Sastrawan dan Maestro Karya Sastra


Di muat di koran Minggu Pagi Minggu III Agustus 2010
Oleh: Matroni el-Moezany*

Siapa yang tidak mengenal WS Rendra, Kirdjomulyo, Linus Surya AG, Soebagio Sastrowardoyo, Kuntowijoyo, Pak Besut, Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, dan YB Mangunwijaya, inilah sebagian penyair dan sastrawan Yogyakarta yang mampu memberikan semangat dalam menjaga eksistensi kesusastraan Yogyakarta sejak dulu sampai sekarang bahkan menjadi maestro sastra di Yogyakarta hingga kini.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa mereka mampu memberikan warna dalam perkembangan sejarah sastra Yogyakarta? Apakah mereka bersatu dalam memberikan roh sastra, walau mereka datang dari budaya yang berbeda, sehingga sastra mereka di bungkus dan diberi energi kebudayaan mereka masing-masing? Sehingga yang terlihat bukanlah ke-egois-an sastrawan, tapi romantisme dan kemesraan sastrawan. Entah sastrawan muda Jogja sekarang?
 Kalau maestro sastrawan Yogyakarta memperlihatkan kemesraan dalam menjaga eksistensi sastra Yogyakarta, bagaimana dengan kita? Kita masih mementingkan dirinya sendiri, belum mampu mengenal dirinya sendiri, sehingga mereka diri merekalah yang hebat, padahal kehebatan itu terjadi karena adanya kebersamaan dan kebersatuan satu sama lain. Antara karya dan kreator, antara sastra dan sastrawan, antara subjek dan objek, antara materi dan immateri.
Yang terlihat dewasa ini sastrawan muda Yogyakarta belum mampu memberikan ciri-ciri maestro kesusastraan yang dicontohkan, sehingga yang terjadi adalah ketidakterlihatan kemesraan dan romantisme di antara sastrawan mudah. Lalu bagaimana bisa kita akan sampai pada puncak pohon eksistensi yang sebenarnya? Kalau kita masih mementingkan ke-egois-an masing-masing. Apakah kita membiarkan perkembangan sastra di maestro-i Sumatra, atau Bali, tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi, kalau kita sebagai masyarakat sastra masih bersikap demikian.
Sebab akhir-akhir ini yang lebih mesra di telinga masyarkat Yogyakarta bahkan Indonesia adalah novel-novel cinta yang sepenuhnya jauh dari realitas, jauh dari sejarah realitas, jauh dari filosofis, jauh dari kemiskinan, yang tersentuh hanyalah cinta kayak senitron, sehingga imajinasi tak jalan, karena cinta yang ada sudah dapat di tebak, arah dan tujuannya.
Seharusnya menjadi masalah serius karena sastra akhir-akhir masih berkutat di ranah kehampaan, hampa dari realitas, hampa dari roh masyarakat. Sehingga tidak heran kalau Kuntowijoyo menawarkan metode sejarah untuk menguak realitas sejarah dan masyarakat Indonesia. Karena kesadaran sejarah menjadi pijakan dalam menentukan bahwa masyarakat-lah pengisi sejarah itu sendiri, bukan politik, bukan manipulasi dan KKN. Kalau pun kita mencatat orang-orang maestro politik tak ubahnya sebuah ruang tak memiliki makna apa-apa, karena teguran dan kritik tak mampu membuka telinga mereka untuk mendengar.
Penyair di atas tidak tanggung-tanggung untuk selalu bersama-sama rakyat dan realitas dalam menekuni sastra, sehingga masyarakat publik mengenal Yogyakarta dari karya-karya mereka. Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya kesadaran akal atau kesadaran logika namun juga kesadaran batin atau kesadaran immateri dan kesadaran badan atau kesadaran materi. Dunia empirik yang ada pada realitas-empirik tak dapat dijelaskan oleh kategori keseharian kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara utuh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah, atau penyusunan biografi dan sistem birokrasi.  
Karena itu, sastrawan hendaknya memiliki kecerdasan imajinasi sendiri untuk menangkap roh realitas melalui kacamata sastra. Itulah yang dipakai oleh maestro kita dalam menuliskan karyanya, sehingga karya-karya mereka tak kosong, artinya roh yang ada di tubuh karya mereka adalah realitas empirik yang tak pernah selesai kita wacanakan dan kita diskusikan, karena sastra dengan sendirinya akan menangkap kontekstualitas perkembangan masyarakat.  
Sastrawan sebenarnya tak memiliki identitas, kalau ada apa identitas sebenarnya, apakah dia banyak menghasilan karya sastra, atau perokok berat, atau tidak shalat atau tidak puasa, gila. Tidak! Itu hal lain yang menyangkut sastrawan. Sastrawan dan puasa, atau shalat suatu hal yang berbeda. Itulah yang disalah artikan oleh kita selama ini. Padahal banyak orang (yang bukan sastrawan) juga tidak puasa, tidak shalat, kelakuannya juga gila. Artinya sastrawan yang hidupnya meng-gila atau gila-gilaan, itu bukanlah ciri sastra yang menyuruh seperti itu, tapi sastrawan adalah menjaga konsistensi, istiqamah, continue, dan menjaga eksistensi kesucian sastra itu sendiri.
Sebenarnya sastra lahir dari cahaya, bermain dengan cahaya dan mati bersama cahaya, jadi jangan sampai sastra kotor oleh orang yang tak bertanggungjawab. Sastrawan sebagai pemelihara kesucian sastra, maka kita banyak membutuhkan bekal, bekal kecerdasan, spiritualitas, empirisisme, eksistensialisme, rasionalisme, idealisme, dan sosialisme, sehingga apa yang kita tulis bukanlah nihilisme yang berkepanjangan, tapi kualitas karya dan kualitas pengarang.
Siapa sangka negara-negara adidaya dengan teknologi maju ternyata memiliki segudang sastrawan besar? Jerman, misalnya, memiliki sastrawan Goethe, Herman Hesse, dan Heinrich Boll. Inggris memiliki Shakespeare, Robert Frost, TS Eliot, dan Russel. Rusia memiliki Pushkin, Tolstoy, Destoyevsky, Chekov, Pasternak, Solzhenitsyn, dan Brodsky. China memiliki Lu Shun, Li Tai P, dan Wang Wei, sementara India memiliki Rabindranath Tagore, RK Narayan, dan banyak yang lain. Artinya apa? Sastrawan muda harus benar-benar menjaga eksistensi sastra melalui dirinya sendiri. Bukan dari campur tangan politik atau kekuasaan, tapi bagaimana sastra menjadi rumah cahaya sehingga yang masuk di ruang itu akan menemukan titik temu cahaya-cahaya.
Walau saat ini perbincangan ataupun polemik tentang sastra sepi, bisa jadi ini karena secara  estetik tidak ada nuansa baru yang lahir dari realitas yang kemudian mengejutkan dan mampu menghentak perhatian para pembaca, pengamat dan kritisi sastra. Pembaca, pengamat atau  kritisi sastra masih melihat karya sastra yang bertebar itu hanya memiliki kualitas estetik yang romantisme kosong. Alias, tidak ada kejutan estetik baru, yang menonjol di antara ribuan karya sastra yang dipublikasikan itu.
Itulah mengapa lahirnya sebuah sastrawan dan maestro tanpa dibarengi dari pergulatan realitas tidak akan menghasilkan gaya estetik baru dan tiada roh dari karya itu. Dan itu pasti, mengapa karya sastra yang mampu menggugah Presiden Amerika dulu, karena karya sastra yang dibacakan itu menampilkan nuansa rakyat dan realitas bangsa. Maka menulislah untuk realitas dan dari realitas karena itulah yang memberi roh dahsyat terhadap sebuah karya sastra.



*Penyair, tinggal di Demangan.  


HP; 085233199668      
  

Komentar

Anonim mengatakan…
saya mrpakan salah satu (hanya)penikmat sastra. apakah ada buku yg membahas mengenai sastra khususnya yogyakarta? dan ciri2 sastra yogya?

trimakasih

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

Matinya Pertanian di Negara Petani