Ketika Teks Politik Menjadi Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany*

Menjelang pesta demokrasi nanti, banyak iklan-iklan yang di pajang di gambar Capres, Cawapres, dan calon-calon DPR, DPRD, dan lain-lain sudah banyak menghiasi mata kita, di sepanjang jalan, itulah teks politik Indonesia, dan setiap teks mau tidak mau masyarakat kita harus membaca teks itu sendiri. Persoalan kemudian adalah tidak semua masyarakat Indonesia bisa “baca” sementara iklan parpol merupakan simbol politik untuk di tawarkan kepada masyarakat.
Kiranya kita harus kembali pada sesuatu yang sempurna, dimana warna-warna keindahan dan keharmonisan menjadi semerbak para partai yang selalu menebar di seluruh pelosok desa dan bangsa yang tujuannya untuk perdamaian semua. Ketika partai-partai kita bertebaran kita selalu menemukan janji-janji, kesejahteraan rakyat, teriakan perubahan yang selalu menjadi masyarakat kita “buta” akan simbol-simbol dan teks politik tersebut.
Setiap saat teks-teks politik selalu terlihat mata, di televisi, surat kabar, teks politik di sepanjang jalan. Sangat indah memang, tapi itu penuh makna, semuanya menghipnotis pikiran masyarakat yang terbuai dengan keinginan-keinginan. Masing saling berjanji satu sama lain, tapi setelah terpilih, realitas perubahan tiada. Lalu dimana letak janji-janji yang terletak pada teks-teks politik tersebut?
Itulah yang menjadi budaya Indonesia ketika menjelang pemilihan, iklan, janji, sesumbar perhatian terhadap rakyat merajalela, mereka saling bersaing merebut hati rakyat hanya untuk kepentingan sesaat. Kita semua menikmati karena itu semua merupakan budaya. Budaya teks politik yang menjanjikan kesejahteraan rakyat. Sepertinya kita hanya melihat baju dari pada tubuhnya. Ini merupakan kenyataan. Dari sorot luar seakan menjanjikan keharuman demokrasi untuk mencapai perdamaian bersama.
Kita tidak harus membayar artis dalam melunakkan hati rakyat, tapi teks politik saat ini memang telah berubah. Pesta demokrasi tak ubahnya konser para artis di TV-TV yang mengandalkan kata-kata dari rakyat. Rakyat hanya menjadi penonton kecerdasan para pelahir teks-teks politik. Sungguh naif, ketika kekayaan hanya di ukur dengan menghipnotis dengan teks-teks, masihkah ada harapan untuk Indonesia ke depan?
Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.
Walau pun demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam proses-proses politik. Tak adanya pembatasan dan pengawasan terhadap dana kampanye membuat partai-partai miskin jadi lemah posisinya dalam merebut hati rakyat. Selain merumuskan prosedur yang fair, teks-teks tersebut juga berjasa memberi perspektif baru atas kenyataan politik yang mereka jalankan.
Harapan kemudian semoga bunga-bunga politik tidak gugur ketika ada hujan lebat menghampiri. Sekarang kita membutuhkan pemimpin yang kuat, sehingga demokrasi tidak lagi menjadi sebuah kegagalan seperti wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks.
Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi yang memang benar-benar memperjuangkan rakyat. Apakah saat ini sesuai dengan apa yang dikatakan Derrida bahwa sebuah demokrasi yang belum eksis. Artinya demokrasi belum sepenuhnya diterapkan, tapi hanya sebatas teks-teks politik yang terbungkus kulit kacang, inilah yang menjadi pertanyaan besar saat ini.
Saat ini kita harus memiliki figur yang menyegarkan teks politik tersebut, sebab ketika kita di benturkan dengan ranah sosial kemasyarakatan, penyegaran, saya sangat khawatir teks politik menjadi hampa. Kehampaan itulah yang akhirnya bangsa kita tidak akan lepas dari cengraman tangan-tangan besi kekuasaan demokratis yang mungkin saat ini adalah awal dalam proses pencapaian itu semua, mulai dari teks yang di pasang dalam iklan partai sampai kampanye.
Jika kita melihat eksistensi politik yang terjadi pasti ada perbedaan yang cukup mencolok. Dalam iklan-iklan, kita membutuhkan penafsiran-penafsiran yang ini sangat menduduki posisi penting. Sedangkan politik berkaitan dengan kehidupan nyata yaitu masalah kenegaraan, kebijakan pemerintahan, disinilah cara kita untuk bertindak dalam pemerintahan untuk menghadapi dan menangani masalah dalam dan luar negeri.
Namun, kendati arah dan tujuannya berbeda, ternyata politik saling bersaing. Dengan ide-ide briliannya, teks politik yang seharusnya membantu dunia politik tentang bagaimana suatu negara dikelolah dan dijalankan sebaik mungkin. Selain itu, sikap “kritis” yang merupakan salah satu senjata membaca teks politik dibutuhkan dalam mengawasi segala kebijakan pemerintahan. Jadi, ketika membuat kebijakan, hendaknya kebijakan tersebut tidak diterima begitu saja, akan tetapi dikoreksi dengan sikap kritis yang objektif terlebih dahulu. Ide-ide, dan segala iklan-iklan direalisasikan dalam kehidupan nyata yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, tanpa dunia politik, ide-ide dan teks politik akan dengan sendirinya hilang dan basi karena tidak pernah digunakan.




Matroni el-Moezany*) Peneliti pada Center For Fhilosophy Islamic Education UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas