Membaca Kesederhanaan Gesang

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sosok begitu sederhanya, hasil karya juga sederhana, jiwa sederhana, kehidupannya sederhana dan senantiasa tulus dan rendah hati, sikap inilah yang membuat lagu “Bengawan Solo” dan sosok Gesang patut dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Saya sepakat jika Pak Gesang sebagai pahlawan nasional, karena tidak mudah menjadi orang yang konsisten dalam menapaki hidupnya. Mengapa Gesang menjadi sosok yang disebut-sebut sebagai pahlawan, karena kekonsistenannya dalam satu dunia, yaitu seni.
Sebagai manusia sangat tidak mungkin merangkul dua dunia. Gesang adalah sosok yang mampu konsisten walau terpaan angin kompleksitas menyerang dirinya, tapi Gesang mampu tetap tegak hanya untuk memperjuangkan seni Keroncong. Gesang hanya bermodal satu keyakinan dan satu aktivitas untuk mempertahankan Keroncong, jadi tidak heran jika kemudian sosok Gesang layak menjadi pahlawan nasional.
Syair “Bengawan Solo” sebenarnya sudah mendunia, buktinya sudah didendangkan dalam bahasa Mandarin di daratan RRC. Tak heran dari Kaisar Akihito menganugerahkan penghargaan kepada Gesang akibat lagu ”Bengawan Solo” demikian dicintai masyarakat Jepang sehingga juga teksnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, (Jaya Suprana, 2010). Tidak hanya itu, di Malaysia, Singapura, Suriname, dan Belanda siapa yang tidak kenal lagu ini.
Gesang tak memiliki niat untuk menjadi terkenal, menjadi intelektual, menjadi budayawan, menjadi penyair, dan ilmua besar dan terkenal, Gesang hanya ingin menyumbangkan bakatnya dalam memberi semangat baru untuk tetap memperjuangkan tradisi kita sendiri, ingin memperkenalkan milik sendiri, Gesang tidak bangga dengan milik orang lain, Gesang tidak bangga dengan Buah apel, dan Strawbery orang lain, Gesang tidak bangga dengan budaya orang lain, tapi yang dibanggakan Gesang adalah kekayaan negeri ini atau keindahan lokalitas, mulai dari seni, budaya, sosial, dan moral.

Sifat Keserhanaan
Sifat ini biasanya banyak menempel terhadap orang yang suka seni, sastra, dan budaya, misalnya Putu Wijaya, Chairil Anwar, Emha Ainun Nadjib, Rendra, Taufiq Ismail, Sanusi Pane, Jodi Ariadinata, Kuntowijoyo, ST. Sunardi, Goenawan Mohamad, Sutardji, Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Kuswaidi Syafi’e, Ach Wahib BS, Ahmad Tohari, Iman Budi Sentosa, Mushofa W Hasyim, Evi Idawati, Binhad Nurrahmat, Jamal D Rahman, Mardi Luhung, Hamsat Rangkuti, Hamdi Salat, Kedung Darma Ramansa, Faezal Zahreza, Ahmad Mukhlis Amrin, Salman Rusdi Anwar, Mahwi Air Tawar, Indrian Koto, dan sastrawan, seniman dan budayawan mereka menampilkan kesederhanaannya.
Terbukti sampai hari ini sifat itu masih kuat menempel di diri para seniman, sastrawan, dan budayawan. Sehingga bisa di bilang milik siapa kesederhanaan? Untuk saat ini masih tetap milik seniman, sastrawan dan budawan. Sifat sederhanya ini belum ditemukan di tokoh politik, ulama, anak muda sekarang dan orang kantoran.
Gesang menjadi pionir dalam menyukseskan sifat sederhana. Jadi keserhanaan ini memiliki roh yang luar biasa di mata dunia. Kita tahu sosok Nabi Muhammad, sebagai sosok pemimpin yang sangat sederhana. Sidarta Gautama lari dari istana, Mahatma Gandi juga memilih jalan sederhana. Sehingga jika nanti ada presiden Negara meninggal, tapi kehidupannya tak memperlihatkan kesederhanaanya kita tak patut mengatakan sebagai pahlawan, cukup mantan presiden. Tapi jika menemukan sosok pemimpin yang sederhana peduli pada warganya, itu baru kita nobatkan sebagai pahlawan nasional.
Walau pun Gesang tidak memilih menjadi pemimpin, tapi Gesang memiliki semangat lokalitas yang luar biasa, semangat untuk menjadi warga yang baik, semangat untuk memperkaya khazanah seni yang ada di rumah sendiri yaitu Indonesia. Itulah yang patut diajukan jempol.
Sifat sederhana dan semangat lokalitas inilah yang tumbuh subur dalam diri Gesang, sehingga yang mencintai dan suka terhadap “Bengawan Solo” pertama kali bukanlah Indonesia, tapi Belanda, Mandarin, dan negera lain. Sehingga kita baru menyatakan cinta dan harus dinobatkan sebagai pahlawan, ketika Gesang meninggalkan dunia fana. Sejak dulu dimana peran Gesang di mata Indonesia. Apakah kita hanya ingat dan peduli ketika Gesang mati saja, tanpa memberikan penghargaan? Berarti kita hanya ingat “mati”nya saja tanpa mengingat proses keperjuangan Gesang dalam memperjuangkan Keroncong di mata dunia.
Padahal sangat sulit memperkenalkan suatu produk, apalagi produk lokal. Tapi Gesang mampu berjuang memperkenalkan karyanya sendiri. Saya kagum padamu Gesang. Siapa pengganti Gesang berikutnya. Apakah kita akan tahu setelah mati?
Jangan sampai kematian yang membuat kita tahu atau sadar bahwa orang itu atau orang ini yang sebenarnya memperjuangkan negeri ini. Gesang semoga di alam sana engkau damai dan bercinta dengan bidadari cantik. Amein.


*Matroni el-Moezany Pengagum Gesang sejak mendengar lagu “Bengawan Solo”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas