Ketika Allah Kalah oleh Mulut Politik
Oleh: Matroni Musèrang*
demi
meraup suara pemenangan pasangan pilres tahun ini
banyak
ustadz dan kata-kata membumi
merayakan
kalimat allah demi sesuap kursi
merayakan
kemenangan lima tahun sekali
tak
merasa kalau bersalah pada Allah dan Nabi
bibir
berkeliaran membeberkan kebenaran
dengan
dalih atas nama kemanusiaan
politik
demi satu pasangan dogmatik
yang
berkedib di kursi fanatik
padahal
tak tahu dimana ilmu mantiq
hanya
paslonku yang ahli agama
hanya
paslonku yang ahli islam
hanya
paslonku yang benar
lalu,
paslon yang lain ahli apa?
Tahun politik sekarang ini benar-benar
“keterlaluan”, adanya justifikasi pribadi tanpa mengikutsertakan ilmu dan
pengetahuan dalam menyususn strategi politik, padahal bagi ilmu, politik adalah
seni menciptakan strategi, namun strategi yang sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku di Indonesia. Kita tahu Indonesia landasan moralnya adalah
Pancasila sebagai asas tunggal. Maka secara otomatis gerakan politik dalam
konteks Indonesia tentu harus berlandaskan Pancasila.
Puisi di atas sengaja saya tulis sebagai
pengantar tulisan ini. Kita berlomba-lomba untuk memenangkan pasangan yang
dianggap paling benar, ada yang mengaku ustadz/ustadzah kemudian mengkritik
pasangan calon bahkan membawa isu agama. Mengapa membawa agama dalam politik,
padahal politik itu bukan agama.
Bedakan agama dan pemikiran agama.
Politik merupakan pemikiran agama itu jelas, oleh karenanya cara berpolitik
tentu tidak harus melenceng dari agama, misalnya mencaci, melecehkan nama-nama,
dan menyerang pribadi-pribadi. Akan tetapi dalam konteks politik kita di tuntut
lebih kritis dalam melihat strategi dan konsep politik yang dibangun dalam
rangka menciptakan Indonesia ke depan.
Ketika berdebatan dalam konteks konsep
strategi politik itulah sebenarnya dimana seorang intelektual. Saling beradu
argumentasi-rasional-filosofis dengan berlandaskan pemahaman keilmuan yang
mempuni. Disitulah akan terlihat bahwa sepak terjang manusia pembelajar artinya
pasangan kita yang dilihat bukan lantaran kegagahannya dan kekayannya, akan
tetapi sejuah mana ia mampu memperlihatkan cakrawala keilmuan dalam membangun
konsep politik.
Kenyataan berkata lain. tahun politik hari
ini benar-benar membabat habis sendi-sendi kehidupan manusia,
bahkan hewan dan
tempe pun di seret oleh ketamakan manusia. Sehingga membuat
manusia mengalami krisis eksistensial, krisis
spiritualitas, krisis pemikiran, dan krisis wacana, akhirnya semua manusia
mengalami kemiskinan dan krisis kemanusiaan. Dangkal dalam berpikir, dangkal
memaknai apa pun bahkan semua penuh dengan kedangkalan. Membaca tidak lagi
menjadi tujuan dari belajar, akan tetapi membaca untuk menyerang lawan
kekuasaan.
Para pendukung paslon
mulai dari ulama, ustadz/ustadza sampai mahasiswa ikut arus dalam “era dangkal-itas” yang hanya
melihat sesuatu dari permukaannya saja. Sehingga ketika manusia mengalami
kerisauan, kegelisahan, dan kemandekan. Mereka akan mencari hiburan (game) yang
sifatnya sementara yaitu dengan menciptakan informasi hoax.
Kadang 24
jam hanya di isi dengan cacian
yang tidak memiliki makna apa-apa untuk pemikiran maupun
untuk pengetahuan. Maka
penting untuk membedakan informasi falid sebagai ilmu sementara informasi hoax sebagai permainan saja.
Lalu hiburan
apa yang sekarang berkembang bahkan diidolakan banyak orang? Bisa dilihat
teknologi semakin maju, HP
android dimana-mana, WhatsApp yang dijadikan konsumsi
keseharian. Kalau hal ini tidak bisa disikapi dengan cerdas dan kritis, maka kehidupan kita tidak akan memiliki makna apa-apa.
Karena waktu 24 jam hanya dihabiskan untuk cacian demi paslon masing-masing. Waktu adalah caci-mencaci. Waktu adalah hoax. Lalu dimanakah Allah?
Maka bisa di
jawab, Allah sudah mati kata Nietzsche, jadi apa yang dikatakan Nietzsche hari
ini terbukti. Waktu bagi orang yang mengisi hidupnya dengan cacian adalah
cara paling mulus membunuh Allah. Mengapa
dikatakan membunuh Allah, jelas mereka lupa nilai, lupa etika, lupa membaca, lupa belajar, karena waktunya dan pikirannya sudah penuh dengan cacian dan amok emosi yang dicipta dari
medsos.
Manusia hari ini sudah terkonstruk oleh
bacaan-bacaan di medsos, apa yang dibaca dipercayai tanpa ada upaya untuk
mengetahuai “asbabun nuzulnya”, sehingga yang terjadi pemahamannya pun parsial,
yang penting informasi bacaan itu mendukung pasangan saya, dan saya pun
percaya.
Komentar