Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2009

Kata, Kata

Kubagi semua Pada danau yang bisu

Mereka

Berkata tanpa siapa Berpuisi dengan apa Jogja, 2009

Jari-Jari Malam

kurangkai kata untuk melukiskan air matamu karena gelisah lembut yang kau lengkungkan pada malam hanya sebatas lipatan senja yang belum selesai kau bagi malam telah mengusapmu basahan pipi lembut manis yang bagi kita itu hanya piluan-piluan malam yang berairmata tak lagi kuulang menjadi kata ia sudah kusimpan dalam diri untuk sejarah waktu nanti pelan-pelan aku tidurkan wajahmu dari rengkuhan tangis malam, tapi kau tak bisa mengulang lembutan malam yang begitu berarti untuk kita hingga secara tak sadar kata-kata lahir begitu saja di kertas putih dan basahan tangismu pelan-pelan lagi kuulurkan dengan lembut pada kening malam yang sudah basah mungkin karena hujan atau tangis tadi karena kegersangan sejak lama ada mengurai sejarah kata yang lahir dari gelisah panjang tiba-tiba pelanpelan itu tiada hilang entah karena ada kata yang lebih sempurna untuk menjadi wakil bahwa airmata perlu di urai

Awalnya Bicara Pada Waktu

Oleh: Matroni el-Moezany* Ini mungkin sebuah harapan yang bagi banyak orang tidak masuk akal bahkan itu hanya permainan di atas permainan. Mengapa? Yang kita harapkan menjadi sesuatu yang lain. Entah itu karena kita belum dan menyadari bahwa itu merupakan dialektika kata Hegel. Tapi bagaimana kita menyikapi itu semua? Bahwa kegelisahan akan pikiran itu tidak bisa kita hanya dengan omongan lembut dan manis, tapi bagaimana si gelisah ingin dan mau memperhentika perjalan kegelisahan waktu yang semua berada dalam gelisah itu sendiri. Bahwa kita merasakan itu gelisah atau tidak, dengan melihat sejauh mana kemampuan sensibilitas kita meraba. Sebab tidak mudah merangkai air mata dengan alunan jari-jari malam. Aku sarankan “jangan percaya kepada bangsa yang penuh dengan nuansa politik” karena dia akan menjadi harimau untuk menerkan kita semua dengan kata-kata lembutnya. Coba saja buktikan kalau kau tidak percaya bahwa itu semua benar adanya. Aku berpikir hanya untuk waktu dan waktu itul

-----Puisiku----

bila lincah malam kian ramping maka siapa pun akan melirik di celah daun biru walau di jalanan kosong begini bertaburan linang di atas pucuk malam aku bingung diri bulan kau simpan di rahasia waktumu ketika seribu tanya bersemayam hanya satu, hadirmu mungkin hanya lewat puisi kurangkai ayat-ayatmu untuk mengatakan kesunyian dan kerinduan karena malam terkungkung oleh mataku

Pendaki Ranjang Sampah

aku orang lapar yang kenyang menemaniku lewat desau luluh malam itu lapar…..! karena aku pendaki ranjang sampah sendiri bulan hujan di perataran malam risik perut menampi jagung di akasia yang patah lengkingan seruling dalam perut menyibak aliran darah melupakan malam yang larut sejentik kelaparan menyicip lubang-lubang lancip di dadaku meluap saraf perut menari oleh pekaian yang usang patah tulang patah waktu ku belajar bersamamu lewat lintasan-lintasan makna malam basah kujentali berat di wajahmu begitu berat jentilan lapar menimpaku laksana langit tak berbintang aku tak paham malam yang begitu indah sunyi dari tembang sunyi dari debu malam dengan lilit mulut bergumam angin memisau langit gemetar sentuhan lapar mengeriap harum makanan di cendana api jagung tanpa mengeluh menengadah yang jauh dalam kejauhan di sini rambut kering mengundang secercah buah yang sekedar jerih untuk kau tahu hanya itu, ya! hanya itu saja kupinta.

Batu Yang Tengadah

kereta berlaju melintasi larut malam pinggiran malioboro tumpukan rokok menyebutmu dekat batu yang tengadah malu malam bergetar bening segurat lampu sebelum tiba minggu sebelum ada embun teresap senyum purnama dan di balik tirai sepasang mata sebait air mata setenar ruh bintang menetes di rahimmu

Semakin Jauh Kita Daki

sisa matahari menyala di pundak pohon siwalan dan pohon merdu di sekujur jubahmu semua membersit hijau menjadi alur sendu atau batu segalanya memang tiada tapi kata bagi koyakan keringat rindu barang kali agar kita senantiasa mendaki dan berwaktu memikat janji dan mimpi, biarlah matahari melupakan kalam juga sunyi asalkan kita setia memisau berkenan membaca mata berdebu berapikan peluh di wajah pipi dan cakaran matahari semakin berdarah kita daki semakin teduh dan subur darahmu untuk mengukir atau terbakar

Di Dinasti Semesta

di dinasti semesta yang beku begini hanya selintas kehidupan atau serintis sayup do’a menyelinap di atas rumah siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta berkali ucap berkali kata padamu saja aku ingin dinasti itu tetap hidup ketika aku mengucap atau berkata di sana aku ingin dinasti itu kau pendengarkan padaku lewat puisimu aku ingin kau baca aroma gading yang dihembuskan kata kita kuukir di atas pasir-pasirnya

Ketika Teks Politik Menjadi Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany* Menjelang pesta demokrasi nanti, banyak iklan-iklan yang di pajang di gambar Capres, Cawapres, dan calon-calon DPR, DPRD, dan lain-lain sudah banyak menghiasi mata kita, di sepanjang jalan, itulah teks politik Indonesia, dan setiap teks mau tidak mau masyarakat kita harus membaca teks itu sendiri. Persoalan kemudian adalah tidak semua masyarakat Indonesia bisa “baca” sementara iklan parpol merupakan simbol politik untuk di tawarkan kepada masyarakat. Kiranya kita harus kembali pada sesuatu yang sempurna, dimana warna-warna keindahan dan keharmonisan menjadi semerbak para partai yang selalu menebar di seluruh pelosok desa dan bangsa yang tujuannya untuk perdamaian semua. Ketika partai-partai kita bertebaran kita selalu menemukan janji-janji, kesejahteraan rakyat, teriakan perubahan yang selalu menjadi masyarakat kita “buta” akan simbol-simbol dan teks politik tersebut. Setiap saat teks-teks politik selalu terlihat mata, di televisi, surat kabar, teks politik

Bertanyalah

ketika aku bingung kemana harus mencari ketika angin ini bercampur awan aku masih bingung aku memang bingung pada kata-kataku sendiri ketika di tengah ketiadaan kau mencari lawan kepalamu yang selalu menjadi impian dalam jeda waktu tapi, sampai sekarang bingung engkau begitu membingungkan waktu dan kata-kata entah kenapa apa karena engkau mengaku dirimu cantik atau karena engkau bisa mengusai semesta jiwamu sehingga waktu terus melaporkan kalau kau membingungkan pada saatnya kata menjadi sangat lembut berjalan bersama, duduk bersama, senyum bersama, tapi ketika aku bilang “aku ada di selatan bersama gelombang” engkau tetap mencari penggalan-penggalan kepalamu ketika senyum kelembutan ada seakan harapan membuat jembatan menuju cahaya mengalir seiring hembusan senyummu di sini aku masih bingung engkau bilang jeda pencarian sudah selesai engkau selalu bilang seperti itu selalu, selalu dan selalu sehingga kebingunganku menjadi prahara ketid

Surau Di Pelupuk Pipi

kujilati air mata pada malam bertangisan pada resah kegilaan waktu aku sendiri merelakan sejarah mengajakku berlari dalam kebelajaran diri sendiri walau cakrawala malam berkilatan sinar lampu dalam kamar mata-mata beku karena semalam air menghujani surau-surau di pelupuk pipi pagi terulang kembali surau itu penuh padahal kebermalaman kusuguhi berbagai kelembutan termasuk kata yang merasai manisnya gula dalam bibirmu Tuhan pun ikut bersama memikul resah hingga kemewaktuan terulang kembali pada detik senja keabadian Jogja, 06 Februari 2009

Adakah Kata yang Tahu

adakah kata yang tahu pertemuan antara luka yang meleleh di tepi malam dan sengkarut senja untuk mencari makan kemudian puisi bayang-bayang lahir: kuingin diriku sendiri hanya sendiri hidup sendiri berjalan sendiri dengan sendiri aku bisa ciptakan bayang-bayang bayang-bayang yang memiliki daging dan tulang Jogja, 2009

Bawalah Dengan Lembut

jangan takut engkau kalau hanya membawa celurit karena engkau tak akan pernah terluka bawalah ia dengan lembut agar tercipta kata meracau untuk semesta kelembutanku tak terusik tentang rasa dan merasakan kelembutan tidak bisa di capai dengan tangan kasar, tapi kata-kata puisi yang tergores di ruang senja menjadi tempat jantung bersangkutan dan di kirimkan ke tempat-tempat yang terbaca adakah yang tahu? Jogja, 04, Februari, 2009

Tubuh

kadang aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan tubuh ini padahal kutunggu malam panjang di matamu berkeliaran seperti engkau yang menangis dalam buta engkau bilang tubuh ini semuanya hidup, tapi mengapa engkau kadang resah dengan ini Jogja, 2009

Mengapa Malam Lebih Nyaman Cari Makan

Oleh: Matroni el-Moezany* Mengapa malam lebih nyaman mencari makan? Mungkin aku malu dilihat banyak orang, atau mungkin malu karena engkau mahasiswa? Sungguh demikian keadaanku dalam menghidupi kemandirian, sebab itu sudah menjadi tanggungjawab Hilar mengambil jalan kemandirian. Dan itu sangat sulit untuk era sekarang. “Tidak”! berteriak histeris “Hilar berteriak, aku tidak mau” “sebenarnya dalam hati Hilar hidup seperti itu bukan hal yang dikehendakinya, tapi apala daya, ini sudah menjadi lahan untuk aku garap dalam mencapai gunung kesuksesan” Senja sudah menginjak waktu yang biasa, gelap sudah mulai terasa, angin dingin sudah meringkusnya. Adzan mulai terdengar di Masjid al-Husna Hilar kemudian dengan biasanya berwudu’ shalat magrib sambil menunggu isyak kemudian shalat isya’ di saat adzan terdengar di masjid yang sama. Perjalanan pun terjadi pada diri Hilar, karena di tempat di mana dia kos, Hilar tak biasa tidur sore, tapi waktu itu Hilar tidur sore karena sangat