Sekar Alit: dari Lokal menuju Kosmopolitan
Judul Buku : Sekar Alit: Kumpulan Syair Mocopat
Penulis :
Abah Yoyok
Penerbit : Q Publisher, Depok
Cetakan : Mei 2014
ISBN : 978-602-1177-02-0
Peresensi : Matroni Muserang*
Oleh: Matroni Muserang*
Sudah sejak lama suara dan wujud kearifan
lokal terlihat sayup. Padahal kearifan lokal menjadi salah satu sumber
pengetahuan. Lalu, upaya apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya (Kompas/29 Juni 2014).
Sastra
tradisi, sastra local, sastra etnik, sastra pedalaman dan semacamnya yang “menyegarkan
kembali bahasa ibu” ada di seluruh Nusantara, memang harus terus digali dan
diaktualisasikan, biarpun hanya dilakukan dan diminati sedikit pihak, lanjut,
kata Abah Yoyok. Spirit ini memang penting untuk kita dukung bersama mengingat keringnya
sejarah bangsa dan miskinnya referensi, banyak penyair yang memiliki spirit
lokal dan pengetahuannya mengglobal misalnya Hamka, Rendra, Chairil Anwar, Jamal
D Rahman, Acep Zam Zam Nor, Joni Ariadinata, D. Zawawi Imron, Gus Mus, Emha
Ainun Nadjib, Raudal Tanung Banua, Mahwi Air Tawar, Ahmad Muchlis Amrin, dan
sederet penyair dan sastrawan nusantara yang kini terus berijtihad mencari
data-data sejarah sebagai basis untuk memperkaya khazanah kesusastraan
Indonesia dan Abah Yoyok dalam Sekar Alit ini ingin memberikan sumbangsih data
dan pemikiran keilmuan bagi bangkitnya dan kesungguhan dunia kepenulisan sastra
di Indonesia.
Jika dewasa ini kita disibukkan dengan
puisi-puisi yang tak berkaidah bahasa dan beretika, karena kebebasan
berekspresi, maka buku antologi syair mocopat lahir untuk memberikan hujan
kesejukan dan memberikan kesadaran dari tidur panjang. Membaca syair mocopat yang ditulis oleh
penyair senior tentu kita akan merasakan energi keseriusan dan kehati-hatian
dalam memberikan makna dan diksi. Membaca syair mocopat kita di ajak berlayar
keperkampungan kerajaan, dimana nasehat dan filosofi hidup itu ada dan
berkembang di Nusantara.
Misalnya
dalam kehidupan ini tentu kita akan bertemu dengan sakit, maut, Jenazah, kubur, sangkala, kehidupan baru, padang mahsyar,
Surga, neraka yang terkumpul dalam Sekar
Megatruh (hlm, 37). Tema-tema seperti ini jarang kita tulis bahkan jarang
kita rasakan sebagai bentuk proses kehidupan ini. Sehingga wajar jika dalam
menjalani kehidupan kita seringkali merasa sombong karena kaya, karena anggota
dewan, belum lagi anak-anak pecandu narkoba, korupsi, kekerasan seksual,
pembunuhan, ini dampak dari ketidaksadaran manusia akan sekar Megatruh yang
sejak dulu sudah diwanti-wanti oleh nenekmoyang kita.
Berbicara
bencana yang seringkali terjadi di negeri ini, mulai dari banjir, longsor,
gunung meletus, tsunami, mengapa hal ini terjadi, karena tidak ada rasa cinta
kasih (hlm. 55), bencana disana sini/
musibah mala petaka/huru hara makin ramai/amarah menjadi raja/ mimpi di manja/
orang diperhamba nafsu/damailah damai, saudara (hlm. 58). Kalau kita
melihat keadaan bangsa ini, alam ini, anak-anak yang tidak suka belajar,
membaca, karena disodori game, fb,twitter, yang kemudian membuat manusia
terlena dan di ninabobokkan oleh kenyamanan, wajar jika amarah menjadi raja,
karena tidak bisa diberi nasehat dan pengajaran, hati dan pikirannya dikunci
oleh amarah, nafsu, bagaimana mungkin bangsa ini akan damai, jika terhadap diri
sendiri tidak bisa damai?
Buku
ini hadir dalam rangka untuk menolak
lupa, sebab kita seringkali lupa bahkan tidak kenal sejarah keluarga sendiri apalagi
sejarah Nusantara yang penuh dengan syair-syair filosofis dan ajaran hidup yang
penuh makna. Nilai-nilai universal dari syair Sekar Alit ini sebenarnya lahir ajaran
nilai lokal atau kearifan lokal sejarah yang ada di Jawa. Namun kita seringkalu
lupa untuk tidak mengatakan melupakan karena dikatana jadul (jama dulu/kuno). Karena anak mudah sekarang tidak suka
terhadap hal-hal jadul yang dianggap
ketinggalan, padahal kalau kita paham sejarah betapa luasnya cakrawala
pengetahuan yang sudah tertulis oleh raja-raja Jawa pada jaman dulu.
Bukti
nyata adanya situs-situs bersejarah seperti Kraton, Borobudur, Prambanan,
Monas, Tugu, yang menyimpan kebudayaan yang sungguh agung, bahkan serat-serat
itu tersebar di dalamnya, naskah-naskah yang merupakan bukti kejayaan kerajaan
yang ada dan tersebar di seluruh Nusantara dan Negara. Misalnya kita mau
meneliti syair kinanti yang bersifat senang, cinta kasih, dan nilai-nilai
pendidikan yang terkandung di dalam Sekar Alit.
Mengapa
kita harus belajar ke Barat? Ini salah satu bukti dari sekian banyak bukti
bahwa kita belum selesai membaca sejarah kita sendiri. Etika misalnya, betapa
syair-syair itu menyimpan etika yang secara pengucapan sungguh halus, sopan,
bukankah keindahan budi pekerti karena bahasa? Mengapa hal ini dibiarkan tanpa
roh dan makna? Budaya pendidikan yang dilakukan nenek moyang kita, apakah kita
sudah mengetahui? Biasanya nenek moyang kita menggunakan syair-syair yang indah
untuk memberikan nasehat, artinya indah sudah ada sejak dahulu.
Kalau
kita memahami syair ini: uning uning
unong unang/ayam putih di atas nasih gurih/Ki Ageng Pengging yang Hindu/Syekh
Siti Jenar Islam/dua insan berbincang bertukar ilmu/tiga hari tiga
malam/menembus dimensi langit. Siapa yang paham syair ini, jika tidak
membaca dan meneliti bahwa syair ini mengajar pluralitas dalam mencapai
pengetahuan tentang Tuhan. Artinya sesama orang yang memiliki agama dilarang
untuk membenci, bertengkar dan membunuh, justeru kita harus saling berdialog
dan berdialektika untuk mencari pengetahuan sejati, karena tidak mudah untuk
menemukan kebenaran dalam pengetahuan agama.
Dengan
demikian, Sekar Alit ini Abah Yoyok mengundang kita semua untuk saling tukar
sapa dan tukar pemikiran dalam menjalankan pengetahuan kita ke depan. Bagaimana
seharusnya kita hidup, beretika, berilmu, bersastra, bertutur, untuk menjaga
kekayaan khazanah pengetahuan yang dimiliki kita sendiri. Sebagai catatan, mari
kita renungkan: jangan cintai dunia/yang
isinya hanya orang mati/bagai bangkai bau busuk/setelah ajal datang/akan kau
temui sesungguhnya hidup/yang tak kenal kematian/ hidup yang tak bisa mati.
*Penyair, pemikir budaya-sosial-agama, kini mengajar di Universitas
Wiraraja Sumenep.
Komentar