Tentang Perempuan Bermata Sayu yang Ingin Menikah

Oleh: Matroni A el-Moezany*

Baiklah. Aku akan menikahimu. Meski alasan yang kita dapatkan hanya makin membikin engkau ragu.
Dalam rumah yang sangat sederhana, kita segera mengambil keputusan dalam janji menikahimu. Berkata bersama yang selayaknya dibicarakan dalam perayaan. Di tengah-tengah pembicaraan, perempuan berbahagia. Ia memandang laki-laki itu dan berkata pada dirinya sendiri: itulah yang kauinginkan. Laki-laki itu berkata tegas tanpa kehilangan sedikit pun garis puas di wajahnya. Perempuan itu merasakan bahagia yang berlebihan meski tahu dirinya itu saedang-sedang saja.
Itulah yang kauinginkan. Mengapa rasa takut itu jadi milikmu sekarang? Berhari-hari sebelum hari kemarin engkau masih bisa berkata tidak pada siapa pun. Engkau menulis apa pun yang kauinginkan. Semua yang kauanggap benar adalah sungguh benar. Orang-orang memanjakanmu dengan larangannya dan engkau senang. Engkau bantah semua perkataan yang tak baik bagi kegelisahanmu. Engkau pun sendiri.
Tinggal di sebuah kamar di sebuah rumah di sebuah kota. Engkau memasak makanan yang baru bagimu. Makan siang mengganti sarapan yang selalu tertunda. Mendengar lagu-lagu dari penyanyi lama yang baru kausukai. Ada tiga baris penuh buku di kamarmu dan engkau mampu menyerap hanya dengan memandang punggung judulnya. Lantas engkau duduk saja di hadapan buku itu, meletakkan cermin ukuran segi empat di kamarmu. Memandangi bayangan sendiri sambil berulang-ulang memikirkan dan menuang perasaan pada laki-laki. Memikirkan sumber penghasilan baru. Membuat catatan-catatan berisi hutang-hutang kecil. Bosan, lantas kau mencoba menuliskan sesuatu yang belum pernah kautuliskan sebelumnya.
Waktu adzan kau tak melakukan apa-apa tapi mematung memikirkan bagaimana setelah kita menikah nanti. Kadang kaukencangkan suara tape karena tahu tak ingin sembahyang atau menangis. Jika melintas bayangan penghuni rumah yang lain di pintu kamarmu engkau mengambil sebuah buku besar dan berpura-pura telah membacanya sejak lama.
Kalau datang semangat kau segera mandi pagi-pagi, menyiapkan makanan dan pergi mengunjungi tempat-tempat yang kau kenal. Melihat orang-orang berlatih apa saja. Menonton pertunjukan yang gratisan. Duduk-duduk di kafe bersama beberapa kenalan sampai giliran makan. Jika kecewa dengan mereka kau pergi ke tempat yang tak dikunjungi kawan-kawanmu. Toko buku atau swalayan.
Engkau akan pulang larut malam. Melangkah menuju rumah sambil mendengar kasak-kusuk beberapa tetangga yang sedang nonton TV di dalam kamar. Kalau pulang lebih awal kau mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu lagi sambil terganggu oleh para lelaki di luar yang bercakap soal bencana, banjir dan kejahatan-kejahatan kecil di kampung. Makan makanan siang atau keluar mencari cemilan.
Memegangi handphone, mengetik beberapa pesan, memilih nama-nama dan nomor-nomor dan lebih sering tak jadi mengirimkannya pada siapa pun. Saat putus asa atas pesan-pesan itu, kau menyimpan nomormu sendiri dengan nama "SK" dan mengirimkan pesan-pesan itu ke nomormu sendiri. Sekejap saja pesan-pesan itu tiba di handphone-mu dan kau membukanya dengan dada berdebar: Tuhan mencoba mendekatiku!
Setelah bermain-main dengan pesan-pesan kosong itu engkau pun tertidur dengan sedikit paksaan fisik. Mulai lelap saat maghrib datang dan berakibat bangun dini hari.
Sebulan sekali kau masih selalu bisa merasakan puncak kegelisahan itu. Ketika seseorang menyapamu lewat pesan-pesannya dan membantu temanya. Engkau pun menyiapkan kebohongan-kebohongan kecil bagi pemilik rumah untuk mendapat respon lebih. Dengan rasa cemas buatan yang menjelma jadi nyata engkau menuju jalan raya dan memberli buah-bauhan. Membuka pakaian luarmu dan melepaskannya. Kedinginan. Tiba di sebuah kamar. Bertemu orang laki-laki yang menikahinya.
Engkau melakukannya. Mengulang-ulang sedikit adegan yang kau ketahui. Hampir setiap pukul tiga pagi, usai menusukkan puncak kegelisahanmu ke dalam puncak kegelisahannya, engkau merengek lapar. Lelaki di sampingmu memesan makanan dan menggendongmu di punggungnya menuju kamar untuk makan sepering berdua. Engkau memancingnya bercakap soal bencana, banjir dan kebudayaan agar lelaki itu tak lupa bahwa engkau tak cuma datang membawa tubuh. Lelaki itu mengagumi kecerdasanmu lalu kelelahan dan tidur. Engkau bersikeras melelapkan diri di ketiaknya.
Begitulah engkau menikmati usia duapuluh dua tahun. Beberapa hari sebelum hari kemarin. Tetapi mulai hari kemarin engkau mulai terganggu dengan hidupmu sendiri. Engkau melihat anak-anak seusia yang bukan kawanmu menata masa depan yang lebih terang meski tak cemerlang. Engkau merasa mual ketika melewati kampus-kampus mereka. Engkau mengalami migrain melihat festival-festival band. Jantungmu berdegup tidak normal mendengar mereka tertawa di mana saja.
Engkau ingin merasa bahwa engkau memang bukan bagian dari mereka. Engkau ingin meyakinkan bahwa engkau telah jauh lebih lama hidup dan mengalami segala jenis kesepian dan masalah. Engkau ingin orang-orang melihatmu sebagai gadis manja yang angkuh saja. Agar mereka segan dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Mereka semua tahu kau baru mengakhiri usia duapuluhdua dan mereka tahu engkau terbuang. Engkau kuliah dan menulis. Engkau tak bersuami dan tak bersama keluarga. Maka sebagian dari mereka memandangmu kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa engkaulah yang memisahkan diri, mengacuhkanmu.
Mulai hari kemarin engkau tak berharap berjalan-jalan lagi. Pesan-pesanmu tak terbalaskan. Engkau menemukan kelaminmu mulai menebarkan bau. Engkau pun sibuk menambalnya dengan bedak-bedak dan pembalut yang wangi. Lalu engkau mengingat ibu, mas, pak D dan adik-adikmu yang jauh. Lalu engkau teringat bapak yang bertahun kauanggap memanjakanmu.
Lalu engkau mencari-cari nomor telepon teman-teman SMP dan SMA. Mendapatkan beberapa dan mengabarkan bahwa dirimu hidup sendirian dengan maksud agar mereka tahu bahwa dirimu sukses tanpa siapa pun. Tetapi engkau teringat ibu, mas, pak D, adik-adik dan bapak yang mamanjakan itu lagi. Tiba-tiba engkau merasa takut kalau-kalau suatu hari mereka menagih masa depan kepadamu. Apa yang dapat kau berikan kepada mereka? Tetapi aku tak mau pulang, katamu. Tetapi tidak bisa begitu. Engkau pasti pulang. Mereka akan menunggumu pulang sebelum engkau punya tempat pulang yang lain. Aku akan mengelak. Tapi mereka akan mengejarmu. Ke mana pun. Bagaimana pun.
Maka engkau teringat seorang lelaki yang mengenalmu sejak kecil. Lelaki yang pernah kauanggap sebagai orang mengerti dirimu. Yang tak pernah menimbulkan amarah dalam hidup dan pikiranmu. Yang hanya kepadamu bisa seperti pendeta dan mengasihimu sebagai putra Tuhan. Engkau memintanya menikahimu. Dia tercengang. Dia mengajakmu merundingkan alasan atas pernikahan kita. Di antara banyak alasan yang mungkin ada, kalian hanya menemukan satu alasan yang membuat engkau dan, terlebih, dirinya ketakutan.
Engkau mengatakan dirimu takut di sia-siakan. Takut menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa. Pernikahanlah yang mampu menyelamatkanku dari situasi ini. Dengan menikah aku memiliki tempat pulang yang baru selain masa lalu.
***
Tapi hari itu perempuan itu yang ketakutan. Sementara orang-orang yang tak ada bedanya berkali-kali melihatnya dan berkata-kata, dunia pernikahan perempuan dirampas masa lalu dan masa depan.
Setelah hari pesta pernikahan nanti. Kita dan orang-orang menjadi tempat pulang bagi masing-masing keduanya. Perempuan itu selalu menceritakan kesedihan-kesedihannya di masa lampau dan ketakutan-ketakutannya akan masa depan. Ia tetap tak percaya diri atas hidup yang dilakoninya. Ia makin tak tahu harus berbuat apa. Ia tak perlu melamun lagi. Ia tak punya kegelisahan untuk dituliskan. Ia tak perlu memikirkan hutang-hutang kecil dan masalah keuangan. Segalanya baik-baik saja. Calon suaminya bukan macam orang baik yang nyaris tanpa dosa dan membosankan. Ia lelaki yang mempunyai pemikiran dan cabang kehidupan yang sempit dan tidak bermateri alias tidak mempunyai apa-apa.
Ia membiarkan perempuan melakukan apa saja. Ia tak melarangnya bergaul dengan siapa saja. Ia tak berkeberatan atas bau busuk kelamin perempuan. Ia tak mengharamkan apa pun untuk disentuh perempuan itu. Teh atau tempat hiburan. Tetapi ia tetap menjaganya. Menikmati kesedihan-kesedihan dan ketakutan-ketakutannya sambil bersikeras menikmati bau busuk kelaminnya. Ia bukan macam orang baik yang nyaris tanpa dosa. Ia ingin sekali menyetubuhi perempuan yang bermara sayu itu. Atau bermain saja dengan perempuan lain di luar.
Tetapi perempaun itu pun perempuan yang patuh dan mengharukan, yang dengan sendu merawat dan membiarkannya bermain apa saja. Perempuan itu tetap hidup dengan pikiran-pikirannya, kecerdasan-kecerdasannya dan kesantunan-kesantunannya. Hampir selalu bangun dini hari dan hanya kadang-kadang memasak untuk laki-laki itu. Selalu mengingatkannya untuk tak melakukan keduanya dan makin hari bau busuk itu membuat dirinya tak berselera pada kelamin perempuan atau persetubuhan. Jadi ia nikmati saja kesengsaraan itu bersama waktu-waktu di masa lalu itu.
Laki-laki itu mulai tahu perkawinannya karena cinta, bahkan mulai beranjak pada tahap cinta yang sesungguhnya. Perkawinan itu menjadi pertemanan yang dingin dan abadi. Pertemanan, yang tak mungkin dipisahkan karena ungkitan pemuasan atau memudarnya cinta itu sendiri.
Mereka bercakap di tempat tidur setiap malam. Mereka memberi makan sapi-sapi mereka seperti mengurus anak-anak mereka. Sapi-sapi yang saban hari menyalak bernafsu atas amis daging perempuan. Mereka makan bersama dan menghadiri acara diskusi berdua. Mereka tertawa-tawa bersama setiap menyadari orang-orang di sekitar mereka mulai terganggu bau busuk.
***
Laki-laki itu berusaha keras melupakan kebiasaannya menghirup bau busuk dari kelamin perempuan. Tetapi kesedihan-kesedihan dan ketakutan-ketakutan yang selalu diceritakan kepadanya membuatnya cemas berhari-hari.
Ia pergi kuliah setiap hari. Makan siang dia pulang memasak sendiri. Ada puluhan bingkai foto tergantung di kamarnya dan ia mampu mengalami kesedihan hanya dengan meliriknya. Maka ia berbaring saja di tempat tidur pada malam-malam hari. Ia tetsp harus berjaga dini hari untuk membukakan pintu depan dan menahan diri untuk tidak bertanya "dari mana?" karena alasan privasi. Sapi-sapi mati kekurangan bau busuk dan ia tak ingin mengenangnya.
Kalau datang semangat ia mandi pagi-pagi sehabis tidur. Pergi ke rumah-rumah teman. Ia mendapatkan teman-temasnya masih tidur. Jika muak dengan mereka ia mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi perempuan.
Begitulah ia menikmati lajangnya. Bertahun-tahun sebelum hari kemarin. Mulai hari kemarin ia mulai terganggu dengan hidupnya sendiri. Ia melihat kawan-kawannya beristri dan berkeluarga. Ia menjadi berkeringat melewati jalan-jalan utama di hari Minggu. Sakit perut menerima menghadiri acara.
Ia ingin merasa dirinya memang tak diciptakan untuk kehidupan yang biasa. Ia ingin orang-orang melihatnya sebagai perempuan yang mengagungkan kelajangan agar mereka kagum dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Semua orang tahu bahwa ia punya seorang pacar yang jauh-jauh hari telah jadian. Maka sebagian dari mereka memandangnya kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa ialah yang telah sejak mula mengambil keputusan konyol, mencibirnya.
Mulai hari kemarin ia tak ingin lagi pergi ke rumah-rumah temannya itu. Ia menemukan dirinya merindukan bau busuk kelamin perempuan bermata sayu. Ia kehilangan kebiasaan-kebiasaan yang tak mampu didapatkan atau dikembalikannya lagi. Ia turun ke jalan-jalan utama pada Minggu pagi dan berbelanja ke pasar. Ia menyadari dirinya telah menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa, ketika sebuah pesan memaksa masuk: Apa kamu benar-benar mencintaiku? ***

*Penyair dan Cerpenis tinggal di Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani