Minimnya Strategi Membangun Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany*

Agar Indonesia lebih bermoral dan bermatabat maka harus jelas strategi dalam membangun budaya. Sehingga masalah koruptor tidak lagi membudaya dan selalu menjadi topik aktual untuk diwacanakan. Saat ini yang menjadi masalah bukanlah departemen kebudayaan dan pariwisata dipisah, tetapi sampai sejauh mana pemerintah memiliki kepekaan terhadap kebudayaan yang kemudian dianggap penting dan para pelakunya diberi ruang untuk bekerja.
Kebudayaan kita selama ini hanya dipahami secara sempit sebagai seni atau produk kesenian ansich, bukan sebagai tata nilai dalam bertindak, berpikir, bekerja, dan membangun sosial kemasyarakatan. Jadi tidak heran kalau sampai detik ini masyarakat tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam membangun kebudayaan. Sebab masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang bisa menghargai bangsanya, tapi bagaimana mungkin rakyat kita bisa menghargai sementara pemerintah sendiri terlihat minim mengurus kebudayaan.
Kita berharap pemerintah ke depan harus memperhatikan persoalan kebudayaan secara lebih serius dan sistematis, sehingga bangsa ini menjadi lebih beradab dan bermartabat di mata dunia. Nyatanya pengabaian terhadap masalah kebudayaan telah membuat budaya korupsi merajalela di Indonesia. Saya yakin kurangnya keseriusan pemerintah membangun budaya merupakan tanggapan terhadap beberapa ciri dan fenomena kemasyarakatan yang lebih luas. Tergusurnya nilai-nilai budaya sampai pada batas buruk yang mengusahakan kebudayaan dengan sendirinya lahan budaya menjadi sempit, di tambah lagi minimnya perhatian pemerintah atas budaya itu akan tercipta masyarakat yang termarginalkan dari realitas sosial.
Namun sayangnya, masih banyak pejabat kita yang duduk di sana (departemen kebudayaan) tidak mengerti betul tentang kebudayaan dan peranan penting kebudayaan terhadap rakyat dan perkembangan negara. Ke depan, mutlak harus orang yang ngerti dan memiliki kemampuan dan pengalaman tentang kebudayaan yang harus diberi tanggungjawab penuh mengurus kebudayaan. Dan yang paling penting bukan koruptor atau calon koruptor. Sebab budaya bukanlah sarangnya orang yang serakah, tapi budaya merupakan ruang orang-orang bermoral dan bermartabat dan siap mengabdi terhadap rakyat.
Sampai saat ini, pemerintah belum mengurus kebudayaan secara benar. Kebudayaan hanya didegradasi hanya pada kesenian semata. Padahal aspek kebudayaan jauh lebih holistik-universal, seperti menyangkut nilai, martabat, etika, dan banyak aspek lainnya. Sementara kita tidak pernah serius membangun keindonesiaan sebagai strategi membangun kebudayaan nasional. Padahal kita tahu bahwa dengan jalan budaya kita akan membuat bangsa ini lebih beradab dan bermartabat.
Kita harus merebut ranah-ranah kebudayaan. Ruang-ruang publik tidak harus “disita” dan kemudian berubah wujud menjadi pusat-pusat perbelanjaan, karena tantangan kita ke depan adalah globalisasi.

Perlunya Strategi Budaya

Selama ini, pemerintah terkesan membuat program dan menjalankan proyek sendiri-sendiri. Pada sisi lain, program-program masyarakat, seperti Karnaval Jember, pekan film independen di Yogyakarta, komunitas animasi, maupun galeri-galeri perorangan di berbagai kota di Indonesia, tumbuh dengan kekuatannya sendiri. Ke depan, pemerintah harus lebih memberdayakan program-program yang selama ini tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Kematian strategi budaya tersebut, baik strategi nilai-nilai maupun strategi produktivitas, dan kreativitas karena tidak adanya peta kebudayaan yang jelas, khususnya peta industri kreatif di masyarakat. Banyak orang berkumpul dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, tetapi itu muncul sendiri, tanpa ada perhatian, apalagi pemberdayaan dari pemerintah. Kalau pun ada, sifatnya hanya dijadikan proyek semata, seremonial belaka. Hilangnya strategi budaya itu, kemudian hanya memunculkan kepermukaan sekadar data ekonomi, angka-angka kosong.
Kita justru harus mengusulkan pembentukan kementerian multikultur yang bagus, seperti di Kanada. Perlu ada transformasi tata nilai dan produktivitas yang kemudian menjadi nilai tradisi yang produktif. Karena bagi kita Indonesia yang sejak lama menjadi sasaran perhatian budayawan untuk menjadi “dirinya sendiri” dalam budaya tidak kandas di tengah jalan. Peta budaya modern yang menyimpan banyak kondisi manusia, masa lampau dan kini, harus menciptakan peta dan strategi budaya ke depan sebagai logos kekayaan Negara.
Menggilanya watak kultur politik di Indonesia, semakin banyak orang yang terjebak kebanyakan, sebagai orang tanpa jabatan politis-birokratis untuk turut berebut “sisa makan” kekuasaan entah alasan ideologis atau sekedar pengganjal perut. Fenomena ini mungkin menjadi tergusurnya budaya kita di tengah gencarnya kelahiran teori budaya sebagai alat analisis untuk menyempurnakan epistemologi yang tak rampung-rampung diperbincangkan.
Berjuta-juta potensi budaya yang kita miliki bukan hanya sekedar sebagai penambah keberagaman bangsa, tetapi sebagai estetika cara bertindak dan berpikir mengolah dan meramu budaya kita ke depan sehingga memberikan mamfaat yang jelas terhadap perkembangan bangsa.
Membangun kesadaran kolektif dalam budaya bukanlah hal yang muda, untuk itu kita membutuhkan pakar-pakar budaya yang memang serius ingin membangun budaya, mulai dari sesuatu yang terlihat maupun yang tidak tampak dan berkelindan setiap hari di sekitar kita.
Kecelakaan yang memalukan adalah ketika entitas pelaku budaya larut dalam aksi politik “murahan”, mendukung atau menolak seseorang untuk “menjadi” atau menduduki jabatan politis. Memang luar biasanya pengaruh pragmatisme politik, hingga menyeret institusi pengembang estetika ke ranah perebutan kekuasaan, apa lagi yang hanya sekedar “mendukung”.
Dengan terlihatnya minimnya perhatian terhadap budaya, kita membutuhkan sebuah alternatif baru dalam mencari solusi. Indonesia harus mampu menjadi cermin dalam upaya perlindungan budaya terhadap ekspresi budaya tradisional. Untuk itu, kebersamaan dalam memules, menyempurnakan, dan memperjuangkan budaya sendiri khususnya yang memiliki kepedulian, baik ide, rasa dan kepekaan sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya Indonesia. Sebab tanpa ada kebersamaan kita akan lemah, karena di luar sana lebih banyak mereka yang menentang kita daripada memperjuangkan. Maka mari kita membangun konsep kebersamaan dalam diri kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani