Dialog Perdamaian: Dari Sumenep Untuk Nusantara
Oleh: Matroni Musserang*
Menjadi manusia yang merasa paling bodoh itu lebih
mulia
Daripada menjadi manusia yang merasa paling pintar
Malam Jumat
adalah malam yang berkah bagi manusia yang ingin mengaji dan belajar. Malam itu
Ruang PC yang megah penuh orang-orang yang haus akan ilmu dan pengetahuan untuk
mengaji tentang perdamaian dari Dr. Hadi Soyono dari Yogyakarta dosen UAD dan
Kiai Halimi. Acara dibuka dengan dhamar ate dengan musik menyegar pikiran dan
jiwa.
Acara yang
diselenggarakan Lesbumi Pengurus Cabang Nadhlatul Ulama Sumenep 18 Juli 2019 di
Aula PC NU Sumenep menjadi penyegar bagi kita bahwa ternyata perdamaian sebenarnya
memiliki potensi konflik yang luar biasa, jika kita tidak mampu mengolah. Cara
untuk mengelolah kita dituntut untuk memiliki daya kritis terhadap fenomena
sosial. Menurut Dr. Hadi Suyono, perdamaian yang demikian sangat mahal, sebab
harus ada konflik terlebih dahulu. Mengapa tidak kita mengelolah sebelum
konflik? Salah satu cara untuk menciptakan perdamaian adalah guyub, guyup
merupakan ciri khas Nusantara dan tidak ditemukan di kota modern. Hadi
mencontohkan orang-orang kampung pasir yang selalu kumpul di halaman dengan
beralaskan pasir sambil ngobrol apa pun.
Syarat
perdamaian adalah menyapa kata Hadi. Seperti semut yang setiap kali bertemua ia
selalu menyapa. Hari ini manusia sedang disibukkan dengan mengumpulkan
kebutuhan dunia, sehingga tidak ada sejenggkalpun untuk menyapa sesama. Apalagi
kita dituntut untuk maju dan berjalan lebih cepat karena alasan kemajuan ilmu
dan teknologi. Karena tuntutan inilah sehingga manusia lupa makna esensial
kemanusiaannya. Karena kita lupa siapa kita maka konsep menyapa atau dialog pun
tidak ada. Hidupnya sendiri-sendiri walau pun kita berdampingan.
Sikap
individualistik akan memunculkan bahwa hanya ada kebenaran milik sendiri. Kelompoknya
sendiri. Sikap inilah yang memunculkan konflik, jika sikap individualistik
merambah manusia Indonesia, dapat dipastikan Pancasila pelan-pelan akan hilang
ditelan pemahaman-pemahaman parsial akan perdamaian. Disinilahh peran penting
kebudayaan, bahwa kita memiliki tanggungjawab untuk menyambungkan antara
konflik dan damai. Antara konflik dan damai tentu di sana ada ruang yang membutuhkan
pemahaman yang kritis akan ilmu dan pengetahuan, namun bukan hanya ilmu yang
satu dimensi, akan tetapi ilmu yang plural.
Adanya kesadaran
plural, maka kita akan menemukan titik kesadaran keilmuan bahwa kita tidak bisa
hanya memiliki satu dimensi pengetahuan. Oleh karenanya konsep “Iqra’” sampai
kapan terus harus dijadian bekal kehidupan. Berposisi menjadi manusia yang
selalu merasa bodoh akan ilmu itu penting mulia daripada berposisi menjadi
manusia yang sudah merasa penuh ilmu.
Semua orang
ingin damai, tapi perang semakin ramai dalam qasidah ria, karena manusia
memiliki watak pelit dan ingin menguasai kata Kiai Halimi. Menurut peribahasa
Madura “mon bekna aberri’ sa ongguna
aberri’ ka aba’na dibi’”, arti bebasnya jika kita memberi pada orang lain, sebenarnya memberi kepada diri
sendiri. Peribahasa ini menandakan dari saking beratnya “memberi”. Konsep memberi bagi manusia memang sesuatu yang
sangat-amat berat, mengapa karena manusia memiliki sifat angkara, ingin
menguasai.
Jadi kalau
negara Indonesia masih di isi oleh manusia-manusia ingin menguasai dapat dipastikan ia akan membangun bisnis untuk
keluarganya dan kelompoknya sambil berkongsi dengan kapital besar atau pemodal
besar walau pun rakyat dikorbankan.
Ada beberapa
penyebab lahirnya konflik kata Kiai Halimi pertama Sifat pelit dan ingin menguasai
inilah yang menjadikan perdamaian itu sulit dilakukan, kedua adanya mental
bersaing atau semangat bersaing ketiga ada tuntutan menjadi manusia terbaik,
padahal cukup dengan menjadi manusia baik itu sudah cukup. Keempat maraknya hoax.
Kelima ujaran kebencian (stikmatisasi).
Untuk
mengelolah konflik agar tidak berkobar semakin besar, maka perlu banyak dialog
dan berdialektika. Namun bukan perkara mudah untuk berdialog dan berdialektika,
sebab membutuhkan referensi-paradigmatik yang luas, jadi hanya orang-orang yang
mau menyapa yang memiliki jiwa yang damai, jiwa yang tak terbatas tentu itu
semua harus didukung oleh sebenarnya banyak kita membaca, belajar dan mengaji.
Komentar