Seni dan Politik Selebritis

Seni dan Politik Selebritis
Oleh: Matroni el-Moezany*

Memasuki era globalisasi atau era reformasi, semakin banyak masyarakat yang ikut terjun lansung dalam dunia politik. Makin pula banyak saja artis yang menduduki gedung bundar Senayan. Misalnya artis kita H. Qamar, Sophan Sophiaan, Adjie Massaid, Nurul Arifin, Marissa Haque, dan Anggelina Sondakh. Ada nama lain yang juga ikut bermaian meramaikan jagad politik Tanah Air adalah Rieke Dyah Pitaloka, Anwar Fuady, Ruhut Sitompul, yang juga pengacara, dan Lenny Marlina. Mereka tidak puas dengan menjadi wakil rakyat, tapi beberapa diantara mereka mencoba untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik di tingkat II (kabupaten dan kota) maupun provinsi.
Penyanyi yang pernah dijuluki sebagai Singa Panggung Asia versi majalah Asia Week (edisi tahun 1975) ini menambahkan, keberadaan artis tidak sebatas vote getter (pengumpul suara) bagi kepala daerah. Dengan sistem pilihan langsung, Emilia Contessa yakin dimasa mendatang akan makin banyak tokoh seniman (aktor/aktris maupun penyanyi) yang perpeluang di panggung politik.
Ditekankan lagi Emil-begitu wanita akrab di sapa-popularitas merupakan nilai tambah bagi artis untuk menarik perhatian massa. Sebab, dalam pilkada popularitas itu tidak cukup. "untuk mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat" popularitas harus didukung pendidikan yang memadai sehingga kita buktikan dan diandalkan. Karena Emil menunjuk sukses Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger. Latar belakang keduanya sebagai aktor ditunjang kemampuan di atas rata-rata, yang membuat mereka dipercaya menjadi kepala daerah. Reagan dipercaya memimpin Amerika Serikat dalam dua periode, kini Arnold masih menduduki kursi gubernur Carifornia.
Sebelumnya ada H Nurul Komar. Pria kelahiran desa Sindang, kebupaten Indramayu mencoba peluang menjadi kepala daerah di kota kelahirannya. Juga Emilia Contessa yang mengabdikan di kampung halamannya, Banyuangi. Belakangan nama Dewi Yull di sebut-sebut di pilkada Semarang.
Sistem politik sekarang yang menerapkan sistem pilihan langsung memberi peluang banyak kepada artis atau seniman yang selama ini di-underestimate kemampuan politiknya. Ini menjadi angin segar yang menyejukkan artis untuk menunjukkan dirinya bisa sejajar dengan yang lain.
Sepandai-pandainyan artis Anggelina Sondakh atau Dyah Pitaloka saat berdebat kebijakan politik, masyarakat Indonesia melihat keduanya sebagai mantan putri Indonesia atau "oneng" di senetron Bajaj Bajuri. Selain masyarakat tidak ambil peduli, bila keduanya juga tercatat sebagai politisi dari partai politik (parpol) tertentu.
Sampai saat ini, selebritis tampil di pentas politik, baik yang tampil menghibur di saat kampanye, maupun yang menjadi anggota atau simpatisan, fungsi mereka hanya vote getter atau penarik suara semata. Belum menjadi personal pilitisi yang mampu membangun dan memengaruhi kebijakan. Jadi untuk menjadi seperti Arnold ataupun Ronald Reagan masih sulit. Saya melihat di panggung politik, selebritis masih tetap dikenal karena popularitas. Sedang kemampuan berpolitik dianggap remeh oleh masyarakat, di dalam intern parpol yang diikuti, tugas maupun jabatan yang ditempati selebritis, masih cukup minimalis.
Tidak bila setiap kampanye, mereka tetap mengenakan ketenaran mereka agar masyarakat bisa berkumpul secara massal. "saat ini cukup sulit mengumpulkan massa bila yang disampaikan hanya kebijakan dan janji-janji politis semata". Tapi bila unsur penghibur, terutama yang sedang naik daun, dengan mudahnya massa berkumpul. Ini sudah jelas.
Tidak hanya massa, adanya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung hampir di seluruh Indonesia, popularitas selebritis juga dimamfaatkan untuk mengenalkan si politisi yang sedang maju dalam pencaturan politik daerah. Itu masih kalah tenar dengan artis.
Bagi selebritis, persamaan antara pentas hiburan dengan politik, membuat mereka tetap mendapat ketenaran sekaligus mendapartkan secara ekonomi. Sedang bagi selebritis yang kemudian muncul sebagai simpatisan parpol, bahkan berganti-ganti parpol, seperti Marissa Haque, fungsi mereka sebagai vete getter menjadi terlihat. Terbukti politik mereka di parpol sebelumnya tidak memberi nilai atau arti apa-apa.
Lalu bagaimana setelah artis-artis berenang di dalam kolam politik? Tentu saja masih terasa sengitnya persaingan Pilkada Provinsi Banten tahun yang lalu. Marissa Haque mendampingi Zulkiflimansyah harus mengakui keunggulan rivalnya, Ratu Atut Chosiyah. Tidak hanya berhenti di situ pencaturannya, tapi merambah pada bidang seni.
Seni itu Sendiri?
Pada dasarnya adalah estetika. Selebihnya "cinta" "suka-cita" "pacaran" "air mata", dan ratusan istilah yang maknanya sama atau mirip dengan cinta. Rabindranat Tagori memang benar, dalam puisinya yang mengatakan: o kecantikan temukanlah dirimu dalam cinta bukan dalam cermin. Sungguh menyakitkan berpisah karena cinta. Jadi untuk mendapatkan kesenian yang bernilai dan mempunyai nilai-nila estetika tentunya kita harus berdarah-darah, dan harus mempunyai kemampuan kreativitas dalam setiap karya-karya. Sebab kemana dan dimana kita akan selalu bersama cinta. Karena pertemuan ini bukanlah pertemuan melainkan cinta, sesuatu atau apa saja. Kita memang sudah berkreatif siapa bilang kita primitif. Buktinya, semua aspek kehidupan, baik yang secara riil maupun absrak sudah kita kontemplasikan agar semua itu senantiasa nantinya dan bahkan sejak awal menjadi kebun-kebun estetika. Sedemikian rupa yang ada hanyalah "cinta". Kebudayaan kita adalah kebudayaan seni, dan seni estetika. Siapa di antara semua yang menjamin, bahwa kita bisa lepas dari cengkeraman seni untuk seni itu sendiri.
Lalu, sumbangan apa yang bisa kita berikan di tengah kompleksitas kesenian yang tidak estetistapi kita idealkan? Iktikad baik belum tentu cukup. Boleh dikata klise. Yang terpenting adalah menurut "sahibul hikayat" kemandirian dan konsistensi.
Dalam dunia kesenian muslim, banyak keanehan yang akan dihadapi, ketika seorang muslim memasuki wacana kesenian, maupun secara holistik-universal estetika itu sendiri absurd. Apalagi bila di diembeli-embeli dengan status Islam, Islami. Dengan kata itu kita dapat menyimpulkan bahwa kesenian itu memiliki kelenturan tubuh yang sangat liat dan cair. Dengan kata lain setiap entitas kesenian dapat menerima perlakuan yang berbeda-beda.
Di lihat dari kebudayaan, dalam rangka menjadi pencerahan yang mempunyai nilai-nilai estetika/seni/keindahan yang merangkum semua hal yang berkaitan dengan seni, termasuk tujuan dan idealitas suatu seni itu sendiri.
Jadi benar kalau dalam dunia estetika banyak mengkaji masalah yang berkaitan dengan keindahan (the beauty) yaitu nilai-nilai (value,s) estetik sejauh itu bersifat indah dan memiliki makna yang sangat dalam atau sublim. Seni (the art) aturan dan prinsip dalam seni, dan yang menjadi konsep atau ide tentang keindahan itu (the idea of beauty), yaitu seni yang membicarakan tentang bagaimana sesuatu yang kelihatan rasional-realis-otentik, apakah ia memiliki nilai keindahan atau seni/artistik atau kualitas estetik mengenai karya seni harus senantiasa didasarkan pada kriteria rasional yang dapat diterima logika. Wacana estetika semacam itu tidak cukup dibangun dengan mengatakan "saya suka keindahan itu, tetapi tidak tahu mengapa?".
Sebab, sejak kemunculannya, estetika tidak hanya mempelajari tentang keindahan dan kesan akan rasa indah saja, tetapi estetika juga menyangkut masalah manefestasi dari aspek-aspek yang sangat tragis, menyenangkan, dan memiliki makna yang sangat luas dan mendalam. Istilah estetika ini pertama kali diterapkan di Jerman oleh Baumgarten (1750-58 Asthetica) yang ditujukan sebagai suatu (kritisme terhadap rasa/ kesan), sehingga ia dianggap sebagai sebuah ilmu atau filsafat tersendiri. Pandangan ini ditolak oleh filsuf besar Jerman Immanuel Kant yang mengatakan bahwa estetika merupakan sebuah ilmu yang terkait dengan aturan-aturan atau sensasi. Persoalan yang dibahas oleh estetika tidak lain hanyalah sesuatu yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar watak asli serta sifat-sifat dari putusan estetik.
Sejak lama arsitektur dinyatakan sebagai tatanan ruang dan waktu yang memiliki karakteristik dan bentuk dan material yang dibatasi tinggi, panjang dan lebar. Pemahaman artikulasi makna matahari dalam arsitektur menambahkan dimensi keempat yakni waktu. Dengan adanya dimensi waktu sebagai elemen desain, arsitektur Islam bukan hanya mengandalkan dari estetika bentuk semata, tetapi bergerak dari suatu kreativitas statis menuju suatu inovasi dimanis.

*Penulis adalah penggiat bidang budaya dan seni Yogyakarta. Aktif di kajian budaya dan seni kutub Yogyakarta.
No, Rek, BNI, 0112529222, Cab UGM Yogya, a/n Matroni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani