Sapi Madura sebagai Wujud Kesalehan Sosial

Oleh: Atroni*

Makna sapi bagi masyarakat Madura sangat tinggi dalam menentukan kesalehan sosial. Konon sapi asli Madura berasal dari pulau sepudi.
Pada mulanya kehidupan ekonomi, para petani memelihara sapi berarti tabungan yang sewaktu-waktu bisa digunakan. Misalanya kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak, membangun dan memperbaiki rumah. Itulah sebabnya setiap saat dapat menghasilkan keturunan.
Sebagai modal utama bertani, setiap 3-4 bulan, para petani melaksanakan “Delmos” yaitu pindah kandang sapi dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk sawah. Bagi kalangan orang yang tidak mampu biasa dengan jalan “Ngowan” yaitu memelihara sapi milik orang lain dengan sistem bagi hasil apabila sudah berkembang biak. Ini merupakan salah satu wujud kegotong-royongan yang masih melekat pada masyarakat Madura sampai sekarang.
Pasar sapi di Madura pun tidak pernah sepi. Sapi yang diperjual-belikan umumnya untuk kepentingan pertanian. Untuk kepentingan sapi potong tidak begitu banyak. Biasanya jenis sapi betina baik untuk anak sapi (buduk) maupun sapi remaja (Pandhere’) dan sapi mandul. Pemasaran sapi pada umumnya ke Situbondo. Sedangkan sapi potong dikirim ke Banjarmasin dan sebagian daerah Jawa Timur lainnya.
Penjualan sapi rata-rata berlansung pada musim angin Timur bersamaan dengan musim kemarau. “Arah angin pada musim ini sangat cocok untuk pelayaran perdagangan dari Madura ke daerah-daerah di Kalimantan. Sedangkan di musim barat, laut dan angin di sekitar Kalimantan sangat berbahaya untuk pelayaran dari Madura, sehingga saat itu pemasarannya hanya meliputi daerah di Jawa Timur,” kata H. Basri pedagang sapi borongan desa Manding kabupaten Sumenep.
Jual beli sapi tak selamanya harus kontan. Antara pembeli dengan penjual serta perantara biasanya saling mengenal. Cara bayar tidak kontan biasanya di sebut “Pathet”. Pembayaran dilakukana di rumah.
Dalam dunia peternakan sapi Madura memiliki bentuk umum kering dan tidak mencirikan keseimbangan antara pertumbuhan badan, muka, dan bagian belakang. Kebanyakan berwarna coklat muda kemerahan. Sifatnya tenang, sabar tetapi cukup agresif. Sapi Madura yang khas ini mempunyai keuletan dan daya pencernaan yang tinggi merupakan hasil penyilangan antara sapi Zebu (Bos Indicus) yaitu sapi Bali dengan banteng (Bos Sondaicus) atau banteng hutan.
Keaslian ras sapi Madura sampai sekarang tetap terjaga. Kondisi tubuhnya tetap baik walaupun bahan makanannya tidak menentu sesuai dengan kondisi tanah Madura yang kering dan kurang subur. Itulah sebabnya perkembang-biakan sapi secara ladang ternak tidak dapat diterapkan. Akibat kondisi yang kering, sapi Madura sulit menghasilkan susu dalam jumlah banyak. Tetapi cepat melahirkan keuturunan serta dapat beradaptasi tinggi dengan iklim yang panas.
Konon pulau Sepudi bagi orang Madura sering dihubungkan dengan pulaunya sapi atau tempat keluarnya sapi yang banyak hidup di seluruh Madura. Sepudi terkenal dengan sebutan “Poday”, pulau sekitar 30 mil dari timur laut Madura, sebagian dari Kebupaten Sumenep. Diceritakan, banyaknya sapi Sepudi ini berasal dari seekor ratu sapi yang menjadi cikal-bakal lahirnya sapi Madura. Semula jumlahnya sedikit sekali. Bila sapi sudah jarang, kata orang, Sang ratu akan muncul dan berkeliling di Sepudi. Dan setelah itu, seakan-akan sapi lainnya menjadi cepat berkembang biak.
Palau Sepudi tidak luas untuk pengembang-biakan. Tanahnya juga tidak subur untuk rumput. Dalam “Kolonial Tijdschrift” yang diterbitkan tahun 1935 oleh C. Lekkerker, menyebutkan di dalam Sepudi tahun 1922 hanya terdapat sekitar 22.000 ekor sapi. Tujuh puluh enam tahun kemudian, berdasarkan data Dinas Peternakan Sumenep, populasinya antara tahun 1993-1998 rata-rata berjumlah 40.000 ekor (jantan dan betina) pertahunnya.
Tapi kalau dihubungkan dengan leluhur masyarakat, Sepudi berasal dari kata Adipoday, salah seorang keturunan Panembahan Blingi yang pernah berkuasa antara tahun 1386-1399 dengan gelar Panembahan Wirokromo. Adipoday banyak mengajarkan penduduk setempat bertani serta cara yang baik memelihara sapi secara teratur. Kini untuk mengenang jasa Adipoday, setiap musim perdagangan sapi atau kerapan sapi, para memilik sapi, pedagang, petani berziarah ke makam Adipoday di desa Klowang-Sepudi dengan memohon agar diberi petunjuk cara memelihara sapi yang baik.
Semula, petani Madura hanya menggunakan sapi jantan sebagai pejantan (penyedia bibit keturunan). Tapi fungsi ini berubah menjadi berkah bila dijadikan sapi kerapan. Untuk mengetahui asal mula kerapan sapi memang membingungkan. Seperti pendapat MT. Sihombing dalam tulisannya mengenai kerapan sapi dan pengembang-biakan sapi Madura yang ditulis tahun 1959 mengatakan kepapan yang merupakan kegemaran manyarakat Madura diperkirakan sudah ada pada abad 16 Masehi. Sapi pertama yang dilombakan kebanyakan dari pulau Sepudi. Hal ini yang juga dperkuat oleh EF. Jochim dalam laoprannya tentang palau Sepudi (1893) mengatakan, kerapan sudah menjadi kesenangan masyarakat Sepudi.
Namun saat itu terbatas pada pengusahaan sapi. Bukan sapi mana yang lebih dahulu sampai pada garis finish. Pemenang hanya mendapatkan kenangan yang berupa sapu tangan, sepotong kain dan lainnya.
Versi lain mengatakan, kerapan sapi merupakan ciptaan Adipoday dengan harapan untuk meningkatkan semangat kerja lebih giat lagi dalam pengolahan lahan pertanian. Di samping agar rakyat lebih giat memelihara sapi, terutama pada musim kemarau diadakan tontonan terarah yang dalam perwujudannya dalam permainan melarikan pasangan sapi jantan, dihubungkan dengan bambu dan di tengahnya dipasang semacam tangga yang di sebut “Kaleles” untuk tempat pengendali lari sapi.
Rekreasi seperti ini. Dimungkinkan sekali kala itu, mengingat tanah di Madura khususnya di Sepudi banyak berhutan bambu sehingga pengembala menggiring sapinya ke hutan untuk makan dan mimum. Sore hari kembali ke rumah, seperti yang dituturkan Aripin, ahli kerapan sapi desa Klowang.
Biasanya mereka belajar sifat sapi, ternyata sapi jantan lebih cepat larinya daripada sapi betina. Lama kelamaan kebiasaan ini berubah menjadi lomba sekaligus hiburan gratis bagi rakyat setempat. Tidak mengherankan bila pasangan sapi kerapan yang cepat larinya dipastikan berasal dari Sepudi yang banyak diincar para penggemar kerapan dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, bahkan dari Sumenep sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, kerapan sudah menjadi salah satu ciri khas Madura. Dari waktu ke waktu hiburan tradisional rakyat Madura yang kondang ke seantero dunia bukan sekedar tontonan pengisi waktu luang tetapi sudah melibatkan pemerintah setempat dalam rangka peningkatan daya upaya pemeliharaan sapi. Terahir dalam segala kegiatan selalu ditandai dengan kerapan tingkat Madura untuk memperebutkan Tropi Presiden.
Dalam sumber kuno yang tertuang dalam “Konferentie Karesidenan Madura” tahun 1956 yang terdiri atas 27 pasal itu, diantaranya menyebutkan kerapan berjenjang dari distrik (kecamatan), Kabupaten, terakhir karesidenan. Para ahli kerapan setiap ada pasangan hewan sapi selalu mengintip cikal-bakal sapi kerapan, biasanya sapi yang diincar berusia sekitar 4 bulan. Di samping itu masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi.
Persyaratan itu meliputi sopet yaitu bagian antara mulut dan hidung dan paling baik berbentuk V. ini penting sekali untuk mengetahui watak sapi. Bila terasa keras menandakan watak sapi itu keras dan cocok untuk kerapan. Selain itu harus memiliki dada lebar, tegap dan sedikit miring yang disebut Andeman. Demikian pula punuknya harus tinggi agar dapat dipasangi pangonong (kayu penghubung sepasang kepala sapi).
Persyaratan lain tidak kalah pentingnya, kaki lurus dan agar miring, antara kokot dan tumit tidak boleh longgar yang bisa diukur dengan jari sekitar 2 sampai 3 jari tangan. Di samping itu. Leher diusahakan agak panjang, dengan harapan kalau lari lehernya selalu terkungkung pangonong tidak sesak karena terlalu sempit. Hidung pun tidak kasar, ekor selalu menutup dan tidak ada tanda putih pada lidah, karena anggapan sebagian ahli kerapan, tanda putih itu isyarat buruk. Kuping juga harus menekuk ke dalam, congor (mulut) yang terlampau panjang serta mempunyai kuncir pada ubun-ubun kepala dan palesteran yaitu garis memanjang hitam pada tulang belakang.
Setelah persyaratan dipenuhi, langkah selanjutnya yaitu sistem pemeliharaan melalui jamu tradisional. Berbeda dengan sapi untuk menarik bajak jamunya hanya terbatas campuran gula merah, telur, kelapa dan asam. Untuk calon sapi kerapan lain lagi, agar sapi cepat besar dan larinya cepat jamunya meliputi ramuan gula, telur, dan kelapa 10 butir telur. Sedang untuk merangsang nafsu lari, ramuannya cukup rumit yaitu harus ada anggur malaga, arak dan telur sekitar 20 butir serta jahe cuka dan kopi. Sebagai pelengkapnya masih dicekoki madu, air, cabe jamu, kunyit dan irisan daging ayam yang sudah dimasak serta pil jamu khusus sapi.
Dengan begitu tidak mengherankan bila makanan dan jamu sepasang sapi kerapan merupkan kebanggaan besar bagi pemiliknya, apalagi kandangnya di buat khusus hampir menyamai rumah tempat tinggal orang.
Kemangan sapi dalam kerapan merupakan kebanggaan besar bagi pemiliknya, bukan karena hadiah berupa tropi Presiden, sepeda motor atau TV dan semacamnya, karena kemenangan kerapan sapi itu bisa menaikkan gengsi para pemiliknya.
Sebab di samping itu setiap ada kerapan, prestasi pasangan sapi dilirik oleh penggemar, bisa pejabat daerah, pedagang juga petani kaya. Sihingga jelas terlihat, sapi kerapan secara ekonomis menjadi tembahan penghasilan dan gengsi pemiliknya. Harga dari sepasang sapi yang cepat mencapai jutaan rupiah.

*Penggiat Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani