Wisata Budaya Yang “Mengenaskan”

Oleh: Matroni el-Moezany*

Dalam catatan sejarah pergolakan ilmu pengetahuan selalu menjadi moment kepentingan bagi para intelektual dunia. Mulai dari antroposentris, kosmosentris, teosentris, teo-antroposentris, hedonisme, pragmatisme, globalisasi, liberalisme, sekularisasi, fositivistik, dan strukturalisme, sehingga kita menemukan zaman modern, bahkan postmodern yang kemudian ditandai dengan pergolakan sosial yang begitu cepat. Tapi mengapa kita hanya menjadi penonton dan bersaksi atas spirit pergolakan sosial, kecanggihan teknologi. Kita belum menyadari krisis kemanusiaan itu, mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stress, keretakan birokrasi, keretakan keluarga, sampai berbagai penyakit psikogis lainnya.
Justeru adanya penyakit psikologis inilah yang menjadikan ketakutan kita dalam menghadapi krisis eksistensial dan hadirnya penyakit psikologi budaya. Jadi apa yang dikatakan fisikawan Fritjof Capra bahwa krisis multidimensi sudah mengitari setiap aspek kehidupan kita: kesehatan, lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi agama, dan politik, bahkan budaya. Kita sebagai subyek krisis mengalami reduksi, dekadensi, dan degradasi, sehingga sudah terbiasa melihat tragedi kemanusiaan, kekejaman, ketidakadilan, kekerasan, permainan sistem, dan pembunuhan. Capra menyebutnya krisis intelektual, moral, dan spiritual, karena krisis separah ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam pentas sejarah kehidupan manusia.  
Jika Fritjof Capra menyimpulkan seperti itu, bagaimana sikap kita sebagai budayawan, agamawan, dan kaum intelektual bahkan penyair? Jika kita sadar, ada perasaan terpukul, bagaimana pun krisis itu sejatinya tanggungjawab kita, untuk itu kita harus menyadari (bergegaslah) dari kegersangan menuju kesejukan, atau menurut Sukidi dari krisis menuju harmoni.
 Begitu pun dengan krisis yang menimpa Indonesia bukan saja krisis ekonomi, hukum, politik, dan sosial, tapi semua bertumpu pada krisis budaya, moral dan spiritual. Ini terlihat krisis moralitas para penguasa kita. Jadi benar apa yang dikatakan novelis terkenal James Redfield untuk mengubah dunia, kita harus mengubah diri kita terlebih dahulu. Sekarang pertanyaanya adalah mengapa untuk mengubah dunia, kita harus mengubah diri kita terlebih dahulu? Karena menurut Deepak Copra sikap anda dapat menciptakan dunia.
Dengan semangat diri kita sendiri dunia ini dapat diubah dari kondisi serba krisis menuju arah zaman yang penuh kedamaian, kesejukan, penuh kasih sayang, damai dan sejahtera. Walau pun diri kita di goncang dengan krisis global, mestinya kita mampu menyikapinya, dengan berbekal, lewat jembatan kesejukan dan kedirian kita atau menurut Iqbal lewat intuisi diri.  
Maraknya krisis ini berawal dari krisis para penguasa, sehingga turun ke bawah. Seperti konglomerasi, korupsi, kulosi, skandal ekonomi, Bank Centuri, Bank Bali, Buloggate, kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, kekejaman politik, santet akibat pertarungan politik, pembunuhan rakyat timor-timur, pergusuran rumah rakyat, kekejaman priok, pembakaran tempat ibadah, skandar Pajak, skandal para menteri, ketidakadilan, itulah ulah yang diakibatkan oleh elit politik, dan krisis moral para penguasa.
Budaya ini mengingatkan kita pada pakar ekonomi pembangunan dunia E.F. Schumacher yang menggemparkan di antara kalangan ilmuwan dunia itu, belakangan ini orang baru sadar bahwa segala krisis baik krisis ekonomi, bahan bakar, makanan, lingkungan maupun krisis kesehatan, justeru berangkat dari krisis spiritual dan krisis pengenalan diri kita terhadap Tuhan. Betapa dahyatnya krisis ini sehingga Paul Bacon pun menamai The Spiritual Crisis of Man (1970).
Krisis ini dipandang sebagai penyebab dari sains modern, dimana bencana krisis merupakan akibat dari kesalahan paradigmatik sains Cartesian, dan Newtonian (matematika), Filsafat Rene Descartes (Cogigo, ergo sum, saya berfikir, maka saya ada), dan metodologi ilmiah Francis Bacon (Sukidi, 2001).
Melihat kengenasan itu, kita seharusnya mampu menyikapinya dengan lebih dewasa, tidak lantas luluh karena terpaan angin krisis atau malah kita menikmati. Budaya yang kita nikmati itu bukanlah budaya kita sendiri. Kalau kita sadar itu budaya kita, dimana kearifan itu berada. Karena budaya kita pada hakikatnya budaya yang ramah, adil, sejahtera, rukun, dan menyejukkan. Sementara akhir-akhir ini budaya kita malah “mati” karena adanya terpaan angin baru yaitu budaya barat.  
Dewasa ini kita belum menyadari bahwa aktivitas keseharian adalah cermin dari budaya orang lain. Bangun tidur baca Koran, nonton TV, main PS, Rekreasi, pergi ke Mall, dan mengisi waktu senggang tanpa ada refleksi. Aktivitas itu menjadi makanan kita sehari-hari, setidaknya budaya yang kita lakukan menjadi bahan refleksi untuk lebih maju dan menghilangkan krisis eksistensial. Kita mestinya berangkat dari budaya kita sendiri, baru kemudian menyapa budaya orang lain dengan tidak menghilangkan identitas diri kita sebagai orang yang memiliki budaya.
Tak selamanya budaya orang lain mampu mendamaikan rumah kita, mendamaikan keluarga kita, bangsa kita, pendidikan kita, dan spiritualitas kita, bahkan agama kita. Kita harus mencari apa yang harus menjadi pegangan kita, kalau New Age kearifan perenial (perennial wisdom) sebagai pisau analisis. Kita apa? Kita harus kembali pada usul (dasar) dari kehidupan kita yaitu Allah. Kita harus memiliki karakteristik yang jelas, baik agama, budaya, politik, aktivitas kita, pola makan kita, cara berpakaian kita, cara ngomong kita, dan pendidikan, karena Kata Einstein orang menjadi besar karena dia memiliki karakteristik yang jelas. Jadi sekarang tugas kita adalah memperjelas semua keseharian kita, bukan lantas kita merayakan budaya orang lain, tanpa mengingat nenek moyang kita, Kartini, Bung Karno, pahlawan kita, Rendra, Goenawan Mohamad, Soekarno Hatta, Gus Dur, Nurkholis Madjid, Munir, Hamzah Fanzuri, dan tokoh-tokoh yang memperjuangkan Indonesia.
Sebagai catatan akhir dari penulis, alangkah baiknya jika kita menyadari untuk mereflekasikan pendapat Ernesto “Che” Guevara “Siapa yang tergetar hatinya melihat penindasan, maka kau adalah kawanku". Sebenarnya hanya terletak pada diri kita sendiri solusi yang bisa menyebabkan Indonesia didefinikan sebagai bangsa yang makmur, bangsa yang benar-benar memiliki rasa kerakyatan, dan merakyat.


*Penyair, tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura