Budaya, Bencana, dan Kita

Oleh: Matroni A el-Moezany*

Budaya modern masa kini kita membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah "peta" paling tidak "tipe ideal" dalam istilah Max Weber, peta yang kita butuhkan adalah peta yang menggambarkan mengenai kebudayaan kita sendiri yang lokal, dihadapan kebudayaan manusia secara holistik-uneversal. Dimana budaya hadir dengan wajah yang muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa tercinta ini. Lantas bagaimana agar budaya kita tidak lagi sakit "cultural shock".
Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab nilai-nilai tradisi itu di pandang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Demikian pula dengan hujatan yang lahir dari kebudayaan Barat.
Banyak filsuf atau sosiolog yang telah mencoba menggambarkan "peta" tersebut, misalnya filsuf positivis Aguste Comte, menggambarkan perubahan dari masyarakat agama ke masyarakat metafisik hingga kepada masyarakat positif yang berkembang pesat pada saat sekarang ini. Selain itu juga, filsuf Belanda , CA Van Peursen yang dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1993) secara panjang lebar membahas modernisasi dengan tipe "fungsionalnya" sebagai puncak perubahan dari masyarakat yang bersifat "kebudayaan ontologis" di abad pertengahan.
Pembagian peta-peta kebudayaan tersebut memberi epistemologi yang cukup signifikan, bahwa dalam setiap kebudayaan pada dasarnya ada titik temu yang begitu kuat sekaligus titik lemahnya. Titik lemah pada tahap mitis dalam bagan CA Van Peursen misalnya ditemukannya praktek-praktek magis yang mencoba mendamaikan semua proses sosial alamiah yang terjadi.
Pada kebudayaan ontologis cenderung substansialisme-lah yang terjadi. Manusia melihat sesuatu hanya dari segi hakikatnya saja. Dalam kebudayaan mitis manusia terpaku oleh realitas bahwa sesuatu itu ada, sedang setiap subyek dan objek atau manusia dan dunia saling berpartisipasi.
Sedang dalam kebudayaan ontologis menusia mengambil jarak terhadap dunia. Manusia ontologis, kalau istilah ini boleh dipakai untuk berusaha menemukan hubungan yang tepat antara dirinya sendiri dan daya-daya kekuatan di sekitarnya. Maka terciptalah sesuatu bentuk hubungan yang melibatkan akal dalam arti harfiah, akal hendak mengerti seluruh hakikat dari yang ada.
Semua dekontruksi ini penting untuk memperoleh kembali kejelasan dan jawaban akan kebudayaan kita serta masyarakat yang hendak merencanakan hal itu, dan yang hendak membuat kita terus harus mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangun sendiri. Dengan strategi dekontruksi ini diharapkan kita dapat secara kritis mengevaluasi hasil-hasil kerja kebudayaan kita itu sendiri. Sehingga pembebasan sebagai ide awal dari modernisasi tetap bisa direalisir dan tetap menjadi elan vital zaman ini justru ketika kita makin menyadari ada yang salah dalam kebudayaan kita.
Bencana
Kita patut bersyukur bahwa ternyata bangsa Indonesia, walaupun telah dan sedang mengalami multi krisis dan multi kultural yang berkepanjangan ternyata masih memiliki kepedulian terhadap penderitaan saudaranya. Setelah sekian lama bangsa kita didera ketidakpedulian, berbagai penyakit, dan rasa penuh curiga pada sesama saudara sebangsa, bencana rupanya telah membangunkan kita dari mimpi buruk yang lebih mengerikan dari bencana yang terjadi di berbagai belahan bumi.
Mimpi buruk itu adalah tentang keruntuhan bangsa ini karena ketidakpedulian dan penyakit saling curiga. Mimpi tentang perebutan kursi gading dan berlomba menumpuk kekayaan dengan cara melubangi perahu yang dibangun dan dinaikinya sendiri. Padahal, sejumlah bencana dalam berbagai jenisnya telah melanda bangsa ini, tapi tampaknya belum cukup untuk membangunkan tidur lelap kita, dan tersadar dari mimpi buruk bangsa ini.
Bencana yang telah memorak-porandakan wilayah Jakarta dan Surakarta dan masih banyak lagi itu hanyalah sebagian dari bayang-bayang ekstrem dalam cermin dari porak-porandanya bangsa ini. Alam telah berkali-kali mengirimkan surat dukanya melalui gempa bumi, longsor, banjir, dan bencana lainnya. Namun, alih-alih tak pernah menjadi sadar dan melakukan mawasdiri, penyakit kita malah semakin parah dan hampir sekarat. Kita hanya bisa belajar mencari kambing hitam dan mencari selamat sendiri.
Bagi orang yang masih mendahulukan dan menggunakan akal sehat serta nurani, peristiwa bencana tsunami yang kini melanda sebagian Afrika, Asia Selatan terutama Asia Tenggara, khususnya Aceh dan Sumatra Utara, akan memaksa kita untuk melakukan mawasdiri. Ada sejumlah kemungkinan penarikan "makna" dari peristiwa bencana alam, sangat bergantung pada perspektif yang kita gunakan: perspektif ke-Tuhan-an (teologis), perspektif ke-alam-an, dan perspektif ke-manusia-an.
Bila bencana alam itu lebih sebagai akibat dari tangan-tangan kita sendiri, bisa dimengerti bila bukan hanya manusia yang mengalami bencana, karena yang pertama kali mengalami bencana adalah alam itu sendiri. Bencana yang diderita oleh alam yang disebabkan tangan-tangan manusia, dan manusia tidak pernah peduli. Sehingga, pada akhirnya manusia pula yang menerima akibatnya. Dengan kata lain, bencana alam lebih banyak disebabkan oleh terjadinya bencana kemanusiaan. Bencana yang dicirikan oleh sikap sok kuasa manusia terhadap alam dan ketidakpedulian manusia terhadap akibat dari kerja tangan manusia sendiri terhadap alam. Padahal bumi ini adalah rumah tinggal yang sesungguhnya bagi manusia selama manusia hidup di muka bumi. Rumah yang harus dipelihara, dijaga, dan dipercantik bersama, bukannya dirusak. Hanya manusia yang telah kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaannya yang begitu tega merusak tempat tinggalnya sendiri.
Bencana alam badai tsunami di Aceh dan Sumatera Utara telah mampu menggedor dan membangunkan rasa kemanusiaan sebagian besar bangsa Indonesia dari tidurnya. Tapi, akankah kemanusiaan kita terbangun untuk memperbaiki alam yang kita telah rusak selama kita tertidur sekian lama. Atau, kita hanya bangun sesaat untuk kemudian kembali terlelap dalam tidur dengan mimpi-mimpi yang menakutkan. Alam telah sekian lama sakit meradang dan menangis, memohon uluran tangan manusia.
Manusia memang cenderung sombong, dhalim, dan bodoh. Betapa sombongnya manusia sehingga ketika mendapat bencana sekecil apa pun selalu merasa sedang diuji atau sedang mendapat hukuman dari Tuhan. Padahal, siapa dan manusia mana atau makhluk lain yang mana yang akan mampu memikul ujian dan hukuman dari Tuhan? Ujian kecil untuk bersabar dalam melakukan amal saleh dan bersabar untuk tidak melakukan kerusakan dan kejahatan saja lebih banyak gagal dari pada berhasil. Apa lagi untuk bersabar menghadapi ujian dan hukuman Allah dalam bentuk bencana? Bencana yang kita derita kini tak lebih tak kurang adalah sebagai akibat dari apa yang telah kita lakukan. Seperti meludah ke langit, jangan salahkan ludah bila ia balik kembali dan mengenai muka kita, apalagi menyalahkan orang lain dan Tuhan. Kita telah banyak belajar dan mengetahui tentang hukum kausalitas alam, tetapi kita selalu menafikannya.
Dalam term agama, itulah yang disebut dengan kufur. Kita menutup mata dan telinga kita, bahkan hati kita, untuk menerima kenyataan keberadaan kausalitas alam yang akan menimpa kita, baik ataupun buruk, padahal kita mengetahui dan meyakininya. Fenomena kausalitas alam ini tak lain dan tak bukan sebagai ayat dan firman Tuhan, dan kita kufur terhadap-Nya. Kufur kita atas hukum kausalitas alam yang Tuhan ciptakan, mirip dengan keimanan kita pada Tuhan akan tetapi dalam waktu bersamaan kita melupakan-Nya. Naudzubillah, Wallahu'alam.


*Penulis adalah Penggiat masalah kebudayaan dan peneliti kebudayaan. Sekarang tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani