Migrasi Hujan di Tubuh Puisi


Oleh: Matroni Muserang*


Puisi dan pencipta puisi selalu berdampingan berjalan bermesraan. Puisi juga makhluk yang diciptakan oleh pencipta. Begitulah penjelasan judul di atas yang saya ambil dari antologi puisi M.Fauzi yang berjudul migrasi hujan. Saya ingin melihat antologi puisi ini dari sisi filosofis. Apa migrasi dan apa hujan dalam puisi Fauzi. Dengan mencari makna migrasi dan hujan, maka puisi tidak untuk puisi, akan tetapi puisi juga untuk publik yang bisa dipahami dan dinikmati, sehingga para pencari keilmuan akan menemukan sumbangsih keilmuan terhadap perkembangan pengetahuan ke depan.
Migrasi dalam kamus bahasa indonesia perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain untuk menetap di negara itu. Jadi perpindahan sama artinya dengan mi’raj yang bermakna perjalanan. Pindah pasti berasal dari tempat satu menuju tempat lain. Ini sama halnya dengan berjalan atau pindah. Namun pindah dalam hal ini adalah pindah ke atas dalam arti naik. Migrasi saya maknai mi’raj yang memiliki makna naik.   
Hujan dalam kamus bahasa indonesia titik air yang jatuh dari udara karena proses pendinginan. Air yang jatuh. Jatuh di sini pasti ke bawa. Bisa ke tanah, ke daun, pohon, daun, rumput, manusia. Jadi hujan saya maknai air yang jatuh ke manusia. Hujan adalah manusia. Artinya migrasi hujan berarti mi’raj manusia atau dengan bahasa kerennya mi’raj sosial.
Saya ingin melihat dari sisi mi’raj sosial puisi Fauzi ini. Kita lihat misalnya puisi “wanita yang memahat hujan di wajahnya” yang menggambarkan sosok yang wanita yang menyadari bahwa dirinya hidup berdampingan dengan luka dan waktu. Sebagai wanita yang pendiriannya kuat (berhati baja) dia terus berpikir keras untuk menemukan kerinduan sosial dan kegelisahan sosial. Kerinduan sosial dalam hal ini adalah menciptakan perdamaian, hormat-menghormati, gotong-royong, namun untuk mencapai itu semua membutuhkan perjuangan yang luar biasa, dia harus mengeluarkan airmata, berdoa, agar sampai pada suatu titik dimana kematangan pikiran dan hati tercapai. Di sinilah letak kedewasaan seorang wanita.
Baca lagi puisi “perempuan dan kerikil basmalah” ini menandakan perempuan yang terus ingin mi’raj secara sosial-spiritual dengan berjuang melawan berbagai ideologi-ideologi yang dia pahami sendiri. Namun perjuangan dan berproses untuk menjadi mi’raj sosial tidak serta-merta ada, akan tetapi sebagai perempuan yang memiliki agama yang jelas kitabnya pun harus diikutsertakan dalam nilai-nilai universal dari kitab agama tersebut dengan berucap basmalah. Bacaan pertama di awal surat dalam al-qur’an. “riwayat yang berlari” lagi menandakan bahwa mi’raj sosial sangat penting untuk kita perjuangkan sebab hidup itu terus bergerak (aku bergerak), maka kalau kita hanya main-main tanpa keseriusan dalam belajar, maka kita akan tergerus oleh zaman dan waktu yang (retak), sebab kalau kita tidak bersungguh-sungguh “riwayat yang terus berlari membunuh bayangnya sendiri” apakah kita mau hidup tanpa memiliki makna apa-apa terhadap kehidupan? Tentu tidak.
Puisi “mitos kota-kota”/ “di selat madura” / “migrasi kota-kota”./ “di pasar”/ “hujan dan laut”, dan puisi-puisi lainnya yang terus memperjuangkan kehidupan sosial, entah sosial-psikologisnya maupun sosial-humanitasnya. Migrasi hujan sependek pembacaan saya, arahnya ke sana. Puisinya hadir untuk memperjelas identitas sosialnya, sebab identitas sosial bagi puisi merupakan langkah awal untuk menemukan pembaca sebagai teman dialog dan dialektika keilmuan. Wajar jika dalam keseharian puisi Fauzi berjalan di atas sajadah kesadaran, sebab waktu melompat seperti kilat, kehati-hatian puisi ini menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupan manusia dituntut untuk selalu membaca (iqra’), tanpa pembacaan yang radikal atau mendalam, maka kehidupan akan menggeser dan menggusur kita ke dalam zaman.
Zaman dimana kita berada di pinggiran ketakmenentuan. Namun puisi migrasi hujan memberikan jembatan kepada kita, bahwa kehidupan kita harus sedikit naik (mi’raj) baik secara spiritual, sosial maupun keilmuan. Kalau paradigma kehidupan kita masih jamid tak pernah berubah, maka kita akan ditenggelamkan oleh perkembangan pengetahuan. Pengetahuan itu mengikuti perkembangan sosial, maka kalau pengetahuan kita masih klasik sementara pengetahuan sudah berubah, maka pengetahuan kita kadaluarsa.
Pengetahuan yang tidak kadaluarsa, tentu kita harus mengupdate pengetahuan kita setiap waktu agar kita tidak menjadi manusia yang ekslusif-fanatis. Padahal kita tahu pengetahuan memberikan ruang-ruang yang sangat lebar, selebar samudera Tuhan yang ada di dunia ini, tapi mengapa tidak kita cari dan baca sebagai pengetahuan? Maka sekolah, universitas, pondok jangan “hanya diajarkan mengenang para pahlawan dan pecundang”,// dan hujan mengalirkan segenggam catatan. Untuk itulah dalam pagi dalam menapaki jejak kaki kita berpikir bagaimana catatan itu memberikan jejak keilmuan bagi dirinya dan orang lain.
Keilmuan inilah yang akan memberikan jalan terhadap kita, agar kita tidak terjebak pada kehidupan yang memuja tubuh, memuja pipa plastik, pipapabrik, memuja kosmitik, make up yang hanya mengusap-usap di ruang sempit. Akhirnya puisi juga memiliki makna yang kontekstual, ketika puisi berada di tangan pembaca.



Sumber: http://www.buanakata.com/berita-migrasi-hujan-di-tubuh-puisi.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura