Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Meritualkan Sastra Indonesia

Oleh: Matroni Muserang Bahasa Indonesia bukan bahasa lokal. Bahasa Indonesia bukan bahasa agama yang ada kaitannya dengan Tuhan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak memiliki tuhan. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hanya digunakan oleh birokrasi bangsa dan negara. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan untuk mendekat kepada para politisi. Bahasa Indonesia tidak bisa dijadikan sarana untuk mendekat kepada Tuhan. Esai ini ingin mencoba sejauh mana bahasa Indonesia mampu memberikan sumbangsih terhadap kearifan lokal dalam keseharian masyarakat yang aktif dalam melakukan kearifan lokal? Apakah bahasa Indonesia mampu masuk dalam tubuh kearifan lokal? Apakah bahasa Indonesia bisa dijadikan sarana untuk mendekat kepada tuhan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang hendak di refleksikan oleh saya dalam esai ini. Bahasa Linguistik atau ilmu bahasa merupakan ilmu yang membicarakan seluk-beluk bahasa itu sendiri. Dalam catata

Mencari Otentisitas Cinta dalam Puisi

Oleh: Matroni Muserang* Tiap Sabtu Sore Komunitas Rudal selalu mengadakan diskusi sastra yaitu puisi dan cerpen dan sampai hari kemaren sudah berjalan 17 kali pertemuan dengan melibatkan para pembedah puisi dan cerpen berbakat misalnya Sunlie Thomas Alexander, Mahwi Air Tawar, Achmad Muchlish Amrin, Set Wahedi, F. Rizal Alief, Bernando J. Sujibto, Jufri Zaituna, dan penyair-penyair jogja lainnya. Dalam salah satu pertemuan, ada yang menggeletik saya untuk menulis tentang otentisitas cinta. Ada penyataan teman diskusi yang mengatakan bahwa kalau Amir Hamzah dikatakan penyair romantis karena dalam puisi menyebut cinta dan wanita (baca: Amir Hamsah). Walau pun pada perkembangannya cinta itu dipertanyatakan oleh Chairil Anwar. Chairil mempertanyakan wanita,cinta suci,cinta murni?.   Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Amir Hamsah dan Chairil Anwar masih memilih sastra dan peduli pada ”isi”, maka penyair-penyair akhir-akhir ini malah merasa “letih dan lelah oleh debat antara “

Keterburu-buruan “Penyair”

Oleh: Matroni Muserang Kegagalan melembagakan keterburu-burun (tidak sabar,) minimnya menghargai proses , atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun keterburu-buruan itu, sehingga membawa kecemasan penyair yang berkehendak mewujudkan suatu keterburuan-buruan dalam menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku.    Ruang sastra yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja " sastra identitas" atau “sastra buku” , yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita “sastra buru-buru” , terutama karena mendasarkan perjuangan sastra pada doktrin ke-diri-an . Lebih karena keyakinan final tentang "moralitas sastra " dan agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari perdebatan tentang dasar sastra pada awal sejarah kesusastraan , sastra identitas itu memperoleh reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia. Globalisasi tidak dipandang oleh “sastra identitas ” sebagai sarana percaturan ide-ide global, tetapi dimusuhi se

Keniscayaan Pluralitas dalam Sastra

Oleh: Matroni Muserang Akhir-akhir ini ada isu yang menarik untuk kita diskusikan bersama, tentang polemik Hari Sastra Indonesia. Para sastrawan besar pun ikut berkata dan memperjuangkan dalam menentukan Hari Sastra Indonesia. Kapan. Dan tentu ini memiliki tanggapan dan kritik dari berbagai kalangan, karena bagaimana pun ketika ada isu seperti itu, kita akan beramai-ramai ikut berpendapat dalam memberikan wacana yang mungkin cukup baik. Seperti apa yang saya akan tulis di bawa ini.   Djoernal Boemipoetra bersama simpatisan menggelar deklarasi Hari Sastra Indonesia sekaligus peluncuran buku “djoernal boemipoetra”, yang bertempat di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta, Solo, beberapa waktu lalu. Ini sebenarnya merupakan tanggapan sekaligus ketidaksejutuan terhadap apa yang digagas oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawannya ketika mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia dalam orasi kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu. Boemipoetra memiliki gagasan bahwa Har

Mengapa Dikedalaman Hatimu Kau Sapa?

Gambar
Mengapa Dikedalaman Hatimu Kau Sapa? Dengan sempurna aku lihat Tak ada cela untuk kubenci Mulus kulitmu kupandang mata Entah siapa dan mengapa Di hatimu yang paling dalam kuraba dengan bahasa yang tulus Kucincang-cincang kesempurnaan Ternyata masih ada yang lebih Lebih dari segala yang lebih Sempurna dari segala yang sempurna Mulus dari segala yang mulus Malam kupinjam hanya untuk lebih jelas Melihat kesempurnaan Yogyakarta, 15 Mei,  2011 Tepi Di tepilah Yang membuat aku bertanya Tentang engkau yang jauh Tentang semu Tentang semua yang membuat ragu Di tepilah Aku duduk mandang laut Mandang danau Bercerita waktu dan ruang Melukiskan perjalanan Menghabiskan jejak Di tepi Kuluahkan Resah rasa Akulah tepi Engkaulah matahari          17-18Mei 2011 Dalam Bisik Siapa yang mengantarkan suara bisik Ke pulau dimana hatiku berteduh Masihkah dalam hening Membagi menyimpan resah Pada wadak-w