Mengapa Malam Lebih Nyaman Cari Makan

Oleh: Matroni el-Moezany*

Mengapa malam lebih nyaman mencari makan? Mungkin aku malu dilihat banyak orang, atau mungkin malu karena engkau mahasiswa? Sungguh demikian keadaanku dalam menghidupi kemandirian, sebab itu sudah menjadi tanggungjawab Hilar mengambil jalan kemandirian. Dan itu sangat sulit untuk era sekarang.

“Tidak”! berteriak histeris

“Hilar berteriak, aku tidak mau”

“sebenarnya dalam hati Hilar hidup seperti itu bukan hal yang dikehendakinya, tapi apala daya, ini sudah menjadi lahan untuk aku garap dalam mencapai gunung kesuksesan”

Senja sudah menginjak waktu yang biasa, gelap sudah mulai terasa, angin dingin sudah meringkusnya. Adzan mulai terdengar di Masjid al-Husna Hilar kemudian dengan biasanya berwudu’ shalat magrib sambil menunggu isyak kemudian shalat isya’ di saat adzan terdengar di masjid yang sama.

Perjalanan pun terjadi pada diri Hilar, karena di tempat di mana dia kos, Hilar tak biasa tidur sore, tapi waktu itu Hilar tidur sore karena sangat kecapean seharian berjalan. Dengan bantal guling, sasab warna ati, Hilar tidak bisa lelap hanya mata terpejam. Setelah beberapa jam kemudian tengah malam Hilar bangun dan memakai celana, kaos berjaget hijau, dan tas di belakangnya, dia berangkat sendiri tanpa ada rasa untuk mengajak aku mau pergi kemana.

“Mengapa engkau tidak bisa lelap tidur?”

“Tanyaku pelan”

“Hilar dengan nada tidak jelas menjawab tanyaku, aku tak mengerti apa maksud dari jawaban tadi”

“Dia hanya senyum manis, sambil mengambil tas di gendongnya”

Aku tak mengira kalau Hilar juga bercaka kepadaku, Hilar tak merasa kalau dirinya menjadi cermin bagi diriku dalam menahan derita dan kelaparan. Dia tahu karana aku cerita kepadanya. Dari sanalah kemudian Hilar sama-sama bercermin bersama dalam menapaki perjalanan orang-oranga besar nanti.

“Hilar” pangilku

“Apa”

“Aku yakin perjalanan kita ini adalah perjalanan calon orang-orang besar”

“Mengapa kamu begitu yakin kita akan menjadi orang sukses”?

“Melihat dari perjalanan kita dari malam siang sampai tidak mengenal waktu, sepertinya keberhentian waktu sudah terjadi kepada diri kita saat ini, sepertinya hanya kita yang selalu berjalan tiap hari di atas rel ini”

“Iya ya, aku jadi malu, di lihat penjaga rel itu”

“Tidak apa-apa kita berjalan bukan untuk mencuri, tapi di samping mencari makan, juga ingin melahirkan inspirasi”

“Benar, benar, ternyata inspirasi tidak selalu lahir dari membaca buku, tapi dengan berjalan sambil melirik tepian waktu, tepian dedauan, dan tepian rel yang begitu lurus indah kelihatannya”

“Benar sekali kamu Ron,” bilang Hilar kepada Roni

“Benar kenapa”?

“Ya, untuk menghasilkan karya kita harus berdarah-darah, berjuang keras dan berproses dengan tekun”

“Itu memang yang harus di perjuangkan oleh semua penulis Hil”.

“Karena tanpa ada semangat untuk mencari kita akan kewalahan, banyak orang belajar menulis, tapi tidak kerasan dalam dunia kepenulisan, mereka tidak memiliki tekat yang kuat untuk menjadi penulis yang sukses”

“Sebenarnya sangat sulit berjalan di ruang kepenulisan, ketika kita tidak lagi memiliki semangat yang tinggi, karena dunia kepenulisan sepertinya gampang, tapi setelah kita kerjakan ternyata jalan terjal, bukan lagi kasur yang lembut”

Senja pun mulai terlihat manja, suara qira’at di masjid sudah terdengar mesra, dinggin angin sudah mulai terasa, kelelawar sudah terlihat terbang menjangkiti buah-buah, Roni dan Hilar masih ngambil buah jambu untuk di buat rujak nanti di kos. Pelan-pelan senja tertiup angin dingin, mengira malam akan datang tepat pada waktunya, Hilar beranjak pergi, melewati jalan kereta api, sambil makan buah jambu yang baru saja di ambil dari batangnya, kita pulang.

Angin begitu kencang, begitu dingin, meliwati pinggiran sawah berair, perjalanan terus berlanjut sampai pada tempat tujuan dimana kita akan rujak.

“Gimana kita langsung rujak atau shalat magrib dulu”

“Shalat dulu” Jawab Roni

Kita berwuduk untuk melaksanakan shalat magrib, Hilar menunggui Roni, untuk shalat berjama’ah, karena bagi Hilar shalat berjama’ah lebih utama katanya, ada-ada aja Hilar, bikin shalat lebih lama. Pikirku. Setelah shalat rujak pun berjalan enak dan santai. Selesai rujak malam terlihat sepi, perut masih terasa lapar, mau beli nasi ngak punya uang, akhirnya kebiasaan berjalan malam pun terjadi, Hilar berjalan menyusuri tepian jalan melirik sisa makanan untuk meringankan perut yang lapar.

Karena sudah empat bulan tidak punya uang, sementara kita hidup harus makan, sepertinya kita laksana kelelawar yang selalu setiap malam mencari makan. Hilar berpikir, kalau saya sekarang menyusuri tepian jalan seperti kelelawan suatu saat nanti aku tidak ingin lagi seperti ini, sebab siapa yang hidup seperti Hilar yang setiap malam selalu mencari makan dari tepian malam.

Mungkin dalam benak kita, Hilar tidak memiliki orang tua, dia punya aayah dan ibu, tapi mengapa Hilar tidak minta kiriman buat makan tiap harinya. Hilar sudah berjanji tidak akan minta orang tua kalau hanya urusan makan. Karena dia sadar kalau seorang laki-laki harus mandiri, dari seluruh aspek kehidupan.

Dengan memilih dunai kepenulisan Hilar bisa membiayai dirinya sendiri.

“Terus, kenapa kamu masih mencari makan di tepian malam”

“Dunia tulis menulis belum tentu di muat, jadi kalau belum di muat aku kan ngak punya uang untuk makan, dengan terpaksa aku berjalan di tepian malam sambil cari sisa makanan”

Dunia memang sangat mulya untuk kita syukuri dan kita cari maknanya di pojok-pojok perjalanan, kadang ia hadir dengan sendiri tanpa ada perantara apa pun, kadang juga sangat sulit untuk datang, dengan begitu sulit dan gampangnya aku pun hidup dengan damai sampai sekarang, sebab hidup biasa lebih nyaman daripada ingin lebih tapi diri ini tidak memiliki apa-apa untuk mencapai keberlebihan, hanya karena tuntutan budaya atau teman kita yang mempengaruhi.

Itulah yang sangat di sayangkan Hilar dalam menapaki jalan ini. Dirinya tidak punya apa-apa, tapi inginnya berpenampilan seperti anak orang kaya. Aku sangat sedih ketika melihat kejadian itu, seru Hilar dengan melihat matahari yang mulai melewati bayangannya. Hilar selalu sedih ketika dunia masih seperti itu. Ketika generasi muda tidak lagi mau untuk belajar mandiri. Belajar melihat realitas, belajar berjalan sendiri untuk sampai di puncak gunung Gadding. Hilar sangat bersyukur karena sejak kecil hidupnya biasa, dari keluarga biasa, jadi yang ada dalam pikiran Hilar saat ini adalah kesedihan selalu menjangkiti aku, katanya.

“Aku memang tidak mengerti apa yang ada dalam pikiranmu Hil”

“Mengapa kamu bilang seperti itu”

“Ya, karena kamu aneh aja bagiku”

“Aneh, bagaimana”

“Maksudnya, masak di zaman serba persaingan ini kamu masih saja memikirkan seperti itu, kita hidup sekarang tidak peduli orang lain kaya atau orang miskin yang penting sekarang adalah perut kenyang sendiri”

“Mengapa bisa seperti itu” tanya Hilar pelan

“Ini karena adanya waktu, ini terjadi karena waktu selalu ada untuk kita kembangkan”

“Terus, kita harus membunuh waktu, begitu?”

“Tidak!”

“Lantas”?

“Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana kita menyikapi, sadar, menyadari yang kemudian lahir kesadaran dalam diri kita sendiri”

Dan kemudian kita lihat sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta. Karena dengan begitu kita akan mampu melahirkan kata-kata kecil dari batu besar yang tidak sembarang orang mampu untuk mengangkat kecuali kita sendiri, sebagai penglihat sejati di dunia.

*Cerpenis yang tinggal di Yogyakarta,

HP; 081703775741

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas