup, mati menjadi pasangan dari hidup bagi setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian, tapi kau tidak tahu kapan sang maut itu datang. Ia datang bagaikan pencuri, menyelinap masuk lalu keluar membawa roh dengan meninggalkan jasad tergolek tak berdaya. Kematian sering disamakan dengan tragedi yang membawa banyak kesedihan, penderitaan, kerisauan dan apa namanya.
Kematian menjadi begitu dramatis, menakutkan, ketika kau terlibat dalam peristiwa itu, apalagi orang yang kau cintai. Kau akan merasakan akibatnya walaupun kau hidup di alam dimana semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami kematian, aku tidak semudah itu menerima kematian atau kematian orang yang aku cintai sebagai suatu kenyataan yang wajar.
Kau dan aku pasti merasakan kesedihan yang barang kali bagi kebanyakan orang sungguh luar biasa, melihat dan mengalami kematian ayah dan ibu, orang yang kau sayangi, orang baik yang dibutuhkan masyarakat, atau kematian yang mengenaskan dari para korban pembunuhan sadis atau bencana alam.
Apa kau mengerti, kematian itu sebuah keterpisahan dan jarak yang ditimbulkan menjadi tak terukur, tak terbatas. Semakin jarak fisik dan emosi kau dan aku, semakin tidak bisa kuterima keterpisahan ini. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar kematian itu, dengan begitu kau dan aku toh kamatian harus dan akan diterimah sebagai nasib, sesuatu yang tak mungkin bisa terelakkan, sebagaimana kahadiran itu sendiri kehidupan itu sendiri, walau kau ada upaya untuk menyikapi nasib, itu tetap tak terelakkan.
Persoalan kau selalu bertanya tentang kematian, seperti yang pernah kau bilang padaku, bertanya tentang kematian, adalah pertanyaan yang lebih dari kesangsian. Kesangsian lahir dari ketidakpastian yang menimbulkan kegelisahan. Kegelisahan pada akhirnya membawa kau kepada kecelakaan dan ketakutan. Ketakutan bagaimanapun juga merupakan kegelisahan jiwa yang tersiksa.
Aku paham bahwa kesadaran akan kematian sebenarnya cukup untuk menjadi peringatan bagi mereka. Sekarang yang menjadi masalah kamu yang menganggap hidup ini merupakan suatu keadaan yang mengandung kebaikan yang dilawankan dengan kematian yang mengandung nilai keburukan. Inilah menurutku pemahaman atas hidup dan mati hanya sekedar menyentuh batas fisik yang terpotong.
Kesadaranmu akan kematian masih berupa ketakutan. Barangkali inilah yang harus kau luruskan. Sebab kematian begiku bukanlah sebagai kemusnahan yang tanpa bermakna. Kematian merupakan tatapan mata yang sangat panjang dan berwaktu untuk berjalan menujuh taman-taman Tuhanmu. Kematian itu bisa terlihat dari pemahamanmu sendiri, badan dan jiwa. Badan suatu yang bermakna kebendaan saat datangnya kematian akan musnah. Sedangkan jiwa adalah suatu yang bermakna rohani saat datangnya kematian akan abadi, katamu pelan.
Pernahkah kau pernah bertemu dengan sang guru kematian?
”Ya! Pernah””
“Siapa”
“Aku”
“Bagaimana dalam kematian?”
Orang yang beragama kadang memberi kesan begitu kurang baik “adanya hidup sesudah mati hanya bisa kita kenal dan yakini, tanpa ada alasan lain kecuali kepercayaan nenek moyang kita, padahal minat dan keinginan semesta ini sangat tercantum waktu yang panjang”.
“Ada dengan kamatian”
Dalam kematian ada sesuatu yang hancur dan berubah menjadi sesuatu yang lain.
“Apakah itu”
Badan, jiwa, waktu, ruang, dan kamu sendiri
“Lalu! Apa yang terjadi dengan diriku?”
“Kau akan ikut serta dalam suatu keabadian yang pasti”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Kematian ini bukan suatu yang baru datang sesudah perkembangan dan sejarah menulis manusia, tapi ia unsur jiwa dari sejarah itu sendiri dan menjadi titik terakhir dari alam ini.
“Bagaiamana aku bisa memahami?”
Saat kematian itu datang, jiwa berada pada puncak kemampuannya untuk bermain dengan tuhan, sementara badan berada pada puncak ketidakberdayaan.
“Lalu! Bagaimana dengan ketakutan?”
Sesungguhnya ketakutan akan kematian hanya melekat pada orang yang tidak tahu kemana tujuan dirinya sesudah mati, bisa juga setelah jasmaninya rusak dirinya pun akan hilang.
Kemungkinan lain, alam ini akan terus lestari sedang diri sendiri sudah musnah karena ia tidak mengerti bagaimana melayani matahari ini berubah dan kembali kehadhirat tuhan. Rasa takut kepada maut hanya menghinggapi orang yang menyangka, kematian itu menyebabkan rasa sakit yang tak terperikan atau orang merasa setelah mati menerima siksa, atau orang yang merasa sedih dan menyesal akan berpisah dengan harta atau kesenangan duniawi.
Dengan bagitu kamu akan paham atas tugas hidup, bahwa kamu bukanlah sekedar makhluk jasmani yang tidak memiliki amanat hidup yang semestinya kau kerjakan justru demi martabat dirinya sendiri.
“Apa lagi?”
“Masih banyak yang tidak bisa saya sebutkan”
Yang paling penting disini kebermaknaan, keberwaktuan hidup dan kematian itu sendiri yang akan menentukan martabat kita secara keseluruhan. Baik di dunia dan akhirat.
“Lalu apakah penting panjang dan pendeknya sebuah usia?”
“Tidak penting”
“Kenapa?”
Karena bukan terletak pada hubungan waktu duniawi, melainkan apa yang kita isi pada saat rentang waktu berjalan.
“Lalu sampai kapan matahari kematian itu datang sehingga sinar maut tidak lagi menjadi sinar kepada manusia”
“Sampai datang dunia matahari yang menyinari manusia, sehingga menusia itu percaya akan ada dunai sesudah mati”
“Tapi mungkinkah suatu keyakinan kita dilenyapkan dengan cepat karena kalian hidup bergelimang harta?”
“Padahal matahari sesudah kematian terjadi menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam diri sendiri maupun dalam jiwa seseorang, kembalinya matahari nampak bermacam-macam”
Kalau dalam bahasa agama keberhasilan kamu manakala ia menggunakan hidupmu untuk semakin dekat kepada tuhan, sementara kegagalan hidupmu menakala ia bergelimang dosa. Ini bagi orang-orang yang baik dan berhasil dalam hidup yang mampu mengatasi badan bukan sebagai ukuran tujuan hidup, walaupun kematian itu sebagai kesempurnaan kita sebagai manusia.
Kau sering mamahami kamatian hanya sebatas kejadian yang tanpa makna pada manusia yang berupa tubuh menjadi mayat. Akan harus membuka mata dengan membangun pemaknaan dari jiwa itu sendiri. Jiwa ini penting untuk mengungkap tabir mesteri kematian agar keberwaktuan dan kebermaknaan sampai pada kebermaknaan tentang kematian yang bermakna.
Dikedalaman makna kematian dalam menyingkap tabir itu hanya kematianlah yang diperlukan untuk menghadirkan diri sepenuhnya dalam hidup ini. Kebermaknaan atas kematian yang benar akan menyadarkan kehidupan dunia hanyalah tahapan demi tahapan yang harus dilalui agar kembali ke rahmatatullah. Laksana kita yang pulang ke kampung halaman yang dirindukan. Disinilah makna hidup yang sesungguhnya, dimana kita menemukan makna hidup justru dengan memahami awal dan akhir hidup.
Pengertian dan pemahaman tentang kematian yang sekedar ditanggapi sebagai peristiwa yang menakutkan, mengerikan dalam mengancam keberadaan manusia semata-mata perlu dijernihkan. Sebab peristiwa itu merupakan peristiwa yang bersifat alamiah dan sesuai dengan ketentuan Tuhan sendiri.
Masih tidak percayakah engkau? Tidak masalah, aku berkata seperti itu bukan untuk dipercaya, tapi sekedar menulis untuk Tuhan, Nabi dan Malaikat. Juga aku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan