Mempertanyakan Progresivitas Sastra Sumenep
Oleh: Matroni Muserang*
Banyak penulis dan komunitas sastra yang
ada di Sumenep, namun aktivitas kesusastraan hanya berjalan di tempat atau
berjalan di dalam komunitas itu sendiri, tanpa ada dampak terhadap perkembangan
mentalitas diri, maupun terhadap kebudayaan yang ada di Sumenep. Yang dimaksud
dengan mentalitas diri dalam sastra adalah tiadanya progresivitas dalam diri
“sastrawan” untuk mengembangkan ide-ide segar tentang kebudayaan Sumenep itu
sendiri, namun para komunitas sastra justeru saling ingin di atas, yang satu
komunitas tidak mengakui komunitas yang lain, akhirnya berjalan sendiri-sendiri.
Seharusnya sesama komunitas budaya dan
sastra, tidak ada komunitas yang lebih wah,
akan tetapi semuanya sama, yaitu sama-sama komunitas yang didalamnya belajar
tentang sastra dan budaya. Mengasah pikiran dan jiwa untuk menemukan ide-ide
segar dalam mempertahankan eksistensi kesusastraan dan kebudayaan di Sumenep. Sebab
tanpa ada upaya dari teman-teman sastra dan budaya untuk menggali lebih dalam
makna sastra dan budaya, maka sastra dan budaya hanya akan menjadi menara
gading yang hampa dari makna.
Buat apa kemudian kita berdiskusi tentang
sastra dan budaya, jika tidak ada dampak terhadap perkembangan mentalitas diri
untuk tetap menjaga dan melestarikan kesusastraan dan kebudayaan Sumenep, sebab
di tangan orang-orang yang kuat secara mental sastra dan budaya Sumenep akan
terjaga. Sebab kalau kita berkata di tangan pejabat, pejabat sibuk dengan
anggaran dan proyek politiknya.
Sumenep yang dicanangkan sebagai kota
wisata, maka akan banyak wisatawan asing yang masuk dan berkeliaran melihat
Sumenep, kalau kita sebagai tuan rumah masih belum siap secara mental, tidak
menutup kemungkinan Sumenep akan tercerabut bahkan tergeser dari budaya asli
Sumenep. Pertanyaan yang kemudian lahir, apakah kita ikut budaya orang lain yang masuk melalui wisata,
atau kita melestarikan budaya kita sendiri, namun kita paham betul budaya orang
lain.
Maka dialog antar budaya menjadi hal
yang penting untuk kita musyawarahkan bersama menuju Sumenep yang lebih
bermartabat. Nilai sastra, budaya dan keagamaannya tidak luntur oleh gesekan
orang-orang luar yang masuk di Sumenep. Sumenep sebagai kota pesantren, kota
budaya, kota sastra, sudah saatnya kita berpikir bagaimana desain keilmuan
pesantren, budaya dan sastra harus jelas secara konseptual maupun secara kultural.
Kerja sama antar pesantren, perguruan
tinggi, pemerintah dan komunitas-komnitas sastra yang ada di Sumenep menjadi
hal sangat urgen untuk kita pikirkan bersama. Sumenep begitu kaya dengan sumber
minyak yang bertebaran, namun kalau hal ini dibiarkan tanpa ada upaya dari
pemerintah untuk kepentingan rakyat, maka masyarakat akan menjadi korban
kepentingan politik uang.
Di tangan orang-orang yang memiliki
mentalitas diri yang kuatlah masa depan sastra dan budaya Sumenep itu ada. Maka
kita harus memiliki progresivitas keilmuan yang lebih handal dalam menghadapi
Sumenep ke depan. Sumenep ke depan semakin penuh dengan berbagai persoalan
kemanusiaan, baik moral, maupun keagamaan. Untuk itulah education mentality (pendirikan mental) sangat penting untuk kita
pertimbangkan sebagai karakter kemanusiaan kita dalam menjaga Sumenep lebih
berkualitas baik secara politik, budaya, agama maupun sastranya.
Kita punya kiai, ulama, pesantren,
perguruan tinggi, dan lembaga pendidikan, mengapa tidak kita berdialog bersama
untuk menemukan satu gagasan besar untuk menaungi kebudayaan Sumenep. Sebab
kalau Sumenep belum jelas desain keilmuannya, bukan tidak mungkin kebudayaan
Sumenep akan tergeser bahkan hilang ditelan budaya orang lain, yang menurut
anak muda sekarang lebih wah. Saya
tidak mengerti mengapa anak mudah justeru lebih PD menggunakan produk luar
negeri daripada produk kita sendiri.
Apakah karena mainstream kita sudah
kebarat-baratan, sehingga semua desain keseharian kita sudah tidak menampakkan
kita sebagai orang Sumenep. Lagi-lagi mentalitas diri dan progresivitas
keilmuan menjadi hal sangat penting untuk kita, agar Sumenep tidak tercerabut
dari akar budaya kita sendiri. Untuk itulah penjaga gawang originalitas
kebudayaan Sumenep berada di tangan penyair atau sastrawan (sastrawan yang
sebenarnya), sebab dalam sastra kita mencatat banyak hal, banyak peristiwa, seperti
lagu-lagu Madura zaman dulu, yang diteruskan dengan puisi D. Zawawi Imron,
Hidayat Raharja, Syaf Anton Wr, dan penyair-penyair yang seangkatannnya.
Sastrawan (sastrawan sebenarnya) seperti
di atas patut kita kemudian belajar bagaimana spirit idealismenya dalam
memperjuangkan sastra Sumenep. Maka sastrawan pemula-pemuda, mulailah belajar
untuk mendidik mental yang kuat. Sebab puisi adalah bahasa rasa dan rasa
bahasa. Di dalam sastra kita menemukan hal-hal terkecil di dunia, yang dianggap
tidak bermakna oleh banyak orang, namun di tangan penyair benda-benda menjadi
hidup dan menyapa kita, untuk itulah tidak ada sastrawan (sastrawan sebenarnya)
yang merusak alam, mengotori alam dan air, sebab mereka sudah bersahabat dengan
alam semesta.
Dengan demikian, harapan saya, sastra
Sumenep harus memiliki progresivitas keilmuan menjunjung nilai-nilai universal
dari ke-Sumenep-an itu sendiri. Agar budaya Sumenep tidak tertelan tanah
gersang yang datang dari luar.
*Penyair, pengajar di Universitas Wiraraja Sumenep.
tinggal di Sumenep.
Komentar