Membuka Pintu Puisi Matroni




 Sajak-sajak Matroni Muserang tampaknya ingin menekankan pentingnya literasi dari sudut pandang kesadaraan religius. Literasi merupakan sarana untuk menyelami keluasan dan kedalaman misteri kehidupan manusia.
Ada empat citraan pokok yang membingkai keseluruhan puisi Matroni: huruf, perahu, samudra, dan pintu. Keempat citraan tersebut berpaut satu sama lain, menawarkan ambigiuitas yang menarik untuk dicermati.
Dalam pemaknaan awal, huruf dapat diterjemahkan sebagai ayat atau kata-kata. Dalam pemaknaan lebih lanjut, huruf membawa kita pada aktivitas membaca dan menulis.
Samudra melambangkan medan pergulatan hidup manusia yang penuh dengan ketidakpastian. Perahu dapat dimaknai sebagai iman atau daya spiritual yang menggerakkan dan mengarahkan perjuangan hidup manusia. Namun, perahu dapat pula dimaknai sebagai nasib atau pilihan hidup yang membimbing manusia menuju tujuan akhir pengembaraannya.
Yang menarik adalah transformasi makna huruf. Huruf ibarat perahu yang digunakan manusia untuk menjalani dan mencari makna kehidupan. Lebih jelasnya, aktivitas membaca dan menulis merupakan bagian dari ibadah manusia untuk menemukan makna hakiki dari hidupnya sendiri.
Pentingnya huruf (: aktivitas membaca dan menulis) sudah tersirat di bagian awal sajak “Pintu 01”: Dia membuka diri padaku/ masuklah, bisiknya. “Dia” di situ adalah “dia” yang taksa: bisa menunjuk ke arah kehidupan yang penuh misteri, bisa juga alter ego atau bayangan diri si “aku” sendiri, dan bisa pula mengarah ke sang pencipta hidup. Intinya, “dia” adalah misteri.
Sejak awal kehidupan ini sudah membukakan misteri yang menggoda dan memicu keingintahuan manusia untuk menyelaminya. Namun, meskipun sang misteri sudah membukakan diri, tidak mudah bagi manusia untuk memasukinya. Semakin didekati, semakin besar pintu yang “menghalangi”-nya, yang harus dibuka dengan upaya dan alat tertentu. Dalam konteks inilah, huruf –dalam pengertian aktivitas membaca dan menulis—merupakan sarana untuk membuka pintu misteri.
Dari sinilah sajak-sajak Matroni ingin mengingatkan bahwa misteri kehidupan manusia tidak bisa didekati dan dihadapi hanya dengan perasaan dan dengan kepercayaan saja. Manusia memperlukan ketajaman dan kelenturan akal untuk bergulat dengan misteri. Singkat kata, ia memerlukan ilmu; ia harus menjadi makhluk yang berilmu. Mengasah akal dan memperkaya ilmu adalah misi dari budaya literasi atau inti dari aktivitas membaca dan menulis.
Ambiguitas itu kemudian memberikan titik terang: dalam “beriman” termaktub juga pengertian berakal dan berilmu. Ilmu dan akal budi itulah yang diperlukan untuk membuka pintu misteri. Akal dan ilmulah yang dapat membuat manusia semakin cerdas dan bijak menghadapi pergolakan hidup yang seperti samudra. Jadi, manusia tidak hanya perlu beriman dengan rajin dan suntuk, melainkan lebih-lebih dengan cerdas dan bijak.
Puisi pada akhirnya diyakini sebagai seni mengolah batin yang bukan hanya melibatkan perasaan, melainkan juga nalar dan imajinasi. Puisi adalah cara lain untuk mematangkan ilmu, untuk membuka pintu-pintu misteri.

Kita sudah sampai di terminal huruf terakhir
setelah kita menyebrangi ombak, gelombang,
dan samudera. 

Perahu sudah menepi
memulai perjumpaan
yang terbuat dari puisi
yang dia bawa dari dunia sepi.

Huruf-huruf sebenarnya pintu sekaligus peta
agar tak tertinggal mainan catur semesta
yang terus di baca.   

Kita membuka semua pintu
untuk belajar dari cahaya lain
cahaya yang datang dari cela-cela kemungkinan
dan potongan huruf-huruf yang berceceran
kita bertemu untuk saling menyapa
menciptakan satu titik temu yang maha
di antara sekian pertemuan yang berbeda.

(Sajak “Pintu 28”)

Tentu saja puisi bukan hanya keisengan individual-personal. Puisi dapat juga menjadi cara untuk memasuki dan menyelami berbagai misteri sosial yang menyelimuti kehidupan masyarakat: Dari pintu/ aku masuk kelingkaran sejarah/yang keraplelah/dilumurigelisah (sajak “Pintu 2”).
Di hadapan saya, sajak-sajak Matroni pun penuh dengan pintu. Catatan singkat ini hanyalah salah satu upaya subjektif untuk membuka pintu puisi Matroni.


Yogyakarta, 11 Maret 2018
Joko Pinurbo


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

Matinya Pertanian di Negara Petani