Hilangnya Para Pendo’a
Oleh: Matroni Musèrang*
Di tengah
terpaan kritis kemanusiaan dan ketaladanan yang terus meroket yang ditandai
dengan anak-anak remaja yang amoral, pembunuhan, seks bebas, minum-minuman
keras, dan game online-ofline. Di tengah kesibukan itu, dibutuhkan keseriusan
dalam mendidik dan mendoakan siswa dan santri (anak didik) agar mereka tidak
menjadi penerus bangsa yang gagap tanpa ahlak, ilmu dan pengetahuan yang
memadai. Untuk memperoleh ilmu tentu dibutuhkan kesungguhan yang disiplin dalam
membaca dan belajar. Bagaimana mungkin anak didik akan serius ketika bangun
tidur yang dibaca ada WA, Facebook, Instagram bahkan langsung main game.
Ketika saya
jalan-jalan ke Legung saya melihat anak kecil kelas 1 MI/SD yang sibuk main
Game, belum di balai desa yang sudah disediakan wifi. Logika anak didik ketika
memegang android adalah mainan, dalam hal ini game ofline dan online. Ketika
android menyediakan berbagai game lantas kapan ada waktu untuk membaca dan
belajar apalagi menulis. Bila keseharian anak didik di isi dengan kesibukan android
maka kemerosatan nilai-nilai spiritual akan menipis, oleh karenanya masuk akal
jika di pesantren para santri dilarang membaca android. Bukan lantas saya
membela santri, sebab kadang santri lebih para ketika liburan pesantren.
Ketika anak
didik, dibiarkan secara spiritual, maka jelas akan berdampak pada perkembangan
spikologi anak yang gersang, tanpa moral, tanpa kesadaran dan tanpa rasa. Oleh
karena itu, doa dalam hal ini menjadi penting di tengah-tengah kritis dan
ketidakpedulian. Lalu siapa pendoa itu dalam hal ini, mari kita refleksi
bersama dalam tulisan ini.
Salah satu
produk dari krisis kemanusiaan ia hanya mengaji ke Youtube, google, Qur’an
terjemahan dan fikih terjemahan, itu adalah adanya aksi bela Islam, aksi bela
agama, dan sederet aksi-aksi keagamaan bermunculan di Negara yang mayoritas
sudah jelas-jelas beragama. Apa yang salah dari keberagamaan masyarakat
Indonesia? Sehingga harus diagamakan kembali?
Oleh karena itu,
semakin canggih teknologi maka semakin canggih kegersangan spiritual anak didik,
di saat kegersangan spiritual anak didik semakin tandus, yang dibutuhkan tiada
lain yaitu air yang membasahi kegersangan itu sendiri atau dengan bahasa lain
kesejukan yang mampu menimalisir kegersangan itu. Jika tanah gersang tentu ia
membutuhkan air, tapi Jika spiritual anak didik mengalami kegersangan tentu hanya
para pendoa yang mampu memberikan air. Air dalam hal ini sebuah manifestasi
dari kesejukan atau spritualitas yang mendalam dari anak didik dan para pendoa.
Jadi kalau
boleh saya katakan, anak didik kita dewasa ini mengalami dua hal, pertama
krisis keteladanan dan kedua krisis spiritual. Bukti nyata krisis keteladanan
yaitu anak didik tidak memiliki figur guru yang segani, mengapa guru datang ke
madrasah “hanya” untuk mengisi absen dan ngajar, itu saja, kalau ada aturan
pengawas di tanyakan RPP dan RPS di jawab ada, walau tidak membuat. Mengapa hal
ini bisa terjadi karena tuntutannya hanya laporan tertulis dan jamnya sesuai
aturan walau kadang fiktif.
Artinya jangan
kemudian guru menyalahkan anak didik yang kebanyakan tidak serius belajar dan
membaca, karena tidak adanya keteladanan dari guru yang juga rajin membaca dan
menulis. Guru seharusnya belajar di rumah sehingga ada kreatifitas untuk di
sampaikan kepada anak didik, sehingga tidak menoton, kemudian turun gaji
bulanan. Lantas gaji bulanan itu turun untuk apa? Padahal kita tahu gaji
bulanan itu untuk membayar pendidik, sementara pendidiknya tidak serius dalam
belajar dan mengajar. Dampaknya guru dan anak didik mengalami krisis spiritual.
Maka krisis itu
harus diselesaikan dengan para pendoa. Doa dalam KBBI jilid V bermakna permohonan
(harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Pen-doa adalah orang yang mampu memohon,
berharap, meminta dan memuji Tuhan. Siapa yang punya kemampuan berdoa seperti itu?
Dalam hal ini saya susah sekali menjawab, tapi aku harus menjawab walau dengan
hati yang cukup berat.
Yaitu “kiai
kampung”, yang memiliki tradisi mengajar tanpa pamrih, hidupnya bertani, selalu
bersyukur, kalau diberi uang justeru menangis, setiap malam bangun dan shalat
kemudian menangis berdoa kepada Tuhan agar anak didiknya menjadi anak didik
memiliki ilmu yang bermanfaat, bahkan berpuasa hanya agar anak didiknya benar-benar
menjadi manusia yang bermanfaat kepada dirinya, keluarga, dan bangsa.
Artinya bisa
dikatakan bukanlah kiai yang hanya menjadi legalitas salah satu calon. Kita
tahu bahkan dapat dipastikan setiap pemilihan pemerintah baik pusat maupun
daerah di sana ada banner-bannar ada gambar calon dan kiai pendukung, artinya
kiai di bannar hanya legalitas sekaligus penegas. Ketika kiai menjadi legalitas
calon yang dipampang tentu sedikit banyak akan mengurangi karisma
ke-kiai-annya. Seolah-olah jika tidak mengikuti gambar ada kiainya ia tidak
taat pada kiai. Kalau ini yang terjadi bahaya, sebab itu bukan wilayah taat dan
tidak taat, itu wilayah politik, dan di dalam ranah politik setiap kita punya
hak politik. Di sinilah penting anak didik memiliki ilmu politik agar paham
mana wilayah agama dan mana wilayah politik.
Apakah pendidik
tidak bisa menjadi pendoa? Sangat bisa, jika pendidik itu benar-benar memiliki
keikhlasan untuk mendidik tanpa ada perasaan dalam hati aku ngajar agar gaji
bulanan turun. Gaji itu jelas turunya, mengapa harus dipikirkan. Seharusnya
yang belum jelas yang harus dipikirkan seperti ilmu dan masa depan anak didik. Maka
di sini dibutuhkan kesungguhan dari pendidik agar benar-benar mendidik bukan
hanya yang sifatnya material, akan tetapi immaterial juga. Mempuasakan anak
didik, mendoakan anak didik tengah malam, istighasahkan anak didik, kirimin
fatihah untuk anak didik, dan kerja-kerja spiritual yang lain yang dikhususkan
kepada anak didik.
Kalau pendidik
sudah melakukan demikian, insya Allah anak didik tidak banyak yang melanggar
moral, melakukan seks bebas, minum-minuman terlarang, main perempuan, dan bunuh
diri. Semoga para pendoa tidak benar-benar mati terkena covid19. Amin.
*penulis yang sedang gelisah
Komentar