Seni Medan Pertarungan Sejarah

Seni Medan Pertarungan Sejarah
Oleh: Matroni el-Moezany*
Orang yang tidak mampu menikmati merdunya suara dan indahnya notasi musik, maka adanya sama dengan tidak ada, sekali pun hidup, ia mati adanya.
Itulah rangkaian kata yang di lantunkan oleh Syakh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Hikmah fi Makhuqatillah. Walau pun pada masanya banyak ulama yang tidak setuju, namun Ghazali tetap berlayar melaju dengan pendapatnya, bahwa nyanyian atau seni, puisi, musik, bukan saja boleh, akan tetapi sangat penting bagi pertumbuhan jiwa dan spiritualitas seseorang. Hal ini bisa renungkan dalam kata-kata di atas.
Dalam seni tentunya kita dapat mengetahui seni-seni yang bersifat populer maupun kontemporer. Seni sastra, seni musik, seni tari dan peran, seni rupa dan seni arsitektur. Dalam seni tersebut (seni sastra, seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni arsitektur) misalnya, sebenarnya cabang seni yang memang memiliki sejarah panjang dalam khazanah peradaban dan kebudayaan Islam. Namun di negara kita seni-seni yang seperti khususnya seni sastra, rupanya kurang mendapatkan apresiasi yang signifikan dengan banyak literatur yang sesungguhnya banyak menyajikan seni sastra tersesbut.
Dari sini sebenarnya pentingnya seni dalam pertarungan sejarah, lalu apa sebenarnya yang pudar dalam kaitanya seni dengan masyarakat modern? Gairah untuk berkarya, atau menulis agar kreator seni hidup, laksana Pramoedya Ananta Toer, orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis ia akan hilang dalam dunia dan sejarah. Sebab menulis bekerja untuk keabadian, keabadian dalam hidup maupun keabadian dalam kematian, apa kata Nietzsche, "seni". Menurut Nietzsche seni harus menjadi gerakan tandingan terhadap roh zaman yang melembek. Sebab dengan cara berseni atau seni gerakan kita akan menjadi hidup dan menghidupkan.
Lewat seni orang akan kembali muda dan menyejukkan, orang lincah seperti kera, seni membakar orang menjadi singa, seni membuat mabuk, seni dapat mendekatkan gairah hidup, lewat sajak-sajak dan puisi-puisi, cerita-cerita, syair (lagu-lagu) dan hikayat, yang mendarah daging dalam jiwa mereka (seniman).
Dalalm konteks sejarah banyak para filosuf dan penyair yang memang seni dijadikan ladang atau sarana kreatifitas, seperti penyair sekaligus filsuf, Nietzsche yang menggairahkan seni untuk dibangkitkan di zaman Renaisans dan menyebut-nyebut kebangkitan, dimana seni dijadikan sebagai alat yang memberi makna dalam kehidupan. Namun bukan sembarang seni, melainkan seni yang mengungkapkan keindahan klasik.
Kalau boleh saya menengok ke belakang di zaman Renaisans, orang akan menilai karya seni apabila ditandai dengan karya-karya seni yang mengungkapkan keindahan klasik, misalnya lukisan Kelahiran Venus karya Sandro Botticelli, seorang pelukis dari Firenze dan Sleepinng Venus karya Giorgione dari Venezia. Dua lukisan ini kata sejarah menggambarkan pergeseran dari mitos kesucian abad pertengahan keindahan mitos Yunani Klasik.
Dalam perputaran sejarah seni yang paling besar mungkin itu pada zaman Renaisans yang secara umum memang gerakan para humanis untuk mendekati hidup secara estetis, mereka harus belajar seni yang manusiawi. Tapi dengan berbagai fenomena pada abad ke-19 Nietzsche menolak untuk bergabung dengan seni romantis yang paling dominan waktu itu.
Begitu pun dalam seni yang pernah Putu Wijaya katakan dalam bukunya bahwa seni sudah sejak zaman orde baru sudah mati yang di tulis dalam buku esai "Reformasi Seni". Melalui esai ini Putu Wijaya memperihalkan betapa lantaran politik dan ekonomi lebih dimuliakan oleh pemerintah Indonesia sejak di zaman orde baru yang menjadikan kesenian semakin dilihat sebagai sesuatu yang tidak penting atau tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap realitas sosial. Dan Putu Wijaya memang sengaja menulis esai tentang seni, budaya, sastrawan, dan seniman yang memang dikhususkan kepada mereka (seniman, sastrawan, budayawa, dan ilmuwan).
Mengenai reformasi budaya, Putu melihat refomrasi atau perubahannya perlu dijembatani dengan perubahan atau reformasi politik dengan ekonomi. Hanya dengan melakukan reformasi budaya kestabilan politik dan ekonomi lebih terjamin. Menariknya di sini Putu menekankan betapa reformasi budaya yang dimaksudkan adalah reformasi yang berkaitan dengan iman, kewarasan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai (value’s) kemanusiaan.
Di bidang sastra, Putu melihat reformasi di bidang ini perlu bermula dari kalangan seniman sendiri sebagai aktor (pelaku). Dengan tegas, Putu melontarkan tanya: "Bagaimana seni, sastra dan sebagainya akan dapat memberikan kontribusi pada pencerdasan bangsa dalam perjalanan sejarah menuju Indonesia baru, kalau senimannya saja ‘kropos’?. Anehnya persoalan itu dijawab sendiri oleh Putu Wijaya. Bagi dia, itu semua akan dapat dicapai dengan bekerja, cucuran keringat serta berdarah-darah dan bukan sebaliknya: berteriak-teriak, mengemis atau menuding orang lain.
Dia juga menulis tentang bagaimana mencari seorang pemimpin mengenai kewajaran dari kalangan sipil atau awam yang menjadi pemimpin. Ini karena pemimpin Indonesia kebanyakan dari kalangan tentara. Bagi Putu, seorang pemimpin adalah tubuh dan jiwanya harus merakyat dan hanya benar-benar menjiwai rakyatnya dan layak digelari pemimpin. Walau dari institusi manapun datangnya, pada hemat Putu Wijaya lagi, begitu lahir dalam kepimpinan nasional, haruslah sipil dan mengamalkan pemerintahan sipil.
Demikian juga dengan berbagai kesenian yang lain seperti filem, cerita untuk anak-anak dan teater saya kira harus memiliki olah akal dan pemikir yang profesional. Seperti karya-karya Andrson yang begitu sangat sempurna yang mempunyai pesan dan nilai-nilai moral. Jadi benar kalau Indonesia belum merdeka. Seperti kata puisi "merdeka, belum" dan sajak Taufiq Ismail berjudul "Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia". Dalam tulisannya berjudul "Saya Tidak Malu Jadi Orang Indonesia" yang dibacakan pada peluncuran kumpulan sajak Taufik Ismail ini bahwa betapa puisi-puisi Taufik Ismail adalah suatu paket enerji yang amat berkesan apabila dipertemukan dalam sebuah peristiwa tontonan.
Sebagai kata akhir, dalam esai ini ada yang dapat menelisik pemikiran yang tertuang oleh penulis. Putu Wijaya mengenai suatu persoalan sosial, budaya dan seni. Walaupun boleh dikata dalam setiap esai ini kurang berisikan pesan moral kepada masyarakat untuk menghadirkan sensasi perenungan yang mendalam, radikal, dan sistematis namun karena diperkatakan dengan bahasa yang langsung maka isinya mudah dipahami oleh para seniman, sastrawan, budayawa, dan ilmuwan, serta masyarakat luas.

*Penulis adalah penikmat sastra dan Pengamat budaya. Aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI). Tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani