Materialitas




Pagi berikutnya Niji tepat registrasi perkuliahan karena sebelumnya sudah menyesaikan Ujian Akhir Semester. Pada saat itu Niji belum punya uang untuk bayar perkuliahan, tapi Niji tetap yakin kalau nanti pasti dapat uang, entah dari mana Niji mendapatkan yang penting Niji yakin itu pasti ada. 
Niji berjalan dari sebelah barat fakultas Adab kebetulan tempat membayaran di sebelah selatannya. Niji berjalan pelan sambil memikirkan dari mana aku mendapatkan uang untuk bayar SPP. Tiba-tiba Liha memanggilku sambil lari mendekatiku. Aku tunggu sampai dia mendekat.
“Kamu mau kemana?” Tanya Liha
“Kamu sudah bayar SPP belum”
“Belum”
“Terus, sekarang mau kemana” tanya lagi
“Aku sekarang bingung,”
“Bingung kenapa”
“Enggak ada, Cuma bingung aja”
“Emang kamu belum di kirim sama orang tuamu”
“Dia tidak tahu kalau Niji di sini mandiri dan mencari uang sendiri, mencari uang untuk makan, uang untuk membayar uang SPP” sejenak perasaanku berkata.
“Kalau boleh jujur aku bingung karena belum punya uang untuk bayar SPP”
“Memang kamu belum minta sama orang tua kamu”
“Belum”
“Kenapa”
“Aku malu”
“Kenapa mesti malu”
“Ya, kamu perempuan tidak apa-apa, perempuan itu memang tanggungjawab orang tua sejak kecil sampai memiliki suami”, ”Kalau aku, ya, malu, aku kan laki-laki,” sebab menurut guruku laki-laki sejati adalah yang mampu memberikan apa yang dibutuhkan diri. Misalnya aku butuh makan, ya aku harus sendiri dan lain-lainya, semua kebutuhan hidup. 
“Terus kenapa kalau orang laki-laki”
“Kalau laki-laki masih minta orang tua, dimana kita letakkan kelaki-lakian kita”
Kalau jadi laki-laki harus menjadi laki-laki yang berani dan jantan, dan benar-benar menjadi laki-laki. Sebab bagi saya orang laki-laki yang masih minta sama orang tua dia belum bisa menjadi laki-laki yang sebenarnya. Mengapa? Karean seoarang laki-laki harus berani bertangunggjawab atas dirinya sendiri mulai dari mencari makan, mencari uang, bahkan membayar uang kuliah kita harus mencari sendiri. Kalau tidak bisa menjadi laki-laki seutuhnya. Lantas kita mau menjadi setengah laki-laki. Bencong donk. 
“Kamu di sini kerja apa, kalau ingin mandiri, mestinya kamu punya kerja”
“Kerjaku hanya menulis”
“Ngak mungkin kalau hanya menulis kamu bisa mandiri, memang menulis apa dan diapakan tulisan itu”
“Aku yang sering menulis sastra terutama puisi, cerpenm esai”
“Terus”
“Terus, tulisan itu aku kirim ke koran”
“Oooo... kamu menulis di koran”
“Ya,”
“Ya, kalau di muat dapat uang dari tulisan itu”
“Berarti setiap kamu ngirim tulisan pasti di muat?”
“Ya, Ngak juga, kadang-kadang”
“Terus kapan kamu mau SPP-nya”
“Ntar kalau sudah dapat uang”
Matahari membuat kita berdua termenung di bawah pohon beringin. Tak ada suatu kata yang kita hembuskan selain diam dan diam penuh makna, dan di detik kemudian Liha merunduk entah apa yang dipikirkannya, aku juga tidak tahu, apa dia berpikir masalah aku atau dia hanya bingung, karena di zaman seperti ini masih ada orang yang mandiri. Seperti aku, kata Niji. 
“Memangnya orang tua kamu tidak kepikiran, kalau di sini di negeri orang kamu tidak punya uang, apalagi kota besar seperti Yogyakarta ini?” tanya dia lagi
“Aku sudah bilang kepada orang tuaku, kalau aku berangkat untuk kuliah dan aku tak ingin memintah kepada beliau, orang tuaku khawatir, tapi bagi saya yang dapat ridha dari orang kita pasti menemukan jalan, dan itu pasti, buktinya aku sekarang”.
Sebab bagi seorang laki-laki seperti saya, mandiri sepertinya jalan yang sangat mengasyikkan, sebab kita akan tahu seperti apa perjalanan, bagaimana hidup, dan tahu seperti apa sulitnya mencari uang, jadi kita bisa menghargai uang dan menghargai banyak orang, termasuk menghargai orang tua. 
Kata guru kita sukses kalau kita bisa menyukseskan orang lain. Khairunnas anfauhum linnas, sebaik-baik kita adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Jadi dengan jalan mandiri, kita tahu kalau kita pernah merasa lapar, di sana kita pasti peka kalau kita melihat orang memintah-minta dia akan merasa terharu, bahwa kita masih enak hidup seperti ini, bisa kuliah, makan dari orang tua, bensin dari orang tua, pulsa dari orang tua atau kakak, makan dari orang tua, pokoknya semua kebutuhan kita semuanya ditanggung orang, sungguh enak kita, sementara, kita tidak tahu seperti apa jerih payah orang tua kita mencari uang hanya untuk kamu.
Sekarang orang seperti itu banyak, mereka merasa gaya dan merasa hebat, padahal mereka tidak apa-apanya. Justru yang berharga dalam hal ini adalah orang tua, karena orang tua yang mencari biaya hidup. 
Inilah yang sebenarnya diperjuankan oleh guruku K.H. Zainal Arifin Thaha (alm) di pondok Pesantren Hasyim Asy’arie Minggiran, Krapyak, Yogyakarta. Beliau mendirikan pondok untuk orang-orang yang mau mandiri segalanya, dari biaya kuliah (bagi yang kuliah), biaya hidupnya, segala kebutuhan hidupbya, dan lain-lainnya.
Jadi guru saya berpesan kepada santrinya untuk selalu menjaga kebersamaan dalam pondok dan dimana pun kita ada, kalau misanya santri yang satu tidak punya uang, jadi kita yang punya uang harus memberi minimal di mengajak makan. Yang kedua pesan beliau adalah
merugilah hati yang tidak menangis  
bila melihat temanmu menangis
merugilah hati yang tidak menangis
bila melihat seseorang sengsara
Yang ketiga berkaitan dengan spiritualitas, guru saya berkata seperti wasiat kutup pada 01 hari Kamis/8-3-07/PPHA sebelum beliau meninggal dunia di kediamannya Krapyak, Minggiran, Yogyakarta.

Cara Meraih Tuhan
Pada suatu hari, bertanyalah seoarang laki-laki
Kepada Syaikh Abu Sa’id Abi al-Khayr
Tentang bagaimana cara meraih Tuhan.
“Jalan menuju Tuhan” Jawab Syaikh, “sama banyaknya
Dengan makhluk yang Dia ciptakan
Tetapi jalan yang paling dekat adan paling mudah
Adalah dengan cara membantu orang lain,
Membuat mereka bahagia, dan tidak mengganggu mereka”
Keempat adalah;



Kekuatan Yang Menakjubkan
Suatu hari, Syaikh Abu Sa’id Abi al-Khayr diberitahu
Ada orang tertentu yang bisa berjalan di atas air.
“Itu menjawab,” jawab beliau, “seekor katak dan
Sesekor nyamuk pun bisa berjalan di atas air.”
Kemudian beliau di beri tahu
Ada orang yang bisa terbang
“Itu juga mudah” kata beliau, “seekor lalat
Dan seekor gagak pun juga bisa terbang”
Beliau di beri tahu pula ada orang
Yang dapat beberpegian dari satu kota
Ke kota lainnya dalam sekedipan mata.
Syaikh menyahut:
“Setan bisa pergi ke Timur dan ke Barat
Dalam satu terikan nafas.
Ketahuilah, kemampuan-kemampuan itu
Tidak memiliki nilai.
Seorang manusia sejati adalah orang
Yang dapat berbaur dan bersosialisasi dengan orang lain
Tetapi tidak pernah melupakan Tuhan sedetik pun.”

Itulah sebagian atau sedikit dari banyak wasiat dan ajaran K.H. Zainal Arifin Thaha (Guz Zainal) dan masih banyak pesan baliau, tapi yang Niji ingat cuma itu. Memang bukan jalan yang gampang untuk mengambil jalan mandiri seperti itu, buktinya sangat sedikit dari banyak orang yang memilih seperti Niji. Lihat misalnya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan mahasiswa-mahasiswa di universitas lain, paling yang mandiri seperti Niji dan teman-teman Niji cuma dua persen dari beribu-ribu mahasiswa yang ada di Indonesia. 
“Terus, di pondok santri-santri kerjanya apa” tanya Liha penuh haru. 
“Macam-macam ada yang jualan koran, jualan buku, jualan angkringan dan menjual tulisan ke media, seperti koran, majalah, dan jurnal”
“Jualan bukunya siapa”
“Di pondok ada penerbit namanya penerbit Kutub, ya jaualan buku yang diterbitkan di sana, dari hasil jaulan buku itu mereka di kasih berapa persen dari penjualan buku, bagitu juga dengan angkringan, bedanya kalau angkringan modalnya langsung dari pengasuh”.
“Di sana benar-benar di didik mandiri ya”
“Ya, iyalah”
“Di pondok, dari segi mental, profesinalitas, spiritualitas, kreativitas dan produktivitas semuanya itu diajarkan, jadi bagi laki-laki yang cenging tidak mungkin bisa dan mampu melaksanakan rutinitas seperti itu, artinya di sana ingin mencetak dan melahirkan laki-laki jantan dan sejati, tidak manja, tidak cenging dan tidak malas-malasan”. Karena menjadi pemalas bukanlah sifat laki-laki, tapi sifat orang manja dan selalu meminta orang tua. 
“Memang tidak ada jalan selain itu untuk menjadi laki-laki sejati dan jantan”?
“Banyak jalan untuk mencapai kata-kata yang mungkin tertinggal di tepi, tapi ada ngak aktivitas yang sama dengan rutinitas seperti itu, Niji yakin untuk zaman seperti sekarang ini sangat jarang bahkan bisa di kata tidak ada, hanya satu di dunia ini, yaitu di pondok pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie di Yogyakarta”
“Kamu berapa lama di sana”
“Baru satu tahun”
“Lumayan lama, ya”
“Ya sudah aku tak registrasi dulu, alasan Niji”
“Ya, ga apa-apa, lagian aku mau cari makan ke tempat teman”
Sungguh menyenangkan semesta ini, ketika semuanya sejuk dan tak ada kekerasan, kekerasan kata, kekerasan jiwa, kekerasan malam, kekerasab agama, kekerasan pendidikan, dan kekerasan presiden, sebab yang menjadikan itu semua adalah manusia yang tidak mau mandiri melihat dirinya sendiri, jangan-jangan kita sudah lupa kalau kita memiliki tubuh, dan jiwa yang itu harus kita urus sendiri. Bukan orang tua, bukan orang lain, tapi diri sendiri, tentunya kita harus belajar mandiri dan menjadi laki-laki sejati.
Memang tidak mudah mencari dan memelihara diri, tapi apakah dunia ini tertutup dari usaha melakukan itu semua, tidak! Kita masih punya banyak cara yang sangat banyak dan luas. Seperti juga perjalan yang penuh rasa, sesat, sakit, sendu, sejuk dan lapar. Misalnya kita berada di tengah gurun pasir kehausan, apakah kita akan memanggil orang tua? Tentunya kita usaha sendiri bagaimana menghilangkan kehausan itu.
Secara sederhanya kalau boleh menjawab adalah di sana kita di tuntut untuk mandiri, mencari sendiri, melihat sendiri, kesakitan sendiri, orang tua tidak mungkin datang dari jauh untuk membantu kita, karena sudah berjanji untuk mandiri. Tidak mungkin orang tua datang, kalau kita sudah hanya minta do’a sebelum berangkat ke negeri orang untuk selalu mencari sendiri dalam bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura