W.S. Rendra Bagi Kebudayaan Kontemporer

Oleh: Matroni el-Moezany*

Mak, bukan kematian yang menggetarkan hati, tapi hidup yang tak hidup.
Begitulah sepenggal puisi Rendra yang saat ini bahkan kapan pun masih menjadi wajah perkembangan sastra Indonesia, sebagai penyair yang di kenal si buruk Merk ini sudah mengehbuskan nafas terakhir. Dalam hidupnya dia terus-menerus memperjuangkan sastra karena Rendra mengangap sastra kita masih melempem dan Indonesia belum peduli terhadap kesusastraan.
Rendra yang menganggap sastra sebagai pemberontakan terhadap nilai-nilai kehidupan yang dianggapnya mandheg, dan pembaruan nilai-nilai sosial sebagai antisipasi terhadap kebobrokan sosial. Demikian juga gagasan urakan yang ditawarkannya menjadi bermakna di tengah nilai tradisi Jawa yang hanya mementingkan tatakrama dan sopan santun tanpa mengindahkan pemahaman dialektis dari penggunanya. Fungsi nilai tradisi harus terus dipertimbangkan, agar berperan memperkaya sehingga tetap berada di dalam dan di luar kekuatan tradisi tanpa harus kehilangan keduanya.
Rendra sebagai sosok yang rendah hati, sederhana, tidak serakah, dan lemah lembut adalah orang ciri nomor satu di Indonesia. Dalam hal ini Willybrordus Surendra Broto Rendra yang saat ini sudah tiada. Sastrawan dan budayawan Indonesia merasa kehilangan. Rendra sebagai sosok penyair Indonesia sepanjang masa. Jadi membaca Rendra dan sumbangan kebudayaan berarti membaca kehadiran jiwa zaman.
Pemberontakan dan pembaruan Rendra melalui sastra sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Karena, pemberontakan terhadap nilai-nilai kehidupan yang dianggapnya mandheg, dan pembaruan nilai-nilai sosial sebagai antisipasi terhadap kebobrokan sosial benar-benar diperjuangkan oleh Rendra. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah adakah sosok Rendra baru yang benar-benar memperjuangkan sastra tanpa intevensi politik atau sastrawan berpolitik.
Walau pun Rendra sudah pergi menemui Tuhannya, tapi kata-katanya tak akan pernah mati untuk kita dan dunia. Sebab seseorang bisa hidup selamanya hanya dengan kata-kata. Ketika seseorang bisa meluangkan waktunya untuk menuliskan kata-kata, dia pasti akan dikenang oleh semesta, seperti Mbah Surip yang meninggal kira-kira satu minggu setelah Rendra meninggal, Goenawan Mohamad, dan banyak sastrawan yang meninggal hanya jasadnya saja, tapi kata-katanya masih mengisi ruang dialektika sastra Indonesia.
Rendra pun demikian, dengan bengkel teaternya “Mini Kata” misalnya di tahun 1968 mampu mengubah bentuk pertunjukan teater di Indonesia ke arah pembaruan. Peristiwa sosial dan politik yang terjadi di Indonesia memberi inspirasi yang sangat kuat pada hadirnya “Mini Kata”. Demikian juga bentuk-bentuk estetis yang bergejolak di Amerika tahun 1960-an memberi rangsangan yang luar biasa bagi kehadiran “Mini Kata” di Indonesia.
Begitulah satu bentuk kepedulian Rendra atau sastrawan kita untuk eksis dalam mempernalkan sastra Indonesia di mata dunia. Bentuk ini merupakan suatu usaha penyadaran akan keterbatasan dunia verbal, yaitu sebuah kehendak puisi untuk menghindarkan diri dari kecerewetan kata-kata dan sedapat mungkin untuk langsung menggambarkan suatu situasi dan kondisi masyarakat dunia.
Dengan Bengkel Teater menjadi suatu "kantong budaya" yang berhasil menampilkan suatu gagasan-gagasan alternatif yang mudah diterima anak-anak muda. Dan saat ini, dibutuhkan suatu bentuk organisasi yang lentur, tempat saling belajar dan berdialok, dan memandang setiap persoalan dengan beragam dan berbeda pendekatan.
Ilmu kelakone kanthi laku, yang berarti pengetahuan hanya tercipta karena praktik dalam keseharian. Hal tersebut selaras dengan cita-cita Bengkel Teater, yaitu belajar mengolah daya hidup dan daya cipta. Guru spriritual Rendra, Janadi, mengatakan padanya bahwa sumber dari ilmu adalah alam dan kehidupan. Oleh sebab itu, Rendra mengharapkan anggota Bengkel Teater yang belajar dengannya menghormati dan menjaga sumber ilmu mereka, yaitu alam dan kehidupan. Bahwa alam dan kehidupan memberi banyak inspirasi bagi seniman untuk mempertahankan daya hidup dan memperkaya kreativitas. Selanjutnya datang pemain lain. Putu Wijaya, Sardono Kusumo masuk, diikuti kemudian oleh Amak Baljun, Chaerul Umam, dan Titik Broto. Kelompok menjadi 10 orang. Kelompok inilah yang dianggap sebagai generasi kedua Bengkel Teater.
Bengkel Teater merupakan kelompok teater yang memiliki karakter Yogyakarta dengan latar keragaman suku dan budaya. Di Yogyakarta, orang-orang yang tidak berasal dan Yogyakarta mendapat kesempatan yang sama dengan warga asli Yogyakarta untuk mengembangkan kemampuan diri dan mengungkapkannya melalui beragam bentuk eskpresi, termasuk kesenian. Mereka mengalami penggodogan bersama menjadi sesuatu yang "beraroma" Yogyakarta. Beberapa anggota Bengkel Teater membuktikan hal itu. Azwar A. N. dari daerah Minang, Rendra, Moortri Purnomo, Bakdi Soemanto, dan Sardono W. Kusumo dari Solo, Chaerul Umam dan Amak Baljun dari Pekalongan, dan Putu Wijaya dari Bali.
Mereka menyadari bahwa Bengkel Teater adalah suatu institusi yang mengabdi kepada satu cita-cita dan memiliki ikatan kewajiban seperti yang dikatakan Putu Wijaya bahwa Mereka hidup dalam keseniannya sebagai manusia individu yang merdeka.... Sikap seperti ini membuka kesempatan untuk beridea, berbuat, berlaksana yang lebih segar dari pengulangan-pengulangan dan klise yang selama ini mereka lakukan.... Mereka adalah anak-anak muda dari generasi a gogo yang suka musik Beatles, rambut gondrong, ngebut, film film Janggo, dan bercinta. Tetapi mereka dalam saat yang sama suka pula secara keranjingan terhadap musik rakyat dari Joan Baez. Jali-Jali, kisah-kisah pewayangan, Toshiro Mifune, teater Bali dan berfilsafat....
Dengan melihat bagaimana Rendra dalam hidupnya diabdikan pada perkembangan seni dan sastra, tapi lagi-lagi adakah seniman yang bisa bersikap seperti Rendra dan Mbah Surip sementara dunia menuntut kita selalu ikut bersama dalam menyebarkan globalisasi dan kapitalisasi, sangat sulit sekali menghindari orang-orang seperti itu, karena bagaimana pun kita tetap lemah dan mudah terpengaruh walau akhirnya juga menyadari, tapi setidaknya ada respon kontekstual agar tidak terjebak oleh kata-kata globalisasi dan kapitalisasi.
Rendra sebagai sastrawan yang banyak orang mengangumi kata-katanya sehingga tak mudah lupa bahwa Rendra adalah sastrawan Indoanesia sepanjang masa. Dan kita patut mencontoh dan membaca seperti apa proses kreativitas, spritualitas dalam menuangkan karya-karnyanya. Artinya spritualitas bagaimana pun sangat penting sebagai pelengkap untuk melahirkan karya-karya fenomal seperti penulis-penulis dunia salah satunya Rendra.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani