Awalnya Bicara Pada Waktu

Oleh: Matroni el-Moezany*

Ini mungkin sebuah harapan yang bagi banyak orang tidak masuk akal bahkan itu hanya permainan di atas permainan. Mengapa? Yang kita harapkan menjadi sesuatu yang lain. Entah itu karena kita belum dan menyadari bahwa itu merupakan dialektika kata Hegel. Tapi bagaimana kita menyikapi itu semua? Bahwa kegelisahan akan pikiran itu tidak bisa kita hanya dengan omongan lembut dan manis, tapi bagaimana si gelisah ingin dan mau memperhentika perjalan kegelisahan waktu yang semua berada dalam gelisah itu sendiri.

Bahwa kita merasakan itu gelisah atau tidak, dengan melihat sejauh mana kemampuan sensibilitas kita meraba. Sebab tidak mudah merangkai air mata dengan alunan jari-jari malam. Aku sarankan “jangan percaya kepada bangsa yang penuh dengan nuansa politik” karena dia akan menjadi harimau untuk menerkan kita semua dengan kata-kata lembutnya. Coba saja buktikan kalau kau tidak percaya bahwa itu semua benar adanya.

Aku berpikir hanya untuk waktu dan waktu itulah yang mejadi sasaran dalam penderitaan bangsa kita selama ini. Tapi setelah aku berlari dari kejauhan diri, hingga aku menemukan kata asing untuk kupersembahkan pada bangsa ini akhirnya juga terjatuh pada jurang waktu. Aku tidak sadar bahwa aku juga ada dalam waktu itu, tapi daripada aku di jajah dengan lembut dan kata-kata manis. Lebih baik aku bunuh bangsa ini agar kuburannnya menjadi sarang pelacuran orang-orang sepeerti saya.

Langkah awal memang tiada lain, kalau bukan hanya waktu. Waktu yang membuat bangsa kita merana berabad-abad. Mari kita baca huruf-huruf ini untuk kita awali dengan basmalah agar kuburan tadi menjadi aman dari bencana. Cukup sudah aku hargai dirimu. Cukup sudah aku rayakan dirimu. Cukup sudah aku banggakan tiangmu. Tapi aku sekarang akan pergi meninggalkan dirimu selamanya, mungkin. Sebab pada awalnya hanya untuk waktu aku berkata, karena tiada orang lain yang bisa kuajak berbicara, untuk memusyawarahkan bangsa ini ke depan. Kini aku hanya tinggal sendiri, jadi tidak ada orang yang peduli padaku, padahal aku sudah lama untuk menyerahkan bangsa ini padamu, agar kau seragamkan dalam negara lain.

Atau dengan kata lain agat bangsa ini kau jual segalanya, sebab kita sudah tidak mampu lagi memupuk keseburan bangsa ini. Atau memang akan kau jual bangsa ini, sehingga pusat pupuk dan sawet banyak kau jual pada bangsa lain. Apa memang kau tidak melihat mereka sangat membutuhkan pupuk dan lainnya. Sungguh bangsa saat ini sudah tidak memiliki mata dan kepekaan yang tinggi, hanya luas mulut tapi kecil keberanian dalam menjalankan amanat rakyat.

Apakah aku harus selalu bertanya; apa tugas seorang pemimpin bila mereka kau tinggalkan sengsara, bagaimana seandainya kau sendiri aku sengsarakan seperti mereka? Apa kau tidak menuntut? Kita memang patut untuk berperang melawan diri dan pemimpin kita. Karena kau sudah banya mengambil hak aku dan orang lain. Apa kau masih kurang menguras uang aku, sehingga pengikut-pengikutnya kau biarkan mengambil hak orang lain. Sungguh sangat memalukan bangsa ini. Memalukan sekali.

Demokrasi selalu di suarakan, tapi nyatanya. Tidak ada. Kosong. Semuanya hanya bisa bicara. Semuanya hanya bisa ngomong. Semuanya hanya bisa bergaya. Semuanya hanya bisa menghabiskan uang aku dan orang lain. Sungguh biadab kau, maaf kekasaran. Tapi tidak apa-apa bilang kasar pada orang maling dan tuli seperti itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas