Pancasila: Jawaban Problem Kebangsaaan
Oleh: Matroni Musèrang*
Saya kecewa
jika ada manusia Indonesia menganggap Pancasila itu kuno. Mengapa? Minimal ada dua
alasan mengapa Pancasila di anggap Kuno oleh sebagain manusia Indonesia pertama karena kita tidak mau belajar
atau mengupdate ilmu dan pengetahuan yang kita miliki selama ini, sehingga
mengkontekstualisasikan nilai-nilai Pancasila tidak mampu. Kedua adanya
pembiaran untuk tidak belajar, membaca dan memahami Pancasila, sehingga
Pancasila dianggap tidak mampu menjawab problem bangsa.
Dua
alasan inilah yang menjadi pemicu lahirnya radikalisme di Indonesia, meskipun
saya sendiri tidak sepakat dengan istilah radikal, makna radikal adalah akar,
berarti berpikir sampai ke akar-akarnya, berpikir mendalam. Andaikan pohon kita
bukan hanya melihat buah, daun, ranting dan batangnya, akan tetapi kita juga
harus berpikir mengapa daun, ranting dan buah bahkan pohon yang tinggi besar
mampu menahan terpaan badai itu karena akar yang kokoh. Artinya istilah
radikalisme agama tidak pas atau tidak cocok, yang pas itu pendangkalan
pemahaman agama atau ekstremis.
Sependek pemahaman
saya, jika seseorang mendalam memahami agama, pasti tidak tidak akan fanatik, tidak
akan membenci aliran lain, tidak akan merusak dan menganggu orang lain. Sama
halnya juga ketika kita memahami Pancasila dengan baik dan mendalam, maka kita
tidak akan mengatakan bahwa Pancasila itu Kuno. Saya menyesal ketika ada
mahasiswa (kompas/11/12/19) menganggap Pancasila itu kuno. Ini jelas mahasiswa
itu tidak pernah mengupdate ilmu dan pengetahuan, paling-paling update status
FB, Instagram, Twitter dan lainnya.
Padahal
progres keilmuan sebagai mahasiswa berusaha sekuat tenaga untuk selalu
memperbaharuai ilmu dan pengetahuannya agar paradigmanya tidak kadaluarsa. Bagi
mahasiswa yang memiliki tradisi membaca yang kuat tentu tidak akan mengatakan
Pancasila itu kuno, mengapa Pancasila itu bukan benda mati yang tidak. Pancasila
itu hasil ijtihad para tokoh agama dan bangsa, sehingga masih terbuka kran
untuk terus dibaca dan ditelaah sebagai referensi untuk mencari solusi problem
kebangsaan.
Yang sekarang
lagi trend yaitu ekstremis dengan berdalih dalil dan simbol ayat-ayat agama. Bagi
orang yang tidak mendalam memahami agama, maka kita akan mudah terjebak bahkan terpengaruh
oleh doktrin dalih dan dalil serta ayat agama, tapi bagi orang yang mendalam
memahami agama, maka sebaliknya, kita tidak akan mudah terjebak dengan dalih
dalil adan ayat agama yang dijadikan simbol untuk membenci yang kemudian menjadi
orang yang gampang menjustifikasi orang kafir dan darahnya halal.
Hidup di
Indonesia dengan fondasi Pancasila tentu kita sebagai warga negara yang baik akan
memiliki inisiatif untuk terus belajar memahami Pancasila. Kalau kita menyadari
sebenarnya Pancasila merupakan rumah kita bersama. Siapa pun boleh masuk dan
dari mana pun tamu datang pasti di terima, sebab Pancasila sebuah rumah
inklusif bagi tamu. Sebagai tamu yang baik, maka menghormati tuan rumah merupakan
syarat bagi kita untuk nyaman berada di rumah. Artinya ada nilai etika dan
akhlakul karimah bagi kita semua, baik tamu maupun tuan rumah.
Berarti
Pancasila merupakan sebuah nilai universal yang masih membutuhkan sentuhan
pikiran-pikiran kritis mahasiswa dan warga negara agar tidak lagi muncul
Pancasila itu kuno atau jadul. Untuk menjawab ekstremis agama kita tahu bahwa
Pancasila memiliki nilai dan fondasi persatuan serta nilai dan fondasi kesatuan
yang didalamnya mengandung ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Kandungan nilai itu tidak akan terkuak dan terlihat jika kia masih menjadi
manusia Indonesia yang ekslusif paradigmanya. Maka dibutuhkan dialog dan
dialektika keilmuan agar fanatisme agama yang memunculkan Pancasila kuno itu
tidak terjadi lagi bagi mahasiswa dan warga Negara.
Mengapa demikian, karena Pancasila memiliki sifat
dasar yang mutlak bagi warga negaranya misalnya Siapa yang Berketuhanan yang Maha Esa, Siapa yang Berkemanusiaan yang Adil dan Beradab, Siapa
yang Berpersatuan Indonesia, Siapa yang Berkerakyatan, Siapa yang Berkeadilan,
maka jawabanya adala manusia Indonesia.
Maka sebagai manusia Indonesia yang berfondasi Pancasila maka tanggugjawab kita
adalah menjadi manusia yang berkebudayaan Indonesia, beragama Indonesia dan
bernegara Indonesia. Bukan dibalik
berkebudayaan arab, beragama arab, dan bernegara arab.
Itulah seharusnya etika manusia untuk Indonesia dan
menghormati Pancasila sebagai tuan rumahnya dan sudah memiliki bendera sendiri.
Oleh karenanya ini sesuai dengan pendapat ulama dan tokoh agama yang memiliki
pemikiran inklusif misalnya K.H Hasyim Asy’arie bahwa agama dan nasionalisme
adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari
agama dan keduanya saling menguatkan. Menurut KHR. As’ad Syamsul Arifin bahwa
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, harus ditaati, harus
diamalkan, harus tetap dipertahankan, dan harus dijaga kelestariannya.
Sementara menurut K.H Ahmad Shiddiq bahwa Pancasila dan Islam adalah hal yang
dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan
dipertentangkan. Menurut Gus Dur Pancasila bukan Agama, tidak bertentangan
dengan agama, dan tidak digunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Dengan demikian Pancasila jelas-jelas berlandaskan
Tuhan Yang Maha Esa, berlandaskan Kemanusiaan, berlandaskan Persatuan, berlandaskan
Kerakyatan, berlandaskan keadilan, kalau dasar-dasar ini sudah jelas masihkah
kita sebagai pembelajar akan mengatakan Pancasila itu kuno? Apakah tidak sama
kita mengatakan Tuhan itu kuno, kemanusiaan itu kuno, persatuan itu kuno,
kerakyatan itu kuno, keadilan itu kuno? Jadi mari kita jangan berhenti belajar
membaca dan memahami isi Pancasila, agar kita tidak terjebak dengan orang-orang
yang mau menghancurkan Pancasila dengan dalih dalil dan ayat Tuhan. Semoga kita
diberi kekuatan daya kritis dan daya spiritual untuk memahami Pancasila.
*Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewargenegaraan
STKIP PGRI Sumenep
Sumber: Radar Madura, 30 Januari
2020
Komentar