Ketika Bencana Menjadi Budaya

Oleh: Matroni A el-Moezany*

Bencana, sebuah kata yang menakutkan di dunia. Dan negara manapun Amerika, Eropa, Jepang, dan negara lain yang merasa bisa sok tidak ada apa-apa dengan datangnya bencana (tidak menakutkan). Sekarang kita sudah merasakan apa itu bencana baik itu berupa banjir, lonsor, gempa, kegersangan jiwa dan spiritual, itu karena budaya positivistik yang sudah menjadi makanan setiap hari atau dengan kata lain sudah membumi di ranah kebudayaan kita, yang antimetafisik bahkan dunia metafisik itu tidak ada. Lalu bagaimana sikap kita ketika bencana membudaya?.
Apakah kita tetap diam dan tidur dalam mimpi-mimpi kosong? Alan Watts pernah mengatakan bahwa berapa banyak orang menyadari bahwa langit adalah suatu yang sama dengan pikiran dan kesadaran bahwa kalau engkau melihat dirimu sendiri bahwa batinmu ada bersama seluruh jasmanimu seperti halnya mukamu ada dibelakangmu bahwa galaksi ini dan juga galaksi lain sama jauhnya seperti engkau dan hatimu atau pikiranmu bahwa datangmu dan pergimu bangunmu dan tidurmu kelahiranmu dan kematianmu persis mengalami ritme yang sama dengan bintang-bintang dan kegelapan yang mengitarinya.
Bencana yang telah memorak-porandakan wilayah Jakarta dan Surakarta dan masih banyak lagi itu hanyalah sebagian dari bayang-bayang ekstrem dalam cermin dari porak-porandanya bangsa ini. Alam telah berkali-kali mengirimkan surat lukanya melalui gempa bumi, longsor, banjir, dan bencana lainnya. Namun, itu semua tidak pernah menjadi sadar dan melakukan mawasdiri, penyakit kita malah semakin parah dan hampir sekarat. Kita hanya bisa belajar mencari kambing hitam dan mencari selamat sendiri. Ini karena budaya kita bukanlah budaya Indonesia tapi budaya bencana yang hadir dari kegersangan spiritual tersebut.
Bagi orang yang masih mendahulukan dan menggunakan akal sehat serta nurani, peristiwa bencana tsunami yang kini melanda sebagian Afrika, Asia Selatan terutama Asia Tenggara, khususnya Aceh dan Sumatra Utara, akan memaksa kita untuk melakukan mawasdiri. Ada sejumlah kemungkinan penarikan "makna" dari peristiwa bencana alam, sangat bergantung pada perspektif yang kita gunakan: perspektif ke-Tuhan-an (teologis), perspektif ke-alam-an, perspektif ke-manusia-an dan perspektif ke-filsafat-an.
Bila bencana alam itu lebih sebagai akibat dari tangan-tangan kita sendiri, bisa dimengerti bila bukan hanya manusia yang mengalami bencana, karena yang pertama kali mengalami bencana adalah alam itu sendiri. Bencana yang diderita oleh alam yang disebabkan tangan-tangan manusia, dan manusia tidak pernah peduli. Sehingga, pada akhirnya manusia pula yang menerima akibatnya. Dengan kata lain, bencana alam lebih banyak disebabkan oleh terjadinya bencana kemanusiaan. Bencana yang dicirikan oleh sikap sok kuasa manusia terhadap alam dan ketidakpedulian manusia terhadap akibat dari kerja tangan manusia sendiri terhadap alam. Padahal bumi ini adalah rumah tinggal yang sesungguhnya bagi manusia selama manusia hidup di muka bumi. Rumah yang harus dipelihara, dijaga, dan dipercantik bersama, bukannya dirusak. Hanya manusia yang telah kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaannya yang begitu tega merusak tempat tinggalnya sendiri. Andai kita seperti kata burung "aku makan, tapi tetap kujaga keseimbangan alam" mungkin bencana tidak menjadi budaya.
Tubuh sebenarnya bukanlah milik kita, jadi kita harus beri makan dengan vitamen yang suci dan bersih seperti kata Lao Tse bahwa dirimu sebentuk tubuh yang dipinjamkan oleh alam semesta raya, hidupmu bukan milikmu dia sesuatu harmoni yang dipinjamkan kepadamu oleh alam semesta raya, kodratmu juga bukan milikmu dia adalah perkembangan alamiah yang dipinjamkan kepadamu oleh alam semesta raya.
Bencana alam badai tsunami di Aceh dan Sumatera Utara telah mampu menggedor dan membangunkan rasa kemanusiaan sebagian besar bangsa Indonesia dari tidurnya. Tapi, akankah kemanusiaan kita terbangun untuk memperbaiki alam yang kita telah rusak selama kita tertidur sekian lama. Atau, kita hanya bangun sesaat untuk kemudian kembali terlelap dalam tidur dengan mimpi-mimpi yang menakutkan. Alam telah sekian lama sakit meradang dan menangis, memohon uluran tangan manusia.
Manusia memang cenderung sombong, dan bodoh. Betapa sombongnya manusia sehingga ketika mendapat bencana sekecil apa pun selalu merasa sedang diuji atau sedang mendapat hukuman dari Tuhan. Padahal, siapa dan manusia mana atau makhluk lain yang mana yang akan mampu memikul ujian dan hukuman dari Tuhan? Ujian kecil untuk bersabar dalam melakukan amal saleh dan bersabar untuk tidak melakukan kerusakan dan kejahatan saja lebih banyak gagal dari pada berhasil. Apa lagi untuk bersabar menghadapi ujian dan hukuman Allah dalam bentuk bencana? Bencana yang kita derita kini tak lebih tak kurang adalah sebagai akibat dari apa yang telah kita lakukan. Seperti meludah ke langit, jangan salahkan ludah bila ia balik kembali dan mengenai muka kita, apalagi menyalahkan orang lain dan Tuhan. Kita telah banyak belajar dan mengetahui tentang hukum kausalitas alam, tetapi kita selalu menafikannya.
Dalam term agama, itulah yang disebut dengan kufur. Kita menutup mata dan telinga kita, bahkan hati kita, untuk menerima kenyataan keberadaan kausalitas alam yang akan menimpa kita, baik ataupun buruk, padahal kita mengetahui dan meyakininya. Fenomena kausalitas alam ini tak lain dan tak bukan sebagai ayat dan firman Tuhan, dan kita kufur terhadap-Nya. Kufur kita atas hukum kausalitas alam yang Tuhan ciptakan, mirip dengan keimanan kita pada Tuhan akan tetapi dalam waktu bersamaan kita melupakan-Nya.
Sebagai penutup esai ini sedikit puisinya Sigit al-Fianiskerty yang bisa menjadi renungan kita selama ada dalam ruang budaya bencana: jangan palingkan wajahmu, kalau kau terbaring tak berdaya, bercerminlah pada masa lalumu.

*Penulis adalah Penggiat masalah kebudayaan dan penulis esai tinggal di Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani