Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2010

Membaca Kesederhanaan Gesang

Oleh: Matroni el-Moezany* Sosok begitu sederhanya, hasil karya juga sederhana, jiwa sederhana, kehidupannya sederhana dan senantiasa tulus dan rendah hati, sikap inilah yang membuat lagu “Bengawan Solo” dan sosok Gesang patut dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Saya sepakat jika Pak Gesang sebagai pahlawan nasional, karena tidak mudah menjadi orang yang konsisten dalam menapaki hidupnya. Mengapa Gesang menjadi sosok yang disebut-sebut sebagai pahlawan, karena kekonsistenannya dalam satu dunia, yaitu seni. Sebagai manusia sangat tidak mungkin merangkul dua dunia. Gesang adalah sosok yang mampu konsisten walau terpaan angin kompleksitas menyerang dirinya, tapi Gesang mampu tetap tegak hanya untuk memperjuangkan seni Keroncong. Gesang hanya bermodal satu keyakinan dan satu aktivitas untuk mempertahankan Keroncong, jadi tidak heran jika kemudian sosok Gesang layak menjadi pahlawan nasional. Syair “Bengawan Solo” sebenarnya sudah mendunia, buktinya sudah didendangkan dalam bahasa Mand

Tepi

Di tepilah Yang membuat aku bertanya Tentang engkau yang jauh Tentang semu Tentang semua yang membuat ragu Di tepilah Aku duduk mandang laut Mandang danau Bercerita waktu dan ruang Melukiskan perjalanan Menghabiskan jejak Di tepi Kuluahkan Resah rasa Akulah tepi Engkaulah matahari 17-18 Mei 2010

Mengapa Dikedalaman Hatimu Kau Sapa?

Dengan sempurna aku lihat Tak ada cela untuk kubenci Mulus kulitmu kupandang mata Entah siapa dan mengapa Di hatimu yang paling dalam kuraba dengan bahasa yang tulus Kucincang-cincang kesempurnaan Ternyata masih ada yang lebih Lebih dari segala yang lebih Sempurna dari segala yang sempurna Mulus dari segala yang mulus Malam kupinjam hanya untuk lebih jelas Melihat kesempurnaan Yogyakarta, 15 Mei, 2010

Engkau Menyapa Lirih : Ilusrasi kebersamaan

Bersama teman-teman Ia datang membuka jendela Lalu menyapa dengan senyum kecil Jangan sungkan Jika hadirmu Membuat gubuk ini kembali sejuk Masuklah Jemput para temanmu yang sibuk memikirkan resah Sementara kau membiarkan matahari sorep Air hujan kembali turun Membedakan antara cela dan lengkung Padahal sama-sama membuatmu murung Ketika batu pecah Pasir-pasir berdo’a dan mengantar rombongan Ke tempat yang paling jauh Lalu, air itu Menjadi tumbuhan, tapi Setidaknya engkau masih menyapa Walau gigil tubuhmu tak mampu engkau bendung Walau hanya untuk kita Walau telah lama menjadi satu dalam diri

Dalam Bisik Hening

Siapa yang mengantarkan suara bisik Ke pulau dimana hatiku berteduh Masihkah dalam hening Membangi menyimpan resah Pada wadak-wadak cakrawala Juga, melempar bisik itu Pada kerinduan spiritual dan Orang-orang berdiri tegak Dengan keramaian teknologi Masihkah suara itu Memotong kesunyian yang tak panjang Hingga bisik itu bersalaman pada malam Dengan tangan halus dan dingin Lalu, siapa yang memberi bisik itu Lampu-lampu? Lahir dari jiwa, berakhir di kata-kata Ingatkanlah Bisik-bisik cinta dari pertemuan Bahasa yang menyapa lewat senja dan air sungai Maka, kami bersetubuh mandang panjang Memutih, hadir, mengalir Di awal pertemuan Di tengah ke-dalam-an Di ujung persemaian Semangatlah Engkau yang menjelma hening Dan aku yang berjalan di wajahmu Bukankah kata-kata lahir dari rasa dan kemauan Ya, di tengah kita Dengan satu rasa dan saling menyapa Pada serumpun simbol-simbol rerumputan Aku datang Menjemput kemenungguanmu Hingga kita sepakat Untuk b

Sketsa Sebuah Perjalanan

Kurangkai semua yang terbaca Dalam kilasan surau-surau semesta Kuserahkan kerinduan itu Pada ikan-ikan di pagi hari Pagi yang membuat aku paham Makna persahabatan dan kesetiaan Rindang malam Tak serindang kata-kata Kubertanya pada Liya “Sudah kau serahkan kesedihanmu pada ikan-ikan” “belum” Kesedihan tak membuat Penguasa lari, Biarkan mereka menikmati indahnya semesta Menikmati lumatan-lumatan rasa Menikmati luka-luka massa Agar Kesedihan semu Kau harus biarkan bibirmu mengalir pada orang-orang Aneh, kesedihan itu menjadi uang-uang bernilai di saku para raksasa // Kubakar semua kesemuan itu, tapi Dengan apa aku harus membakarnya Api, aku tak punya Bara, masih belum nyala Darah, belum mengalir Aku jadi bingung melihat ke(semu)an itu, kulihat ternyata kertas bermakna kekuasaan kulihat kata-kata ternyata kosong kulihat senyum tenyata menyakitkan lalu, apa yang harus kulihat di masa depan ulama, intelektual, budayawan, seniman mereka mencari pasar? Me

Terakhir di Kaligalang

Senja ini aku pulang Setelah selesai mengurai jejak keberlanjutan Aku pulang untuk membakar kesemuan Entah dengan apa, Apakah dengan api atau cinta Namun keterbakaran itu Tak meninggalkan apa-apa termasuk debu Aku jadi bingung. Padahal sentuhan itu mulai ada Mengericik di tepian mimpi Aku pun sampai Di tempat perjuangan melawan kata-kata Melawan segala arus cinta Melawan misteri kehidupan yang membara Selama 50 hari aku tercengang Menikmati sentuhan-sentuhan Senyum kecil penuh makna Silaturrahmi lebih dalam Hanya untuk satu huruf dalam sejarah Di sana aku masih menyimpan rasa Menyimpan bahasa Menyimpan cinta Ooo… surau-surau Berikanlah satu jembatan untuk kata Agar aku tetap berada dalam cinta KP. Kaligalang, 30 April 2010

Pertama di Kaligalang

Hutan sejuk tanah basah menggiring imaji Membuka tempat asing yang tak terlupakan Kuraba setitik demi setitik suasana desa Yang menyimpan ribuan suara Di langkah lintasan air bersih, kami duduk di mushala Melepas lelah, mencari data untuk darah ruang gerak Kami pun berkata pada kelapa, pada bunga, pada rerimbun kesejukan Sawah hijau, tumbuhan rimbun menata Kaligalang Memberikan suguhan ramai masjid bertetangga sawah biru Sepi, dingin membahu antara suara-suara asing Menyelinap membawa kabar baru Kuraba pelan-pelan dengan imaji Kurasakan hawa sejuk membaru Culas-culas surau mengalir seperi kali Tak kusangka imaji menyimpan sepi Dalam kesunyian bidadari Entah kapan aku harus menjaga Selama waktu selama baru Untuk melebur jadi satu dalam diri Kemudian lahirlah satu huruf sejarah Yang tercatat di dinding hati Kulon Progo, 26 Februari 2010

Cultur, Agent Of Change

Oleh: Matroni el-Moezany* Indonesia saat ini adalah negara yang buta. Buta terhadap perubahan. Buta terhadap anak-anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah hanya karena alasan ekonomi. Sementara aparat pemerintah hanya diam dan tersenyum. Entah ini karena mereka sudah buta, sehingga mereka melihat terhadap fenomena yang terjadi. Padahal mereka banyak yang memakai kacamata untuk melihat tulisan koran atau surat kabar. Tapi, mengapa mereka masih tidak merasa tergugah untuk progresif. Mereka semua harus di beri pelajaran khusus untuk menjadi pejabat Indonesia. Bagaimana dia diberi pelajaran untuk berorientasi waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, menghargai prestasi, dan berbudaya progresif. Inilah yang mereka belum tahu bahkan mereka sama sekali tidak tahu bahwa yang enam di atas itu ada. Mereka tidak membaca, karena mereka buta. Buta huruf dan buta aksara. Jadi tidak heran kalau Indonesia sampai saat ini belum cerdas dalam menangkap realitas atau peristiwa yang sedang terjadi di dep