Puisi: Sebuah Aktivitas Imajiner
Oleh: Matroni
Musèrang
Bahasa puisi dan rasa puisi akan
berbeda ketika kita merasakan. Rasa puisi adalah instrument untuk me-rasa,
sementara bahasa puisi adalah hasil dari me-rasa atau refleksi dari sebuah
rasa, yang kemudian melahirkan kata-kata, ide-ide segar, pemikiran dan aksi, sedangkan imajinasi adalah sebuah bentuk ide,
kata-kata dalam pikiran
dan hati, yang didalamnya
berisi kelembutan, kesejukan, kesegaran dan kedamaian, sehingga puisi yang lahir akan
membuahkan ingatan-ingatan yang abadi bagi pembaca.
Saya
belajar menulis puisi sejak tahun 2005, saat itu wacana sastra sedang semarak
dengan wacana sastra “kaulitas dan bentuk” ke aksi. Para penyair dan sastrawan
ramai memperbincangkan “kaulitas karya puisi” dan Jogja masih semarak dan
semangat-semangatnya. Sastra yang semula kata benda abstrak menjadia kata
kerja. Penyair dan sastrawan dintuntut untuk bersastra tapi menyastra, tidak lagi berbudaya tapi membudaya kata
Darmanto Jatman, ungkapan yang asing waktu itu hanya orang-orang yang serius
dan bersungguh-sungguh dan orang yang akrap dengan filsafat dan kesenian saja.
Bahasa
penyair harus kongret, kata Sapardi Djoko Damono. Walau pun tidak menutup
kemungkinan penyair harus bersentuhan dengan gagasan Nietzsche, walau tidak
membaca Edmun Hussel yang memusingkan, belum lagi kita harus menelusuri gelombang
fenomenologi yang tidak hanya menjadi filsafat, tapi menjadi instrument metode
berpikir ketika penyair dan sastrawan harus berhadapan dengan wacana
kebudayaan. Bukankah sastra membutuhkan kreativitas sebab sastra tidak bisa di
metode-metodekan atau diteknik-teknikan?
Dengan
beragam paradigma, penyair dan sastrawan dituntut memiliki kreativitas imajiner
agar kita tidak berada di gelenggang ketidakadilan dalam menilai suatu karya,
seperti yang dilakukan pada Chairil Anwar yang “dituduh” plagiat gagasan Barat.
Padahal itu merupakan proses aktivitas imajinasi Chairil Anwar dalam me
re-aktualisasikan imajinasi masyarakat atau kolektivitas waktu itu. Sastrawan
dan penyair harus menyadari bahwa kita berada di ruang yang terbatas walau pun
ada upaya untuk menembus batas-batas, akan tetapi masih membatas dan terbatas.
Kaum
imagis memang mengidolatrikan imaji, akan tetapi mereka mengakui keterbatasn
imajinasi, bukankah Tuhan tidak bisa dijangkau oleh imajinasi? Artinya kalau
sampai waktuku/ kumau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ di samping aku
mau hidup seribu tahun lagi/ di samping hidup hanya menunda kekalahan/
sekali berarti/sudah itu mati. Eksistensi Chairil Anwar dalam ruang
individualistiknya yang tak terbayangkan oleh kaum kolektif masa itu. Dan sastra
kita hari membutuhkan imajinasi Chairil-an yang secara eksistensi benar-benar
sublime, namun tidak mengesampingkan kemanusiaan (al-insaniyah)-nya. Artinya
perdebatan bukan wilayah bentuk (materi), bukan puisi yang berisi “siapa”, akan
tetapi puisi yang berisi “apa”.
Dalam
rumus kreativitas kepenulisan puisi begini (Realitas-imajinasi-puisi-realitas
kolektif). Artinya puisi bukan hanya kata-kata estetik, akan tetapi realitas
itu harus dipahami sebagai keilmuan (kata kerja/aktivitas) sehingga ia menjadi
sebuah proses keilmuan yang tidak hanya menjadi perangsang indera, akan tetapi menghidupkan
imajinasi dengan rangsangan realitas itu sendiri. Sehingga puisi yang lahir dari
rahim realitas-imajinatif mampu berkontekstual dengan masyarakat kolektif dan bermain
bersama wacana aktual yang hari ini masih “sakit” lantaran dilukai oleh
ketidakadilan, dilukai oleh kapitalisme global, dilukai oleh politik uang,
dilukai oleh pelecehan seksual, dan lantaran dilukai oleh ideologi-ideologi
global.
Imajinasi
adalah tempat dimana kata-kata berkumpul sebelum mengumpal menjadi bentuk
puisi. Sebuah puisi tidak serta-merta lahir dan menjadi puisi, ia masih melalui
proses transendentalitas di rahim imajinasi, Chairil Anwar, WS Rendra, Ahmad
Tohari, dan sekaliber penyair lainnya tidak pernah mengaku dirinya “penyair” akan
tetapi penyair ini terus going to precces dalam keilmuan sastra dan
menulis untuk menyuburkan tanah-tanah imajinasi.
Bagaimana
untuk menyuburkan tanah-tanah imajinasi tentu kita harus mampu membaca realitas
sebagai pupuknya, kalau kita mau ibaratkan pohon, agar pohon kita subur dan
berbuah segar tentu tanahnya harus subur dan air secukupnya, sama halnya dengan
menulis puisi. Kita harus menyuburkan imajinasi dengan realitas dan menyiramnya
dengan refleksi-filosofis yang kini jarang kita temukan dalam perkembangan
puisi-puisi mutakakhir di Indonesia.
Mengapa
jarang? Ini diakibatkan oleh adanya “penyair instan”, menulis puisi tanpa melewati
perkampungan proses lalu boro-boro menerbitkan buku tunggal, kalau sudah
menerbitkan antologi puisi tunggal ia sudah “mengaku dirinya penyair”. Paradigma
ini berkembang, sehingga wajar jika puisi-puisi mutakakhir lebih banyak menjadi
“puisi teater” setelah pertunjukan selesai, maka selesai pula.
Puisi-puisi
mutakakhir “miskin imajinasi-reflektif” karena ingin cepat menjadi artis. Padahal
kalau kita menyadari bahwa menulis bukan untuk dikenal atau menjadi artis,
menjadi penulis merupakan bagian kegiatan keilmuan dan tanggungjawab kita sebagai
manusia yang diberi akal untuk berpikir dan membaca semesta. Dalam proses
berpikir kita diberi cara atau metodologi paradigmatik agar tidak pragmatis
(hitam putih) menilai suatu persoalan dalam membaca pun kita diberi aturan
pembacaan yang baik, dan imajinasi menampung keduanya antara proses berpikir
dan proses membaca.
Puisi,
sebuah aktivitas imajiner agar tidak sepi dari energi proses berpikir dan
proses membaca, maka kita tentu harus menghidupkan reason sensitivity
dan sensitifitas pembacaan kita terhadap semesta. Sebab kalau hatiku yang
tak mau memberi/, maka mampus kau dikoyak-koyak sepi, kata Chairil Anwar
dalam puisi Sia-Sia-nya yang ditulis bulan Februari tahun 1943.
Dan
kita tahu bahwa kebudayaan kata Asrul Sani bukan semacam sintesa yang dicampur
dari sana-sini. Kebudayaan adalah produk. Kebudayaan tidak lain dari cara suatu
bangsa mengatasi masalah yang lahir dari zaman dan tempat. Mari kita tutup esai
dengan sejenak merunduk dengan puisinya Chairil Anwar rasa laut telah
berubah dan kupunya wajah/ juga disinari matari/lain.
*dosen STKIP
PGRI Sumenep
Sumber: Koran
Merapi, jumat, 16 Desember 2016
Komentar