Ramadhan dan Kerinduan Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany*



Yang selalu terjadi menjelang Ramadhan, harga minyak naik, harga cabe, harga bahan kebutuhan pokok merangkak, pasar hiruk pikuk, orang-orang berjubel di pusat-pusat pertokoan, terminal penuh, bandara antri, stasiun sesak, lalu-lintas padat, tol juga naik, jalan-jalan sering macet sekian kilo dan selebihnya adalah eofuria dan komsumerisme-kapitalisme dan globalisasi.

Inilaha wajah bangsa kita saat ini yang merupakan sebuah bangsa yang mempunyai ciri khas dan satu-satunya negara yang memiliki tradisi mudik paling ramai di dunia. Hari raya di negara lain dirayakan dengan cara yang tidak sesibukan. Lebaran mungkin dimaknai sebagai nyanyian perpisahan dari parade panjang dalam menyelesaikan ibadah puasa. Seharusnya kita (orang islam) sedih atau tidak karena terlalu merasa gembira di hari raya. Sebab hari itu hakekatnya adalah perpisahan. Bukankah di awal ramadhan bahkan mungkin jauh sebelum itu, kita sering memanjatkan do’a yang diajarkan Rasul ;”marhaban ya ramadhan” itu berarti ramadhan merupakan inti pembuktian ketundukan kita dan jalan untuk masuk ke dalam keluasan samudera Tuhan. Di dalamnya ada misteri yang tak pernah dapat terkuak, terjamah, dan tersentuh sebab puasa tak dapat diukur oleh manusia, ia murni dari Tuhan.

Tetapi tidak selamanya kita bisa menikmati adanya bulan ramadhan, tapi di bulan ini juga selalu ada eforia di hari raya, itu seolah-olah ungkapan keterlepasan derita dari sebulan lamanya. Bahkan hasrat yang dikekang selama sebulan itu keluar dalam bentuk konsumerisme tanpa batas, kita lihat televisi dan anak-anak bahkan semua masyarakat yang sudah menampilkan bentuk konsumerisme tadi. Dan tanpa sadar kita melakukanya bareng-bareng. Adakah itu ekspresi ke-Fitri-an kita atau praktik kelarutan kita dalam budaya?

“Kita Kembali suci”. Kata-kata ini menegaskan bahwa ada tirai yang menutupi diri dan jiwa. Akhirnya membuat kita tak lagi bisa menatap cahaya dengan kejernihan hati nurani seperti karat yang mentabiri besi tua. Karat itu misalnya apa yang dikatakan Ahmad Tohari, menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi, meledakakn bom, menggusur rakyat miskin, mengkonsumsi barang yang sesungguhnya tak dibutuhkan. artinya, kita seringkali mengidentifikasikan diri dengan sesuatu yang lain. Akibatnya, seringkali kita menganggap liyan itu adalah ‘diri’ kita. Status, identitas, dan jabatan adalah liyan yang secara tak sadar membentuk sadar dan tak jarang itu dianggap sebagai jati diri yang sejati. Karena itu yang kadang kita sebut “aku” sesunguhnya adalah status itu sendiri, gengsi, jabatan, dan popularitas.

Kita tenggelam dalam pergantian hari itu saja, seolah-olah seperti dipaksa oleh sebuah sistem yang akhirnya dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dan natural. Tak ada ruang sedikit pun untuk menarik nafas panjang. Bagi pekerja, mungkin demikian, bangun pagi, berangkat kerja, istirahat, makan siang, kerja lagi sampai sore, pulang, macet lagi, sampai dirumah magrib akhir, capek, bangun pagi, berangkat lagi, begitu seterusnya. Rutinitas itu berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun. Semua itu tak bisa ditolak dalam kehidupan kita pada ketepatan dan kepastian ala cara kerja teknologi saat ini.

Ketenggelaman kehidupan yang demikian menjadikan kita terkikis dari dekapan spiritual. Rutinitas yang seperti itu membentuk kesadaran hampa yang terkadang juga dianggap sebagai identitas. Kesadaran yang dibentuk oleh kerutinan pasti merepresi keinginan terdalam yang biasanya disebut ”hakekat”. Karena kehidupan modern saat ini cara kerja industri melahirkan pola rutinitas layaknya mesin, yang tidak sesuai dengan kemampuan kita.

Namun, dalam ketenggelaman sebenarnya ada sesuatu yang menarik-narik untuk kembali pada diri seutuhnya. Rasa bosan kadang kita rasakan dan stress yang kerap kali hingap, itu bentuk gejala dari panggilan jiwa. Tetapi tak semua orang betul-betul mendengarkan dan memenuhi panggilanya. Bahkan tidak jarang keinginan untuk kembali pada yang seutuhnya itu, justru dimanipulasi lagi dengan mengumbar hasrat baru.

Bagi Jeques Lacan sesuatu itu adalah keinginan (the real) yang terus menerus direpresi oleh prinsip-prisip realitas. Keinginan yang direpresi itu tidak bisa hilang, sebaliknya ia terus berada dalam dunia rohani dan selalu mencari celah untuk tampil keluar. Banalitas hidup penuh dengan liyan-liyan yang hakekatnya bukan diri yang otentik, tetapi secara tidak sadar dipandang sebagai sesuatu yang natural. Hasrat konsumerisme, berangkat dari kelarutan dalam hasrat sebagai cara menambal identitas yang bocor akibat ketenggelaman diri pada rutinitas. Konsumerisme terjadi bukan barang yang dibeli karena dibutuhkan, tetapi barang itu memberi identitas terhadap diri kita. Kalau kita kembali pada fitrah hakekatnya adalah kembali pada diri yang seutuhnya dengan membiarkan balutan hasrat palsu.



Kampung

Kita sangat rindu pulang kampung. Dalam konteks Idul Fitri, kampung, bukan satuan teritori geografis administratif. Ia mengandaikan wilayah imajiner yang menyimpan moment-moment penting dalam hidup seseorang. Keakraban, kekeluargaan, kebersamaan, keramah-tamahan, jalinan kesadaran dan ruang-waktu tertentu diikat oleh peristiwa khusus. Kampung adalah rahim yang mangasuh, membimbing, dan menyulam diri dari awal kehadiran di dunia. Karena kampung hidup di alam jiwa.

Nuansa kampung mengibaratkan sebuah budaya eksistensial bagi kita. Alam kampung akan terus hidup seiring perjalanan kehidupan kita. Sebab nuansa kampung tidak sewaktu-waktu dapat diulang lagi. Moment budaya tersebut hilang ketika seseorang pergi meninggalkan kampungnya. Namun keinginan untuk merasakan kembali nuansa budaya tidak akan lenyap walau kita pergi jauh. Fantasi kehidupan kampung yang mengasuh dan membimbing akan selalu mengiringi dan membangkitkan keinginan untuk pulang. Hasrat untuk kembali inilah yang menggerakan kita untuk mudik di hari lebaran.

Mudik memperlihatkan migrasi manusia dalam jumlah besar dari satu tempat ke tempat lain, sama dengan proses perjalanan untuk kembali menemukan rasa yang hilang. Kehidupan kota yang bertumpu pada modernitas bagitu digdaya menggerus kesadaran jiwa dengan segala bentuk hasrat yang ditawarkan. Seseorang yang meninggalkan kampung lantas pergi ke kota, misalnya, ia akan pergi untuk kuliah ke negeri lain. Menjadi orang akademis dan metropolis berati merepresi ke-kampung-an. Hingga sampai pada tingkat tertentu tak jarang orang lalu menjadi asing dengan dirinya sendiri. Karena hasrat seperti itu dijalankan sebagi dirinya. Namun kesadaran kampung halaman tidak hilang. Ia terus hidup dan membuat seseorang rindu budaya kampungnya.

Jika secara sosiologis mudik berarti proses perjalanan menemukan budaya dengan kampung-halaman, maka secara religius puasa adalah proses perjalanan menemukan kampung penyatuan eksistensial dengan Tuhan.

Kerinduan budaya secara metaforis, merupakan sebuah kampung yang berarti ekspresi kerinduan setiap kita untuk kembali kepada “aku” yang sejati. Puasa sebenarnya adalah upaya membersihkan diri (tazkiyatunnafs) dari kehampaan makna yang memalingkan kita dari suara hati. Sehingga segala ucapan dan perbuatan seringkali bertentangan dengan rasa keadilan, nilai kejujuran, dan prinsip kemanusiaan yang holistik-universal. Idul Fitri berarti kembali kepada kampung penyatuan eksistensi dan kembali mendengarkan suara hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani